Ketika Ijma' Tak Lagi di-Sukuti

. Friday, September 28, 2007
0 comments

Dalam satu kesempatan, ‘Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Rasulullah menjawab: “ Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah “. Dalam riwayat lain Rasulullah menyatakan, ""umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) dalam pernyataan Rasulullah ini tersirat makna bahwa apabila umatnya telah melakukan kesepakatan tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka kesepakatan itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dustaKata-kata rasulullah ini lah yang di kemudian hari menjelma Ijma, salah satu sumber hukum dalam Islam. Hadits tersebut di atas memang bukan satu-satunya dasar penetapan ijma sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena Allah pun telah mengisyaratkan penetapan Ijma sebagai sumber hukum dalam Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an yang Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59). Contoh kongkrit pelaksanaan ijma pada zaman sahabat adalah saat Rasulullah SAW meninggal dunia dan diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah. Dan atas kesepakatan bersama diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan seperti ini dapat dikategorikan ijma'.

Pada masa sahabat masih sangat mungkin melakukan ijma' dikarenakan pada masa itu kaum muslimin masih satu dan sedikit, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, dan daerah Islam belum begitu luas. Namun segala kemungkinan ini pun berakhir hingga masa kekhalifahan Utsman, di mana pada masa itu, telah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai pemegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Dus, Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin menjadi. Seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, timbulnya golongan Khawarij, golongan Syi'ah. Hingga perselisihan dan perpecahan pun terus berlanjut pada masa dinasti Umawiyyah, dinasti Abbasiyah, dinasti Fathimiyah dan sebagainya. Belum lagi, semakin meluasnya wilayah Islam dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika. Dari ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil . Sebab-sebab ini semakin memperkecil kemungkinan terjadinya ijma' di masa-masa sekarang.

Selain masalah eksternal sebagaimana tersebut di atas yang membuat kita mempertanyakan kemungkinan terjadinya ijma. Dalam internal tubuh ijma berikut tekhnis-nya pun tidak terlepas dari perselisihan para ulama. Di mulai dari pertanyaan "apa itu ijma?", pertanyaan pun berlanjut ke-"Siapa yang berhak melakukan Ijma'?", hingga "bagaimana cara mengetahui bahwa sesuatu kesepakatan itu adalah hasil ijma'?", dll. Misalnya, Madzhab Zhahiri dan Ibn Hibban berpendapat bahwa ijma' hanya berlaku untuk shahabat, tidak untuk yang lain. Imam Ahmad [dalam satu riwayat] mengatakan bahwa ijma' adalah kesepakatan khulafa al-rasyidin saja. Imam Malik yang hanya merujuk pada ijma' penduduk madinah. Ulama lain yang merujuk pada ijma' ahlul haramain (penduduk Mekkah dan Madinah). Ulama lain menganggap ijma' adalah kesepakatan penduduk Basrah dan Kufah; sebagian ada yang bilang kufah saja. Bahkan ada juga yang bilang bahwa kesepakatan penduduk Basrah saja sudah cukup dipandang sebagai ijma' [Ibn Hazm, "al-Ihkam fi Usul al-Ahkam"] Sehingga seorang Ali Abdul Raziq pun dalam bukunya "al-Ijma' fi al-Syari'ah al-Islamiyah" berkomentar: "tidak dicapai Ijma' (kesepakatan) dalam merumuskan apa itu Ijma'?".

Contoh lain tentang perselisihan ulama dalam masalah penetapan suatu hukum berdasarkan ijma atau bukan, misalnya: dalam kitab al-Mughni dan Nail al-Awthar menyebutkan telah terjadi ijma' dalam hal fardhu 'ain-nya sholat jum'at. Padahal Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menyebutkan itu hanya pendapat jumhur ulama, bukan ijma'. Kitab fiqh yang terakhir ini menyebutkan adanya sekelompok ulama yang berpendapat bahwa sholat jum'at itu fardhu kifayah. Bahkan satu riwayat dari Imam Malik mengatakan sholat jum'at itu sunnah. Dari contoh soal sholat jum'at ini kita bisa menangkap adanya ketidaksepakatan dalam menentukan apakah satu masalah sudah di-ijma'-kan atau belum. Dengan meluaskan bacaan kita (tidak hanya merujuk pada satu atau dua kitab fiqh), boleh jadi masalah-masalah yang selama ini kita anggap merupakan ijma' ternyata belum merupakan ijma' atau sebuah kesepakatan yang mengikat?

Di Indonesia, ulama-ulama yang tergabung dalam MUI baru-baru ini mengeluarkan 11 fatwanya [termasuk fatwa tentang Ahmadiyah dan ideologi sekularisme, pluralisme dan liberalisme¬¬] yang akhirnya memicu kecaman dan reaksi keras dari tokoh-tokoh sekelas Abdurrahman Wahid, Djohan Efendi, Azyumardi Azra, dll yang mewakili Islam Modernis Liberalis. Bahkan kata "tolol" pun sempat disematkan kepada ulama-ulama MUI oleh seseorang yang menyatakan dirinya sangat memahami pluralisme(?) [Walau akhirnya dia menyatakan minta maaf. di depan pers]. Dalam diskursus Ijma yang selama ini kita tahu terbagi menjadi 2 macam cara terjadinya. pertama, Ijma Shorih yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan Kedua, Ijma Sukuti. yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja. Adapun kaitannya dengan fenomena-fenomena di atas -termasuk yang terjadi di Indonesia- berupa respon terhadap ijma entah itu berupa pertanyaan, kritikan, atau pun umpatan, membuat penulis harus berani mengambil kesimpulan bahwasanya gejala-gejala di atas telah menandakan atau menunjukkan di mana ke-shorihan ijma tidak hanya ditampakkan dengan kata sepakat. Atau dengan bahasa lain, gejala-gejala di atas menunjukkan bahwa ijma' kini tidak lagi di-sukuti.[baca: didiamkan]. Wallohu a'lam bis-showab.


Catatan: Tulisan ini berangkat dari kekurangpahaman dan kebingungan penulis [ternyata permasalahan ijma' tidak sesederhana apa yang pernah penulis pelajari saat 'Aliyah]. Tidak ada unsur liberalisasi, apalagi penolakan syari'at! Penulis hanya ingin belajar. Mohon diberi pemahaman yang benar…..


Subhan Hafidz

Muhammad Ali As-Shobuni: “Aku menamai kitabku Shofwah at-Tafasir”

.
0 comments

A. Sekilas tentang Muhammad Ali As-Shobuni

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Jamil As-Shobuni. Beliau lahir di kota Helb Syiria pada tahun 1928 M. Setelah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Syiria, beliau pun melanjutkan pendidikannya di Mesir, dan merampungkan program magisternya di universitas Al-Azhar mengambil tesis khusus tentang perundang-undangan dalam islam pada tahun 1954 M. Saat ini bermukim di Mekkah dan tercatat sebagai salah seorang staf pengajar tafsir dan ulumul Qur’an di fakultas Syari’ah dan Dirosat Islamiyah universitas Malik Abdul Aziz Makkah. Beliau juga dikenal sebagai pakar ilmu Al-Qur’an, Bahasa Arab, Fiqh, dan Sastra ArabAbdul Qodir Muhammad Shalih dalam “Al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-A’shri al-hadits” menyebutnya sebagai akademisi yang ilmiah dan banyak menelurkan karya-karya bermutu”. Di antara karya-karya beliau: “Al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyyah”, “ al-Nubuwwah wa al-Anbiya”, “min Kunuz as-Sunnah”, “Risalah as-Shalah”, “Rowai’u al-Bayan fi Tafsiri Ayat al- Ahkam fi al-Qur’an, “Shofwah at-Tafasir”, dll.

B. As-Shobuni dan Shofwah at-Tafasir

Shofwah at-Tafasir merupakan kitab tafsir karangan As-Shobuni. Beliau menyebutnya sebagai kumpulan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ma’qul. Menyinggung alasan penamaan kitabnya ini beliau menjelaskan, “aku menamai kitabku Shofwah at-Tafasir karena memuat inti dari kitab-kitab tafsir besar yang ku susun lebih ringkas, tertib, mudah, jelas, dan lugas ". Tafsir-tafsir besar yang beliau ambil sebagai rujukan: tafsir at-Thobari, tafsir Kasyaf karya Zamakhsyari, tafsir Qurthubi, tafsir Ruhul Ma’ani karya Al-Alusi, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Bahrul Muhith karya Abi Hayyan, juga dari beberapa kitab tafsir lain dan buku-buku ulumul Qur’an. Dalam Muqoddimahnya, as-Shobuni sedikit curhat mengenai proses kreatif penulisan kitab tafsir ini, “aku merampungkan penulisan kitab ini selama lima tahun siang dan malam. Dan aku tidak menulis sesuatu dalam kitab tafsir ini kecuali setelah aku benar-benar membaca apa yang ditulis ulama-ulama tafsir pada kitab mereka. Sekaligus meneliti dengan sungguh-sungguh supaya aku bisa menilai mana diantara pendapat mereka yang paling benar lalu aku mengunggulkannya”. Di antara alasan yang membuat penulis tafsir ini tergerak untuk menyusun kitab tafsirnya adalah banyaknya kitab tafsir dan ulumul Qur’an yang ditulis oleh para ulama, bahkan di antaranya merupakan kitab-kitab yang “gemuk” dan pastinya sangat berjasa membantu ulama dan masyarakat dalam memahami Al-Qur’an secara benar. Namun karena tingkat pendidikan dan kebudayaan manusia yang berbeda-beda, menjadikan di antara mereka masih merasa sulit menggapai pesan yang ingin disampaikan seorang mufassir dalam kitabnya. Nah, salah satu solusi mengatasi hal ini, maka seorang ulama dituntut untuk terus berusaha mempermudah dan meminimalisir kesulitan dalam kitab tafsirnya, supaya maknanya bisa lebih terjangkau masyarakat luas. Syaikhul Azhar DR. Abdul Halim Mahmud memberikan komentar tentang kitab ini, “Shofwah at-Tafasir adalah hasil penelitian penulis terhadap kitab-kitab besar tafsir, kemudian ditulis ulang dengan mengambil pendapat terbaik dari kitab-kitab tersebut yang disusun secara ringkas dan mudah”. Begitu pun yang di sampaikan DR.Rosyid bin Rojih [‘amid kuliyyah Syari’ah dan Dirasat Islamiyyah universitas malik Abdul Aziz] tentang Shofwah at-Tafasir, “ kitab ini sangat berharga, meringkas apa yang dikatakan ulama-ulama besar tafsir dengan menggunakan tata bahasa yang sederhana, tekhnik pengungkapan yang mudah dan lugas, disertai penjelasan dari segi kebahasaannya. Sungguh sangat memudahkan penuntut ilmu dalam memahaminya”. Adapun metode yang diterapkan As-Shobuni dalam tafsirnya:
1- Menjelaskan surat Al-Qur’an secara global, kemudian merinci maksud-maksud yang terkandung dalam surat tersebut
2- Menjabarkan hubungan antar ayat sebelum dan sesudahnya
3- Pembahasan tentang hal yang berhubungan dengan bahasa, seperti akar kalimat, dan bukti-bukti kalimat yang diambil dari ungkapan orang arab
4- Pembahasan tentang Asbab an-Nuzul
5- Pembahsan tentang tafsir ayat
6- Pembahasan ayat dari segi Balaghohnya
7- Penjelasan faida-faidah yang bisa dipetik dari suatu ayat

C. Shofwah at-Tafasir dan Polemik

Di antara karya-karya besar as-Shobuni, Shofwatut-Tafasir adalah yang paling banyak mengundang polemik. Polemik ini lahir terutama saat beliau menafsirkan suatu ayat a la asy’ary [dengan menggunakan methode ta’wil]. Misal sebagaimana yang dipaparkan syeikh Sholih bin Fauzan:
[Surat Al-baqoroh ayat:112] ”… بلى من أسلم وجهه لله…” Dalam menafsirkan ayat ini as-Shobuni mengutip pendapat dari Imam al-Rozi dalam tafsirnya Tafsir Kabir yang menakwilkan “الوجه” dengan “النفس” , maka makna ayat ini menurut al-Rozi: “ memasrahkan diri untuk selalu taat kepada Allah”. Dengan mengambil justifikasi dari ayat: “كل شيء هالك الا وجهه “. Ini hanya satu dari tafsir ayat yang disentil oleh syeikh Sholih bin Fauzan salah seorang ulama Saudi yang menyebut ta’wil pada ayat ini sebagai ta’wil bathil karena ta’wil al-wajh dengan makna ad-zat [sebagaimana manusia] sama dengan meniadakan sifat Allah yang telah pasti. Untuk juz 1 saja Syeikh Sholih bin Fauzan mencatat 54 kesalahan dari berbagai macam disiplin ilmu [termasuk Fiqh, dll]. Keseluruhan kesalahan syeikh as-Shobuni dalam Shofwah at-Tafasir beliau rangkum dalam kitabnya “Al-bayan li Akhtho’i ba’dhi al-Kitab”. Masuk dalam barisan panjang ulama penolak tafsir ini di antaranya: Syeikh Muhammad Jamil Zainu [pengajar tafsir di universitas Darul Hadits makkah], Syeikh Sa’ad Dzullam, Syeikh Bakr Abu Zayd, dll yang masing-masing mengungkapkan kritik dan penolakannya dengan menerbitkan buku. Dalam buku besarnya “Ar-Rudud”, syeikh Bakr Abu Zayd menyorot perilaku As-Shobuni yang mengumpulkan penafsiran dari penafsir-penafsir besar dengan latar belakang ideologi berbeda dalam satu kitab tafsir, seperti Zamakhsyari yang Mu’tazili, Ibnu Katsir dan Thobary yang Salafi, Ar-Rozy yang Asy’ari, Thibrsy yang Rhofidhy, dll. Aksi penolakan ulama-ulama besar saudi ini mau tidak mau memaksa pihak kementrian badan waqaf Kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu menurunkan perintah pelarangan beredarnya kitab ini. Juga surat edaran dari direktur umum badan waqaf dan masjid di Riyadh bernomor: 945/2/ ص, في 16/4/1408 H melarang penyebaran dan memperbanyak kitab tafsir ini sampai ada perbaikan permasalahan ideologi di dalamnya. Memang benturan ideologi dalam tafsir ini tidak bisa elakan, karena ada saat as-Shobuni menggunakan penafsiran a la Salafy yang mempraktekan methode “tafwidh ilallah” [khususnya ketika beliau merujuk tafsir dari Ibnu Katsir]. Dan ada saaat kita akan melihat beliau mengambil penafsiran a la Asy’ari yang menggunakan methode “ta’wil” [khusunya ketika beliau mengambil tafsir dari Ar-Razi]. Namun untuk Mu’tazilah beliau menjelaskan tidak mengambil dari Zamakhsyari kecuali penjelasan tentang masalah bahasa saja. Kenyataan ini membuat kita sulit mengira-ngira apa gerangan ideologi as-Shobuni. Terlepas dari permasalahan ideologi As-Shobuni, DR.Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, “ikhtiyarul mar’i qith’atun min aqlihi” maka lanjut beliau lagi, bisa dikatakan apapun yang dipilih dan diambil As-Shobuni dari kitab-kitab tafsir besar merupakan persetujuan beliau terhadap penafsiran-penafsiran itu. Jadi?


Nb: Mohon petunjuk atas segala ketidakpahaman saya



Daftar Referensi

- Abdul Qodir Muhammad Sholih, al-Tafsir wa almufassirun fi al-Ashri al-Hadits, Dar El-Marefah press, Beirut, 1424/2003.
- Syeikh Muhammad Ali as-Shobuni, Shofwah at-Tafasir, Dar As-Shobuni press, Cairo.
- Kumpulan diskusi dan tanya jawab di www.islamport.com
- Kumpulan diskusi dan tanya jawab di www.tafsir.org
- Kumpulan diskusi dan tanya jawab di www.qassimy.com
- Kumpulan diskusi dan tanya jawab di www.islam-qa.com