Imam Nawawi dan Taman Ke-Shalehan Hati

. Wednesday, August 29, 2007
0 comments

Pada tahun 1265M, Setelah mengalahkan bangsa Tartar di Syam, Az-Zahir Baybars I atau Rukn ad-Din Abu al-Futuh Baybars at-Turky, seorang raja koptik mesir keturunan Turki meminta fatwa dari ulama-ulama Syam agar diperbolehkan mengambil harta dari bayt-mal atas usaha mereka meluluhlantakkan bangsa Tartar yang selama ini menguasai Syam. Dengan iming-iming harta atau juga karena takut, sebagian ulama Syam memberikan fatwanya dan sebagian lagi dibunuh karena menolak memberikan persetujuannya. Dari seluruh ulama Syam, hanya tinggal seorang lagi yang belum dipanggil memberikan fatwanya. Setelah dipanggil, ulama ini datang dengan tubuh kurus dan pakaian yang jauh dari kesan mewahNamun saat diminta fatwanya, dengan tegas ulama tadi menolak karena menurut beliau, dalam teks fatwa buatan raja Baybars I hanya berisi kedzoliman. Maka semakin hebatlah kemarahan raja Baybars I. Lalu dengan digdayanya, dia meminta pembesar-pembesar kerajaannya untuk mencopot ulama tadi dari segala pekerjaannya. Lagi-lagi nihil, karena ulama tadi tak memiliki pekerjaan apa-apa. Namun raja Baybars I tetap saja tidak membunuhnya dan malah membebaskannya dengan mengusirnya keluar dari Syam. Pembesar-pembesarnya pun tergoda untuk bertanya: “ajaib sekali kau tak membunuhnya, padahal kau telah melakukannya pada ulama-ulama lain yang menolak titahmu?” dengan gemetar dan nada ketakutan raja Baybars I menjawab, “aku melihat dua binatang pemangsa [predators] keluar dari balik pundaknya dan ingin menerkamku, maka aku urung membunuhnya”. Di kemudian hari sejarah mencatat ulama yang selamat dari pembunuhan tadi adalah Abu Zakaria Yahya bin Hizam an-Nawawi, kita mengenalnya dengan Imam Nawawi. Jika menilik cerita di atas, maka bisa disimpulkan Nawawi hidup di akhir masa dinasti Ayyubiyyah dan pada masa raja barbarys I [658-676H/1260-1277M] salah seorang keturunan raja-jaja koptik Mesir. Dan pada masanya juga, bisa dibilang keilmuan Islam sedang menuju klimaksnya, karena pada abad-7 H, telah muncul dan tersebar ulama-ulama besar Islam yang masyhur di bidangnya, seperti: Ibnu Sholah [muhaddits], Ar-Rofi’i [ulama besar fiqh Syafi’i], Ibnu an-Nadhim [sejarawan], Muhyiddin ibnu Arobi [sufi], dll. Termasuk Imam Nawawi yang juga seorang pakar bahasa, muhaddits dan faqih [beliau seorang ulama besar fiqh madzhab Syafi’i]. Dalam Siyaar an-Nubala, Ad-Dzahabi mencantumkan puji-puji untuk Imam Nawawi dengan sebutan: As-Syeikh, al-Imam, al-Qudwah, al-Hafidz, al-Zahid, al-Abid, al-Faqih, al-Mujtahid al-Rabbani, Syaikh al-Islam, Hasanah al-Anam.

Imam Nawawi lahir di Nawa, daerah Hauran selatan Damsyik pada bulan Muharram 631H. Ayahnya bernama Syaraf bin Murry seorang pemilik toko di Nawa. Ibnu al-Athor, salah seorang murid setia Imam Nawawi memuji ayahnya sebagai syekh waliyullah yang zahid dan wara’. Mengenai julukannnya ‘muhyii ad-diin’ [yang menghidupkan agama], Imam Nawawi sangat tidak menyukainya. Karena menurut beliau, agama akan selalu dan pasti hidup tanpa membutuhkan orang yang menghidupkannya. Sikap ini sekaligus mencerminkan ketawadhuan beliau. Seorang Muhaddits, Ahmad bin Farh al-Lakhami [w 699H] menceritakan bahwa Imam Nawawi pernah berkata: “saya tidak akan membolehkan orang lain menjuluki saya sebagai Muhyiddin “. Masa kecilnya dihabiskan menemani ayahnya di toko yang dia punya, sambil sesekali menimba ilmu dari beberapa masyayikh di Nawa. Pada tahun 649H, saat berumur 18 tahun, bersama bapaknya beliau menuju Damsyik yang saat itu dikenal sebagai pusat keilmuan dunia islam. Babak baru hidupnya dirangkai di kota ini. Memulai karirnya sebagai tholib al-ilmi, beliau mendatangi syekh Jamaluddin Abdul Kafi. Namun belum secuil Nawawi muda mencicipi ilmunya, beliau malah menyarankan agar Nawawi mengikuti halaqoh mufti Syam saat itu syekh At-Taaj al-Firkah yang tak lama kemudian merekomendasikannya untuk belajar di madrasah Rawahiyyah bersama syekh al-Kamal Ishaq al-Maghribi. Dua tahun berada di Damsyik, bersama ayahanda tercinta beliau menunaikan haji. Lalu menetap di Madinah al-Munawwaroh sekitar satu bulan setengah sambil tetap menimba ilmu pada syekh al-Marakisy. Dan selama di sana beliau telah dua kali menunaikan ibadah haji. Setelah haji, beliau pulang ke Damsyik dan kembali menetap di madrasah ar-Rawahiyyah hingga wafatnya pada malam keempat, 24 rajab 676H dan dimakamkan di Nawa sebagaimana permintaannya. Karena kejuhudannya dalam menimba ilmu, dalam jangka waktu 10 tahun beliau mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama besar pada masanya, bahkan kalo boleh dibilang melampaui.

Seperti Ibnu Katsir dalam Bidayah wa an-Nihayahnya menyebut beliau sebagai ulama spesial yang kelebihan-kelebihannya tidak mampu di capai ulama-ulama fiqh lain. Di antara gurunya: al-Kamal Ishaq al-Maghribi, Abdurrahman bin Nuh, Zainuddin Abul Baqo, dll. Murid-muridnya seperti: Ibnu al-Athor, al-Badr Muhammad ibnu Jama’ah, dll. Adapun sebagian karya besarnya: Syarh Muslim, Riyadhus-Sholihin, al-Raudhoh, al-Adzkar, al-Manhaj, at-Tibyan, dll

Nawawi, usia, dan beberapa karya

Sebagaimana sedikit dipaparkan di atas, Imam Nawawi memulai debutnya sebagai pelajar saat berumur 18 tahun di Damsyik [649H]. Dan mulai menulis pada tahun 660H hingga wafatnya. Dengan kata lain, beliau hanya membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk menjadi seorang ulama besar. Karena beliau hidup tidak lebih dari 45 tahun [631H-676H]. Bisa dibilang, secara keseluruhan usia produktifnya belajar dan berkarya tidak lebih dari 25 tahun, dan hanya mati yang dapat menghentikannya. Proses pembelajaraan yang amat singkat dengan hasil yang luar biasa. As-Sakhawi, dalam biografi Imam Nawawi menceritakan bahwa Imam Nawawi itu kalau menulis sampai ‘pegel-pegel’ dan lemes tangannya, lalu beliau letakkan penanya di meja dan bersenandung. Oleh al-Kamal al-Adfawi senandungnya diterjemahkan: “Aku menulis karya-karyaku ku pada zaman yang mudah dan umur yang sedikit”. Karya-karya Imam Nawawi terbagi 3 macam: 1. Karya yang selesai sempurna penulisannya, seperti: Syarh Muslim, al-Roudhoh, Riyadhus-Sholihin, dll 2. karya yang belum selesai karena beliau telah wafat lebih dulu, seperti: al-Majmu Syarh al-Muhadzab, Syarh al-Wasith, Syarh al-Bukhori, dll 3. karya yang dihapus karena alasan-alasan tertentu. Beberapa alasan Imam Nawawi menghapus karyanya: khawatir tidak ikhlas saat menulis, beberapa tulisan masih belum matang dan tidak ada waktu untuk mengecek ulang. Ibnu al-Athor muridnya setianya sedikit bercerita tentang hal ini, “pernah sekali Syekh Imam Nawawi meminta saya menjual kertas-kertas [sekitar seribua-an kertas] yang berisi tulisan-tulisan beliau, namun kemudian malah menyuruh saya menghapus tulisan yg ada di kertas-kertas tadi. Dan saya takut jika tak melakukan perintahnya, maka saya pun taat. Namun sekarang saya rasa menyesal”. Imam ad-Dzahabi menuturkan secara umum gaya kepenulisan Imam Nawawi dalam kitab-kitab karangannya, “lebih sederhana daripada ucapannya sehari-hari”. Karena bahasanya yang mudah dan sederhana, maka tidak sedikit ulama yang hafal di luar kepala karya-karya beliau. Seperti Ibnu Malik an-Nahwi yang hafal al-Manhaj.

Riyadh as-Shalihin Min Kalami Sayyidil Mursalin.

Riyadhus-Shalihin memiliki arti taman orang-orang shalih. Kitab ini berisi kumpulan hadits-hadits nabi yang berkenaan dengan masalah hukum, nasihat, kabar gembira, dan penjelasan mengenai amal-amal sholeh dan apa yang akan kita dapatkan dengan melakukan itu. Kitab ini tersusun dari 21 bagian [kitab]: Muqoddimah, kitab al-Muqoddimah, kitab al-Adab, kitab al-Adab at-Tho'am, kitab Adab al-Libas, kitab Adab an-Naum wa al-Idhtija’[berbaring], kitab as-Salam, kitab ‘Iyadah al-Maridh, kitab Adab as-Safar, kitab al-Fadhoil, kitab al-I'tikaf, kitab al-Haaj, kitab al-Jihad, kitab al-Ilm, kitab hamdillah ta'ala wa syukrihi, kitab Shalaat ‘ala Rasulillah SAW, kitab al-Adzkar, kitab al-Da'wat, kitab al-Umur al-Munha ‘anha, kitab al-Mantsurat wa al-Milh, dan kitab al-Isthighfar. Dan tiap-tiap bagian/kitab memiliki bab-bab berdasarkan tema utama, misalnya shalat, zakat, jihad, doa, Qur'an, dan sebagainya. Walau sebagian ulama menemukan bahwa hadits-hadits dalam kitab ini tidak semuanya shahih, namun tidak bisa kita pungkiri, kitab ini merupakan kitab yang memuat banyak kebaikan. Seperti yang juga diungkapkan penulis dalam muqodddimahnya: “saya punya keinginan menghimpun sebuah ringkasan dari hadits-hadits shahih, mencakup segala apa yang bisa menjadi jalan pemiliknya menuju akhirat, memenuhi adab-adabnya yang bathin maupun yang dzhahir, merangkum kabar gembira dan ancaman, juga menjelaskan berbagai macam adab ahli suluk, seperti hadits-hadits zuhud, latihan-latihan jiwa, pembersihan akhlak, kesucian-kesucian hati dan obat-obatnya, pemeliharaan anggota badan dan menghilangkan penyimpangannya, dll. Setelah wafatnya Imam Nawawi dalam kurun waktu yang lumayan lama, belum ada satu pun ulama yang mensyarh kitab ini. Ulama yang tercatat pertama kali mensyarh kitab ini adalah Muhammad Ali bin Muhammad ‘Allan as-Syafi’i [w 1057H]. Beliau seorang ulama besar yang lahir di penghujung abad-10H. Kitab beliau yang ditulis sebagai syarh kitab Riyadhus-Shalihinnya Imam Nawawi adalah “Dalil al- Falihin li Thuruqi Riyadhi as-shalihin” kitab ini dicetak 4 jilid. Dalam muqoddimahnya beliau berujar: “aku hanya ingin sedikit memberikan komentar dengan cara ilmiah atas kitab Riyadhus-Shalihin..”. Sebagai penutup, mengutip harapan syekh Imam Nawawi di akhir muqoddimahnya, “Saya berharap jika kitab ini telah rampung bisa menuntun semua yang turut serta memperhatikannya menuju kebaikan juga sebagai perisai dari segala keburukan dan dosa-dosa yang membinasakan. Dan saya memohon kepada semua yang mengambil manfaat dari kitab ini, agar mendo’akan saya, orangtua saya, guru-guru saya dan orang-orang yang kami cintai serta seluruh kaum muslimin. Hanya kepada Allah saya bergantung dan hanya kepada-Nya saya berserah diri dan bersandar. Hasbunallah wani’mal wakil ,wala haula wal quwwata illa billahil azizizil hakim. Amiin.







Daftar Referensi:

- Abdul ghani ad-Daqr, al-Imam al-Nawawi; Syaikh al-Islam wa al-Muslimin, wa ‘Umdah al-Fuqaha wa al-Muhadditsin, Daar el-Qalam press, Damsyik, cet.5 1426/2005
- al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin, Daar as-Salam press, cet.5 1428/2007
- Ibnu ‘Allan As-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li thuruqi Riyadhi as-Shalihin, www. Al-meshkat.com
- http://www.islamiccoins.ancients.info
- http://www.coptichistory.org
- http://www .bahrainevents.com
- http://www.ummah.com


Shubhan Hafidz

Kritik Nalar Islam

. Tuesday, August 21, 2007
0 comments

Prolog
Konsep Nalar Islam
Mengandaikan adanya nalar abadi yang secara apriori betul-betul konkordan dengan ajaran-ajaran wahyu, pasti senantiasa ada, tidak saja pada pelbagai mainstrean pemikiran dalam Islam, tetapi juga dalam Yahudi dan Kristen. Pengandaian ini menggambarkan keimanan terhadap wahyu (atau informasi-informasi wahyu) akan menguatkan akal manusia, menunjuki dan memberinya jalan, di mana ketika akal hanya dibiarkan bergerak sendiri, maka ia akan tersesatKeimanan tentang adanya unsur ketuhanan pada akal yang mengandung pengakaran ontologis aktivitas-aktivitas nalar manusia, sebenarnya sudah menjadi gejala umum dan cukup populer dalam Islam melalui hadis Nabi yang muncul dari aliran pemikiran iluminasi:

“Sesungguhnya ketika menciptakan akal, Allah swt. berkata kepadanya: “Berdirihlah kamu!” Maka berdirilah ia. Kemudian Allah berkata lagi: “Duduklah!” Maka duduklah ia. Lalu Allah berkata lagi: “Menghadap ke depan!” Maka menghadaplah ia ke depan. Kemudian Allah berkata lagi: “Menghadap ke belakang!” Maka menghadaplah ia ke belakang. Setelah itu Dia berfirman: “Demi kehormatan-Ku, kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, kekuasan-Ku, ketinggian tempat-Ku, kebertahtaan-Ku di atas `Arsy, dan kemampuan-Ku menciptakan, Aku tidak pernah menciptakan suatu ciptaan yang lebih mulia bagiku darimu, tidak pula lebih baik bagiku darimu. Denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, denganmu Aku mengetahui, denganmu aku disembah, dengamu Aku memberi pahala, dan denganmu Aku memberi hukuman.”

Demikianlah kita lihat, betapa akal nampak transenden dan tunduk pada batas-batas firman normatif Tuhan berikut “paksaan-paksaan-Nya” secara bersamaan. Realitanya, sebagaimana pengamatan Lewis M. yang selanjutnya dipertegas oleh Mohammed Arkoun, bahwa setiap nama dalam al-Qur’an memberikan kepada sesuatu yang dinamai, hakikatnya yang abadi sesuai dengan ilmu Tuhan serta eksistensi obyektif-Nya dalam sistem ciptaan, dan hukum syari`at-Nya dalam eksistensi historis manusia. Demikianlah pemikiran Islam terbentuk dan berkembang berdasarkan prinsip keimanan yang terepresentasikan dengan akar ketuhanan bagi akal, keimanan yang terpersonifikasi dalam teks lingual yang terbatas, yaitu al-Qur’an. Lalu datanglah al-Syafi`i dan menempatkan Sunnah pada posisi sejajar dengan al-Qur’an. Dalam makna dan perspektif seperti ini, barangkali kita bisa berbicara tentang nalar Islam (al-`aql al-islâmî).

Banyak sudah karya diterbitkan untuk menggambarkan nalar Islam dari segi formalisme eksternal, banyak pula karya yang berbicara tentang produk serta perkembangannya, akan tetapi hingga sekarang belum ada analisa dekonstruktif atau kritik epistemologis terhadap dasar-dasar, mekanisme-mekanisme, tema-temanya dan apa yang tak terfikirkan (al-lâ mufakkar fîhi) yang lahir dari metode paradigmatiknya yang khusus dalam sistemisasi ranah yang terbuka bagi sesuatu yang terfikirkan (al-mufakkar fîhi). Aktivitas atau studi semacam ini sekarang sangat diperlukan karena dua sebab:

Pertama, yang sangat urgen dan mendesak, dari sisi perspektif umum sejarah pemikiran, yaitu menerapkan metodologi-metodologi dan problematika-problematika baru dalam studi Islam. Artinya menerapkan metodologi-metodologi serta wawasan-wawasan studi yang luas, seperti historis, antropologi dll. Lalu setelah itu berbicara mengenai faktor-faktor sosial yang mengontrol proses pembentukan nalar dan rekonstruksinya. Itu semua memerlukan studi terhadap kekurangan-kekurangan sejarah linear pemikiran yang abstrak.

Kedua, saat ini Islam politik “mengaku-ngaku” berpijak pada sistem nalar-nalar yang mengarah pada fungsi justifikatif formalistik nalar Islam klasik. Sehubungan dengan ini, kita perlu mempertanyakan legalitas keagamaan, historis dan filosofisnya. dalam menyelesaikan problem ini, paling tidak kita perlu melihat tiga hal berikut:

1 – Bagaimana posisi nalar Islam klasik dari sisi epistemologi?
2 – Adakah kontinuitas historis yang sebenarnya antara nalar Islam klasik dan kualitas nalar-nalar yang diakui dijadikan sandaran oleh wacana-wacana Islam kontemporer? Atau mungkin antara keduanya terdapat jurang pemisah (keterputusan) yang tak terlihat karena tertutupi oleh reduksi-reduksi kultural terhadap masa lalu?
3 – Bagaimana pandangan pemikiran Islam saat ini mengenai historitas nalar secara umum, dan historitas nalar Islam secara khusus?

Kita bisa menggabungkan pertanyaan-pertanyaan di atas dalam judul-judul berikut:
1- Nalar Islam klasik.
2- Macam-macam Islam (keragaman Islam), nalar ortodoksi dan pengalaman amaliyah.
3- Diskursus-diskursus Arab kontemporer dan nalar Islam.


Memahami Kritik Nalar Islam
Dalam memahami Kritik Nalar Islam (naqd al-`aql al-islâmî) secara epistemik kita perlu melihat dari dua sisi, dari sisi dekonstruktif yaitu melihatnya guna menganalisa komponen-komponen pemahamannya. Sedangkan sisi konstruktif yaitu melihatnya dengan maksud membatasi makna umumnya.

Sisi pertama: dekonstruksi komponen-komponen pemahaman
1- Kritik (al-naqd). Apa makna kritik? Apakah ia merupakan penjelasan mengenai kapasitas-kapasitas, sebagaimana dalam konsep Kant? Barangkali maksudnya adalah penjelasan mengenai batas-batas nalar Islam, berikut faktor-faktor gerakannya di luar batas-batas tersebut, atau mungkin pencarian faktor-faktor baru agar bisa lepas dari ikatan, sebagaimana dalam makna kata kerja (fi`l) “`aqala”. Artinya bahwa kritik (naqd) adalah re-kualifikasi atau re-deskripsi (‘i`âdah washf) komponen-komponen nalar Islam melalui aktivitas-aktivitas konstruktif dalam pelbagai aspek pengetahuan atau intelektualitas. Kalau kita membaca beberapa karya semisal proyek Naqd al-`Aql al-`Arabî-nya Aljabree, Naqd al-`Aql al-Islâmî-nya Mohammed Arkoun dll, kita akan melihat bahwa kritik mempunyai signifkasi analisis kritis historis terhadap sistem-sistem pengetahuan atau epistemologi dalam kebudayaan Islam.

2- Nalar (al-`aql). Apa makna nalar? Adakah ia merupakan potensi berfikir, kemampuan pada subyek yang tahu, salah satu potensi jiwa sebagaimana dikatakan para ulama salaf? Atau apakah “cahaya fitrah” dan “indera pasti” seperti pandangan kaum modernis —sejak Descartes dalam “Cogeto” atau “Aku Berfikir” menurut Kant?

Dalam proyek besarnya, Naqd al-`Aql al-`Arabî, Aljabree menegaskan bahwa nalar adalah produk budaya (muntaj tsaqâfî), sebagai kreasi orang-orang bijak, baik para ahli teologi, filsuf, ahli ushul dan ahli iluminisme, bahkan juga para ahli fikih, ahli gramatika bahasa Arab, ahli tafsir, ahli hadis dan kaum historian. Nalar juga merupakan potensi, namun bukan informasi awal terhadap produk pemikiran, akan tetapi ia adalah hasil dari proses berfikir itu sendiri.

Sementara Hassan Hanafi mempunyai pandangan lain, menurutnya, “pemikiran” atau “kebudayaan” lebih tepat digunakan daripada nalar (al-`aql). Karena nalar adalah alat dan metode, sedangkan pemikiran dan kebudayaan adalah produk dan karya. Produk itu mencakup; (1) ilmu-ilmu naqliyah `aqliyah —teologi (kalam), filsafat (hikmah), tasawuf dan ushul; (2) ilmu-lmu naqliyah murni —al-Qur’an, hadis, tafsir, sejarah Nabi (sirah), fikih; (3) ilmu-ilmu aqliyah murni —matematika, arsitek, astronomi, musik, kedokteran, kimia, geografi dll. Ini sesuai dengan klasifikasi para filsuf, misalkan seperti al-Kindy, al-Faraby dan Ibn Sina. Bahkan Aljabree sendiri masih mempertanyakan, nalar atau kebudayaan? Persoalannya banyak kata yang bisa dijadikan padanan; turâts (tradisi), al-mawrûts, al-fikir (pemikiran), al-tsaqâfah (kebudayaan) dan al-hadlârah (peradaban).

3- “Islam”, kata ini merupakan ranah di mana “nalar” berpijak, maksudnya adalah sekumpulan prinsip, dasar dan ketetapan yang menjadi sandaran nalar —lebih merupakan unsur-unsur penentu dan subtansi kritik. Namun ada pertanyaan, adakah nalar disifati dengan agama, atau ia hanya sekedar potensi rasional, kekuatan dalam jiwa, kemampuan untuk berfikir sebagai sebuah ekspresi diri melalui aktivitas sastra, kultural, ilmiyah dengan bahasa dan dalam konteks terbatas. “Islam” adalah sifat bagi produk budaya, bukan sifat bagi akal manusia. Sebenarnya pengkotak-kotakan nalar bermula dari Barat, yaitu pada abad kesembilan belas. Mereka berbicara tentang nalar Kristen, nalar Yahudi, nalar Islam dll. Mereka membeda-bedakan ini dengan tujuan membuat semacam tingkatan “teratas” dan “terendah”.

Dari hal-hal di atas dapat kita simpulkan poin-poin berikut:
Pertama, kritik merupakan pencarian terhadap sisi metodologis. Sedangkan nalar merupakan pencarian terhadap sisi mendasar, artinya pembentukan pengetahuan dengan sumber-sumber dan kaidah-kaidah.

Kedua, kritik merupakan pencarian terhadap metode; pertanyaannya, metode apakah itu? Jawabannya bahwa yang menentukan metode tersebut adalah dua hal, pertama adalah tema (kritik). Kedua adalah kerangka umum atau kerangka dasar (Islam).

Ketiga, “nalar” merupakan sisi yang dapat berubah (al-jânib al-mutaghayyir), sedangkan “Islam” merupakan sisi yang tetap (al-jânib al-tsâbit). Al-mutaghayyir tidak boleh memisahkan diri dari al-tsâbit, sebagaimana al-tsâbit tidak boleh kehilangan al-mutaghayyir. Al-tsâbit memberikan unsur sistem terhadap al-mutaghayyir guna menjaganya dari kekacauan, sedangkan al-mutaghayyir memberikan unsur elastisitas dan gerakan terhadap al-tsâbit guna menjauhkannya dari kemandegan dan kejumudan.

Keempat, “Islam” merupakan penentu bagi “kritik” dan “nalar”. Artinya bahwa kritik yang dimaksud tidak mengarah pada nalar yang tidak sesuai dengan Islam, inilah standar dasar dan tetap dalam menentukan dan memilih metode. Di samping itu bahwa nalar yang dimaksudkan dalam proses kritik merupakan nalar yang berhubungan dengan Islam sebagai dasar pijakan, jika tidak, berarti keluar dari konteks pembahasan.

Adapun dari sisi konstruktif, mungkin bisa dikatakan bahwa Kritik Nalar Islam ditentukan dalam dua sistem, sistem pemikiran subyektif dan sistem pemikiran obyektif.

Ditinjau dari sistem pemikiran subyektif, Kritik Nalar Islam mempunyai arti upaya menyelidiki modernitas dari dasar Islam. Dalam hal ini ada tiga unsur:

1- Mengalihkan perhatian dari tradisi lama ke arah tradisi kontemporer dengan maksud melepaskan diri dari cengkraman masa lalu, ini mencakup hubungan nalar dengan dirinya.

2- Mengupayakan kemampuan dalam mengimbangi tuntutan-tuntutan masa kini dengan maksud melepaskan diri dari problematika ketertutupan, ini mencakup hubungan nalar dengan zamannya.

3- Menyingkap makna progresivitas (al-taqaddum) sekaligus menegaskannya dengan tujuan melepaskan diri dari kejumudan, ini mencakup hubungan nalar dengan diri dan zamannya secara bersamaan.

Sedangakan dari sistem pemikiran obyektif, pemahaman Kritik Nalar Islam berarti upaya membatasi deskripsi nalar yang kontradiktif dengan stagnasi dan fanatisme. Stagnasi adalah keadaan internal sebagai warisan dari masa kemunduran dan keterbelakangan. Sama halnya dengan subordinasi dalam fanatisme, yaitu keadaan eksternal sebagai konsekuensi kekalahan karena hegemoni Barat.

Stagnasi dan fanatisme tidak akan berdampak pada terpeliharanya identitas dan tradisi, sebagaimana subordinasi tidak akan menciptakan modernitas serta kemajuan. Keduanya tidak akan menyediakan ruang gerak bagi kritik.

Jadi kritik nalar Islam merupakan kritik terhadap dua hal di atas, yaitu sebagai sebuah proses guna melahirkan “arus ketiga” yang selain mampu berinteraksi dengan tradisi tetapi tidak tertutup di dalamnya, juga mampu berinteraksi dengan masa kini tetapi tidak menjadi remuk karenanya.


Rodliansyah

Seputar Wajah Tafsir Al Qur'an

. Sunday, August 19, 2007
0 comments

Setiap tafsir tentunya adalah gerbang menuju pemahaman yang lebih layak.Tafsir yang diimin-imingi dengan baju humanis, liberalis atau gejala is lainya tak mungkin dituangkan begitu saja. Semua jenis macam penafsiran merupakan catatan seorang penafsir akan tradisi yang biasa disebut sebagai kecenderungan lantas kepentingan yang tertimbun diatas sisi fragmen metodologi. Pelbagai embel-embel tafsir yang digemuruhkan saat ini bukanlah sebuah diskontuinitas tahap perjalanan wacanaSemuanya mempunyai sepenggal historis yang bermula dari tradisi tafsir al Qur'an yang beranjak dari ke-kononan (riwayat/alma'tsur). Dan sulit rasanya jika segala jenis penafsiran terlalu mengandalkan metode kekononan. Ini dikarenakan Al Qur'an itu diam dan mati tapi corak penafsiran akan tumbuh secara bergerilya.

Berawal dari kenyataan diatas maka tafsir tidak melulu dinahkodai atau dibebankan kepada mereka yang sudah dinobatkan sebagai pemangku keagamaan tertinggi. Hendaknya terali yang membelit dalam tubuh tafsir segera ditanggalkan agar masing-masing dari kita bisa memahami dengan jelas kandungan al qur'an sesuai daya kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi usaha ini bukan dimaksudkan untuk menelantarkan proyek penafsiran yang sudah lama berjelaga. Betapapun juga proyek ini mesti terus digalakkan oleh sebagain pihak yang benar-benar berkesanggupan.

Jadi, saya menginginkan supaya tafsir bisa dikategorikan kedalam dua ruang yang berbeda. Ini dilakukan karena selama ini kitab al-Qur'an telah diabaikan sedemikian jauh oleh penganutnya.

Pertama adalah tafsir yang bertaraf sederhana. Tafsir ini merupakan panggilan dari seruan al-Qur'an yang acapkali melazimkan tiap pembacanya agar memahami makna dibalik gugusan kata yang bersemayam dalam firman Ilahi. Sederhananya penafsiran ini bukan sinonim dari apa yang tertera dalam kitab-kitab tafsir.

Tafsir ini tak lebih dari upaya perseorangan serta tidak memerlukan pelbagai instrumen yang ruwet dan jlimet. Asalkan ada denyut pemahaman berarti masing-masing perseorangan telah menunaikan kewajibannya. Dengan demikian maka tradisi penafsiran yang dulu pernah mekar dikalangan para sahabat akan senantiasa hidup dan bergerak bebas.

Kesalahan yang kerapkali dibuat oleh tafsir model ini adalah mengenai bentuk kesalah pahaman. Hal ini patut diulas disini lantaran sangat berhubungan erat dengan citra tradisi penafsiran. Belum lagi kesalahan semacam ini nantinya akan menjadi boomerang bagi eksistensi al-Qur'an sendiri. Dan sejatinya segala jenis kesalah pemahaman cenderung bermuara pada titik kelemahan dalam berinteraksi dengan bahasa al-Qur'an secara dialektis.

Untuk bersentuhan degan bahasa al-Qur'an secara sempurna saya kira merupakan permasalahan atau bisa dikatakan sebagai wujud dilema yang berabad-abad membatu. Kesulitan ini bukan hanya dirasakan oleh mereka yang tak mengenal karekteristik bahasa al-Qur'an saja melainkan bagi mereka yang benar-benar unggul dalam belantara sastra bahasa Arab. Juga beberapa sahabat Rasul seperti Umar dan Ibn Abbas yang didaulat sebagai turjuman al Qur'an (juru bicara al Qur'an) sempat mengeluh atas sebagain ayat al-Qur'an yang dirasa sangat pelik.

Kalau menurut penilaian saya permasalahan bahasa bukanlah suatu dilema (Baca; hambatan) melainkan segurat ketidak berdayaan yang terlalu dihiperbolakan. Sungguhpun al-Qur'an menggunakan bahasa Arab yang jelas (bilisan Arabiyin mubin) namun makna-makna yang dilirisnya semata milik Allah. Ini dikarenakan al Qur'an mencakup sekaligus berjejal dengan ayat-ayat mutasyabihat, muhkamat, mufassar, dzahir, nash, nasikh mansukh dan seperangkat kata-kata umum (amm), khusus (khass), hakekat dan majaz. Apalagi jika kita meyakini keberadaan makna lahir dan batin yang biasa digemakan oleh kalangan Sufi maupun Batiniah (Syiah Ismaiiliyyah).

Maka dari itu pemahaman yang kita amini saat ini ialah salah satu dari dari serentetan kemungkinan yang ditimbulkan oleh al-Qur'an. Al-Qur'an layak ditahbiskan sebagai pedoman hidup lantaran kemampuannya berdialektika dengan dunia manusia yang menyimpan nilai-nilai profan serta rentan dengan perubahan.

Sedang mengenai kasus lainnya kita mungkin memerlukan lebih banyak lagi al-Qur'an terjemahan. Dengan adanya terjemahan al-Qur'an ini mudah-mudahan sanggup menjembatani kesenjangan antara sipembaca dengan al-Qur'an. Kalau demikian,lantas bagaimana dengan istilah-istilah atau sebagian ayat yang sulit untuk difahami?.

Pertanyaan ini seyogyanya direkomendasikan lebih lanjut kepada masing-masing individu.Karena sejatinya pertanyaan semacam ini tidak perlu jawaban berbelat-belit. Cukup dikembalikan kepada diri kita sendiri. Jika kita termasuk golongan yang memiliki letupan ghirah/semangat menggebu-gebu maka secara otomatis kita akan mencari atau bertanya lewat pemuka agama yang dianggap memiliki kecakapan nan sesuai.jika tidak, berarti selamanya kita akan senantiasa bergelayut diatas ranting kebodohan,dan pada giliranya menyeret kita kearah keraguan.

Disini keaktifan sang dai'dan beberapa sarjana Islam sangat diharapkan sekali. Malah keaktifan ini mesti didukung oleh pihak pemerintahan dan kalangan umat Islam.kalau segalanya bisa berjalan dengan baik niscaya hambatan apapun tak lagi berkoar. Tak ada lagi kemalasan apalagi sikap acuh tak acuh akan firman Ilahi.

Kedua adalah model tafsir serius. Kajian seputar corak tafsir ini sudah lama digagas dan didiagnosakan dalam pelbagai literatur ushul at-tafsir. Untuk mencapai tujuan ini kita sangat memerlukan generasi-generasi unggulan. Pasalnya tidak semua dari kita sanggup mendeteksi maksud dari titah Tuhan yang begitu kompleks. Dengan adanya bibit unggulan itu diharap bisa menyambung mata rantai yang sudah lama putus seraya membangkitkan kembali spirit tafsir al-Qur'an yang pernah dibangun oleh generasi para sahabat.

Dalam magnum opusnya "al Itqan fi Ulum al Qur'an" as Suyuthi membeberkan lima belas syarat yang harus dimiliki bagi seorang mufassir sejati. Diantara lima belas syarat itu terdapat beberapa disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan unsur kebahasaan seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, maani dan bayan. Hemat saya unsur-unsur kebahasaan ini merupakan babak pertama yang sudah selayaknya dikuasai oleh kita sebelum dilantik sebagai penafsir ulung. Kemudian syarat-syarat tadi dilanjutkan dengan disiplin ilmu seperti sejarah, nasikh mansukh, kalam, asbab nuzul dan diakhiri dengan ilmu mauhibah (laduni); yaitu sejenis pengetahuan yang didapat lewat jalan ketakwaan.Mengenai ilmu jenis ini rasulullah pernah bersabda " Barang siapa mengamalkan apa yang telah ia pelajari niscaya Allah akan mewarisi ilmu yang belum pernah ia peroleh ".

Sedang al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh melengkapkan syarat-syarat diatas dengan beberapa cabang pengetahuan kontemporer. Diantara cabang ilmu tersebut adalah biologi, sosiologi, fisika, kedokteran dll. Penambahan ini saya kira hanya sebatas anjuran dan bukan merupakan kewajiban.

Andaikata syarat-syarat diatas telah terpenuhi maka model tafsir kedua ini sudah selayaknya digalakkan. Pun sekali lagi tidak semua orang berhak menafsirkan kehendak Tuhan melalui model tafsir serius ini. Udzur ini bukan kehendak untuk memboikot atau menganak emaskan sebagian pihak akan tetapi sebuah usaha pengharmonisan antara kemampuan dengan kenyataan yang beredar.

Sayangnya model tafsir seperti ini rawan dijadikan ladang empuk bagi kesuburan sekte-sekte. Terlebih jika ideologi yang dijajakan itu tak lagi mengalirkan arus kebajikan atau malah melampaui batasan makna-makna yang dikandung al- Qur'an.Sehingga al-Qur'an bukan lagi diposisikan sebagai pencetus ide-ide melainkan dibelokkan kesana-kemari demi kepentingan yang mereka usung.

Sekarang semuanya ada dipundak kita. Jika bukan kita lantas siapa lagi yang akan memahami dan mengamalkan titah Tuhan? Selebihnya terserah anda.

Ibnu Katsir Rujukan Para Mufassir

. Friday, August 17, 2007
0 comments

A. Mengenal Ibnu Katsir
Ibnu Katsir adalah sosok ulama besar. Dengan karya-karyanya yang brilian menjadikan beliau rujukan para ulama hingga sekarang. Nama lengkap beliau adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H/1301 di sebuah desa bagian kota Bashra di negeri Syam.1 Pada usia 4 tahun, ayahnya meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya Abd Wahab. Pada tahun 706 H, diusia 5 tahun beliau pindah dan menetap di kota Damaskus. Disini beliau memperdalam kitab fiqh dan hadits dengan berguru kepada Ibn Taimiyyah2. Dengan kecintaan terhadapilmu agama serta berkembang pesat ilmunya menjadikan Ibn Katsir memiliki derajat tinggi diantara lainnya dan oleh Imam Dahbi menggolongkannya sebagai kelompok pengkonsep para huffadz.3

Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H/1372 M di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski kini beliau telah lama tiada, tapi peninggalannya akan tetap berada di tengah umat, menjadi rujukan terpercaya dalam memahami Al Qur’an serta Islam secara umum. Umat masih akan terus mengambil manfaat dari karya-karyanya yang sangat berharga.4

B. Idiologi Ibn Katsir dan Masa Sekarang

Sebagai seorang yang tersohor pada abad 8. Ibn Katsir layak disejajarkan dengan ulama-ulama terkemuka seperti Imam Thobari, Qurtubi dll. Beliau bukan saja ahli dalam satu pengkajian, namun memiliki berbagai macam dimensi ilmu baik dalam bidang sejarah, tafsir maupun hadits. Bahkan Ibn Majah menyatakan beliau selalu tidak terlepas dari dunia keilmuan, ingatannya sangat kuat dan kehidupannya selalu dipenuhi dengan menulis kitab.5 Didekasi yang tulus serta berkelanjutan mengantarakan Ibn Katsir menduduki kasta tinggi dalam dunia keilmuan. dalam sejarahnya beliau melakukan ritual berguru dari satu tempat ke tempat lain.6 Hasilnya beliau menelorkan berbagai macam ragam karya yang berkualitas. Dari hasil karya yang tersohor adalah dalam bidang tafsir yang dikenal dengan nama tafsir Ibn Katsir.7 Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting yakni -tafsir yang paling benar- adalah ; tafsir Alquran dengan Alquran sendiri; bila penafsiran Alquran dengan Alquran tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad SAW–menurut Alquran sendiri, Nabi memang diperintahkan untuk menerangkan isi Alquran; jika yang kedua tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya Alquran; jika yang ketiga juga tidak ditemukan, maka pendapat dari para tabiin dapat diambil.8

Seorang ulama kontemporer Muhammad Rasyid Ridho memaparkan bahwa tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi perbahasan i'rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Qur'an secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.9

Dengan metode bilma’tsur, tafsir ini memberikan keunikan dan bobot tersendiri. Selain berhati-hati dan teliti dalam menafsirkan al-qur’an, juga memberikan kemudahan dalam memahami isi kandungan al-qur’an. Selain juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabiin Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif (lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini. Dengan keunikan itulah tafsir Ibn Kasir dijadikan rukukan oleh para ulama dan mufassir hingga sekarang.

Meski tercatat sebagai buku turast, tetapi tidak akan usang jika disandingkan dengan masa kekinian. Karya-karya yang mustahil dijumpai para era sekarang ini masih dibutuhkan umat sebagai rujukan dalil dan penafsiran. Dengan metode kuat dan akurat yaitu bilma’tsur keilmiahan serta kebenarannya tidak akan diragukan lagi. Beda dengan karya-karya ulama lain yang sebagian mengetengahkan penafsiran dengan metode arro’yu (penafsiran dengan akal)10 kadang kala memberikan pemikiran kontras dengan orang lain. kendati tidak semua penafsiran semacam ini berlabelkan makruh, akan tetapi bagi sebagian ulama ekstrim yang telah mengecap no atas pencampuran metode akal tentu dianggap sebagai penafsiran membahayakan. Dengan demkian sudah jelas bahwa penafsiran dengan metode seperti ini tidak akan mewakili seluruh komunitas ulama baik dulu maupun sekarang. Itulah sebabnya sebagian besar karya-karyanya tenggelam oleh metode yang diusung oleh Ibnu Katsir, Imam Thobari dkk

Oleh sebabnya alqur’an sebagai wahyu Tuhan tidak serta merta ditafsirkan dengan metodologi membabibuta. Penulis sendiri jera dengan artikel berjudul “Kecenderungan Berideologi dalam Tafsir Al-Qur’an”11 yang ditulis intelektual muda kairo Dede Sulaiman, saya menganggap beliau sangat alergi dengan karya-karya yang yang didentumkan oleh kaum salaf. Dalam tulisannya beliau mengkritik bahwa hanya kaum salaf saja yang berhak menafsirkan al-qur’an dimana dapat menimbulkan efek samping terhadap pembatasan otoritas penafsiran oleh sebagian kelompok umat Islam. Bagi saya ungkapan baliau sedikit provokatif terkait dengan kaum salaf. Dan sejujurnya bahwa kaum penulis sekarang tidak bisa menciptakan karya yang sepadan dengan ulama zaman dahulu . Saat ini seorang penulis lebih banyak menghasilkan karya yang tidak utuh, belum lagi kecondongan akan material akhirnya karyapun tidak berkualitas.

Parodi ini masih belum berhenti, hasil karya penafsiran zaman sekarang lebih cenderung mencari titik lemah. Dalam kontek ini penafsiran yang masih ada ikhtilafnya diperparah dan dibesar-besarkan dengan metode dibuat-buat. Itulah mengapa karya atau penafsirkan antara ulama salaf dengan zaman sekarang jauh berbeda. Hanya satu yang bisa kita lakukan adalah merujuk pada ulama salaf. Wallahua’lam bissoab

____________________________________

1. Tafsir Ibn Katsir

2. Muqoddimah dalam buku shofwatul as-siroh an-nabawiyah

3. Lihat bagian akhir dari “adzkirotul alhuffadz lil husaini”

4. Majallatu al attasfia edisi 03/2006, hal.63-64)

5. ibid, hal 5. diantara kitab-kitab beliau dalam bidang tafsir adalah; Tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid, Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran). Dalam bidang Sejarah karya beliua adalah; Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan adn Akhir), Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), Tabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii) dalam bidang hadits karya antara lain; Jami al-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan), Al-Kutub as-Sittah (Kitab-kitab Hadis yang Enam), Al-Mukhtasar (Ringkasan), Adillah at-Tanbih li Ulum al-Hadits (Buku tentang ilmu hadis), At-Takmilah fi Mar'ifat as-Sigat wa ad-Dhua'fa wa al-Mujahal

6. diantara guru-guru beliau sebagaimana disebutkan dalam pengantar kitab tafsir adalah; Syekh Abu Abbas ahmad bin Taymiyyah, Alhafidz Abu Alhaj Yusuf Almazi, Alhafidz Abu Abdullah Bin Ahmad Ahdabi, syekh Abu Abbas Ahmad Hajar Alsyahri, Syekh Abu Ishaq Ibrahim Alfazari, Alhafidz Kamal Addin Abd Wahab Asyahri, Kamaluddin Abu Al'ali Moh. bin Azzamlaki, imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya, Imam Ulumuddin Moh. Qosim Albarzali, Syekh Syamsuddin Abu Nasr Moh Syairozi, Syekh Syamsuddin Mahmud AlAshbahani, Afifuddin Ishak Bin Yahya Alamdi Alashbahani

7. Tafsir alqur’an kariem 10 jilid. Kitab ini masih menjadi bahan rujukan sampai sekarang karena pengaruhnya yang besar dalam bidang keaagamaan

8. Yang dikelan dengan metode penafsiran Bilma’tsur (riwayah). Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah; tafsir At-Tobary(جامع البيان في تأويل أى القران), Tafsir Ibn Katsir (تفسير القران العظيم), Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل), Tafsir Imam As-Suyuty (الدر المنثور في التفسير)

9. dalam buku pengantantar ulumul alqur’an

10. Metode ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama; Ar-ro’yu Al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan). Dengan beberapa syarat diantaranya; jtihad yang dilakukannya tidak keluar dari qur’an dan hadits, tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran Bil ma’tsur. Beberapa contoh tafsir yang menggunakan metodologi ini adalah; Tafsir Al-Qurthuby (الجامع لأحكام القران), Tafsir Jalalain (تفسير الجلالين), Tafsir Al-Baidhowy (أنوارالتنزيل و أسرار التأويل). Metode kedua adalah Ar-ro’yu Al-madzmumah (penafsiran dengan akal yang dicela) karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pengambilan hukum) hanya menggunakan akal/ logika yang semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilsai syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh ahli bid’ah yang yang sengaja menafsirkan ayat alqur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak yang dilakukan oleh ahli tafsir periode sekarang ini. Contoh tafsir yang menggunakan metode ini adalah; Tafsir Zamakhsyary (عيون الأقاويل في وجوه التأويل الكشاف عن حقائق التنزيل و) dll

11. Diskusi I‎ AVERROES COMMUNITY ‎03 AGUSTUS 2007‎ VOLUME 1, NUMBER ‎1



Memotret Aliran-Aliran Pemikiran

. Wednesday, August 15, 2007
0 comments

Dalam dunia filsafat sebagian tokoh mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, sebagian lagi ada yang berpendapat pengetahuan diperoleh melalui penginderaan, sebagian lagi bilang bahwa pengetahuan didapat melalui olah akal, dan seterusnya. Dalam bermazhab kita kenal beberapa aliran mazhab berikut ciri-ciri istimbath hukumnya. Pun dalam ber-Islam sendiri kita tahu banyak aliran didalamnya. Belum lagi bagaimana cara-cara peminat agama ini dalam mendekati tuhan guna menyingkap tabir hukum-hukum tuhan dengan berbagai macam varian olah yang mereka lakukan. Belum lagi pecahan dari setiap genre.Misalnya, genre aliran sosialis yang dipelopori August Comtee kini sudah beranak pinak, ada sosialis-materialis, sosialis-kapitalis, dan lain-lain

Daya cipta, rasa, dan karsa merupakan karunia tuhan bagi manusia. Dalam episode perjalanan hidup, manusia tidak pernah lepas dari pergumulan interaksi kebersamaan dalam berdialektika, baik antar sesama manusia atau alam sekitar. Dan, dengan daya yang dimilikinya kemudian manusia mampu memproduksi pengetahuan. Seharusnya, ketika ada satu fenomena pengetahuan juga ada satu kesatuan pengetahuan antara yang satu dengan yang lainya, tapi kenyataanya tidak demikian, bahkan berbalik, apa yang selazimnya satu menjadi berwarna-wani.

Keberagamaan yang terjadi tidak pernah lepas dari faktor keterpengaruhan. Manusia sebagai pencipta pengetahuan dengan dayanya adalah pihak terpengaruh. Sudah barang tentu kalau bahan-bahan dalam memperoleh pengetahuan ialah bahan terpengaruh. Maka, pengetahuan yang dihasilkan adalah produk terpengaruh karena komponennya berasal dari keterpengaruhan. Nah, dari pengetahun yang dihasilkan manusia inilah kemudian menimbulkan anggapan dan dari anggapan muncullah perilaku manusia sebagai ekses dari anggapan tersebut, pendek kata perilaku manusia adalah fotokopi dari anggapan yang diyakininya.

Contoh konkret dari uraian tersebut adalah kalangan tekstualis dan kontektualis nash. Orang-orang tektualis menganggap bahwa zakat tidak boleh diganti dengan nilai lain meski dengan ukuran yang sama dengan takaran. Sementara, orang-orang kontektualis melegalkan bilamana biji-bijian diganti dengan nilai lain yang sepadan dengannya. Ini terjadi karena kalangan kontektualis lebih menekankan terhadap aspek maksud teks, bukan teksnya, sementara kalangan tekstualis lebih pada teksnya saja tanpa memahami maksud didalamnya. Dari kedua aliran ini munculah aliran netralis teks yang memaklumi dan mengakomodasi kedua hukum. Penggunaan kedua hukum disesuaikan dengan kondisi. Ini hanya satu masalah, lalu masih bejibun masalah berikut aliran-aliran dalam masalah-masalah tadi.

Percaya apa tidak, memang ada kebenaran lain selain kebenaran menurut tuhan, yakni kebenaran menurut manusia. Namun sayangnya kebenaran-kebenaran yang nampak dari olah daya manusia tidak dijadikan landasan dasar atau semacam wahana untuk bersikap toleran terhadap kebenaran dan perilaku kebenaran yang berada diluarnya. Ketika para pelaku kebenaran meyakini bahwa kebenaran yang ada pada dirinya atau kelompoknya merupakan kebenaran tuhan, maka disinilah pangkal permasalahan. Dengan demikian, mereka menganggap apa yang menurut mereka benar harus dijadikan absolute of frame reference, saling membenarkan kebenaranya masing-masing, sekaligus meyakini kebenaran mereka adalah perwakilan kebenaran tuhan. Padahal kebenaran tuhan bukan kebenaran manusia, dan sebaliknya. Kebenaran manusia hanya berupaya mendekati kebenaran tuhan.

Sebenaranya bukanlah sebuah masalah yang harus dibesar-besarkan jika kebenaran yang mereka amini hanya ada dalam otak dan pemahaman, tidak terwujud dalam bentuk tindakan, namun karena mereka mewujudkannya dalam bentuk tindakan dan tidak hanya menyinggung, melainkan melukai dan menodai hakekat bersama dalam kebenaran, tak berlebihan bila kemudian muncul gesekan pemahaman, bahkan fisik. Lucu, bagaimana mungkin tindakan salah berlandaskan kebenaran? Seharusnya jika landasannya benar maka tindakannyapun juga benar. Tapi inilah realita.

Manusia saling mempertentangkan kebenaran. Dunia sosial masyarakat memang bukan dunia eksak, satu tambah satu hasilnya dua. Sebuah kesadaran yang patut dipatri dalam hati, satu kebenaran tambah satu kebenaran bukan dua kebenaran yang menyatu, tapi nol kebenaran.

Dus, bagaimana jika pertentangan sudah sedemikian menggejala dan korban akibat kebenaran sudah banyak, tidak hanya pada aspek sosial, pun juga ekonomi. Akankah kita mau ikut-ikutan meramaikan pertentangan kebenaran dengan membuat kebenaran baru juga? Selaras dengan apa yang terjadi, tidak sepatutnya terus-menerus mempertentangkan dan mempertanyakan kebenaran-kebenaran lain serta mengedepankan kebenaran kita sendiri. Sebab ada yang lebih baik dari itu semua, yakni memperebutkan kesalahan dan mempermasalahkan kesalahan.

Sebuah keniscyaan bila semua aliran mau bersama mempermasalahkan kesalahan dan kelemahan masing-masing maka tidak akan ada pertentangan kebenaran yang berakibat pada kesalahan, pun juga tidak akan ada keramaian kebenaran-kebenaran menyeruak diantara bilik-bilik ruang masyarakat. Semua sibuk mengurusi kesalahan masing-masing, menghargai kebenaran lain, serta tidak mengklaim ketidakbenaran kelompok lain.Tapi, ulasan diatas juga hanya sebuah upaya menemukan kebenaran terhadap apa yang terjadi dengan dunia sekeliling kita, bukan kebenaran mutlak. Wallahua’lamu bil showab.