Ketika Ijma' Tak Lagi di-Sukuti

. Friday, September 28, 2007
0 comments

Dalam satu kesempatan, ‘Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Rasulullah menjawab: “ Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah “. Dalam riwayat lain Rasulullah menyatakan, ""umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) dalam pernyataan Rasulullah ini tersirat makna bahwa apabila umatnya telah melakukan kesepakatan tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka kesepakatan itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dustaKata-kata rasulullah ini lah yang di kemudian hari menjelma Ijma, salah satu sumber hukum dalam Islam. Hadits tersebut di atas memang bukan satu-satunya dasar penetapan ijma sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena Allah pun telah mengisyaratkan penetapan Ijma sebagai sumber hukum dalam Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an yang Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59). Contoh kongkrit pelaksanaan ijma pada zaman sahabat adalah saat Rasulullah SAW meninggal dunia dan diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah. Dan atas kesepakatan bersama diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan seperti ini dapat dikategorikan ijma'.

Pada masa sahabat masih sangat mungkin melakukan ijma' dikarenakan pada masa itu kaum muslimin masih satu dan sedikit, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, dan daerah Islam belum begitu luas. Namun segala kemungkinan ini pun berakhir hingga masa kekhalifahan Utsman, di mana pada masa itu, telah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai pemegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Dus, Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin menjadi. Seperti peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, timbulnya golongan Khawarij, golongan Syi'ah. Hingga perselisihan dan perpecahan pun terus berlanjut pada masa dinasti Umawiyyah, dinasti Abbasiyah, dinasti Fathimiyah dan sebagainya. Belum lagi, semakin meluasnya wilayah Islam dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika. Dari ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil . Sebab-sebab ini semakin memperkecil kemungkinan terjadinya ijma' di masa-masa sekarang.

Selain masalah eksternal sebagaimana tersebut di atas yang membuat kita mempertanyakan kemungkinan terjadinya ijma. Dalam internal tubuh ijma berikut tekhnis-nya pun tidak terlepas dari perselisihan para ulama. Di mulai dari pertanyaan "apa itu ijma?", pertanyaan pun berlanjut ke-"Siapa yang berhak melakukan Ijma'?", hingga "bagaimana cara mengetahui bahwa sesuatu kesepakatan itu adalah hasil ijma'?", dll. Misalnya, Madzhab Zhahiri dan Ibn Hibban berpendapat bahwa ijma' hanya berlaku untuk shahabat, tidak untuk yang lain. Imam Ahmad [dalam satu riwayat] mengatakan bahwa ijma' adalah kesepakatan khulafa al-rasyidin saja. Imam Malik yang hanya merujuk pada ijma' penduduk madinah. Ulama lain yang merujuk pada ijma' ahlul haramain (penduduk Mekkah dan Madinah). Ulama lain menganggap ijma' adalah kesepakatan penduduk Basrah dan Kufah; sebagian ada yang bilang kufah saja. Bahkan ada juga yang bilang bahwa kesepakatan penduduk Basrah saja sudah cukup dipandang sebagai ijma' [Ibn Hazm, "al-Ihkam fi Usul al-Ahkam"] Sehingga seorang Ali Abdul Raziq pun dalam bukunya "al-Ijma' fi al-Syari'ah al-Islamiyah" berkomentar: "tidak dicapai Ijma' (kesepakatan) dalam merumuskan apa itu Ijma'?".

Contoh lain tentang perselisihan ulama dalam masalah penetapan suatu hukum berdasarkan ijma atau bukan, misalnya: dalam kitab al-Mughni dan Nail al-Awthar menyebutkan telah terjadi ijma' dalam hal fardhu 'ain-nya sholat jum'at. Padahal Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menyebutkan itu hanya pendapat jumhur ulama, bukan ijma'. Kitab fiqh yang terakhir ini menyebutkan adanya sekelompok ulama yang berpendapat bahwa sholat jum'at itu fardhu kifayah. Bahkan satu riwayat dari Imam Malik mengatakan sholat jum'at itu sunnah. Dari contoh soal sholat jum'at ini kita bisa menangkap adanya ketidaksepakatan dalam menentukan apakah satu masalah sudah di-ijma'-kan atau belum. Dengan meluaskan bacaan kita (tidak hanya merujuk pada satu atau dua kitab fiqh), boleh jadi masalah-masalah yang selama ini kita anggap merupakan ijma' ternyata belum merupakan ijma' atau sebuah kesepakatan yang mengikat?

Di Indonesia, ulama-ulama yang tergabung dalam MUI baru-baru ini mengeluarkan 11 fatwanya [termasuk fatwa tentang Ahmadiyah dan ideologi sekularisme, pluralisme dan liberalisme¬¬] yang akhirnya memicu kecaman dan reaksi keras dari tokoh-tokoh sekelas Abdurrahman Wahid, Djohan Efendi, Azyumardi Azra, dll yang mewakili Islam Modernis Liberalis. Bahkan kata "tolol" pun sempat disematkan kepada ulama-ulama MUI oleh seseorang yang menyatakan dirinya sangat memahami pluralisme(?) [Walau akhirnya dia menyatakan minta maaf. di depan pers]. Dalam diskursus Ijma yang selama ini kita tahu terbagi menjadi 2 macam cara terjadinya. pertama, Ijma Shorih yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan Kedua, Ijma Sukuti. yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja. Adapun kaitannya dengan fenomena-fenomena di atas -termasuk yang terjadi di Indonesia- berupa respon terhadap ijma entah itu berupa pertanyaan, kritikan, atau pun umpatan, membuat penulis harus berani mengambil kesimpulan bahwasanya gejala-gejala di atas telah menandakan atau menunjukkan di mana ke-shorihan ijma tidak hanya ditampakkan dengan kata sepakat. Atau dengan bahasa lain, gejala-gejala di atas menunjukkan bahwa ijma' kini tidak lagi di-sukuti.[baca: didiamkan]. Wallohu a'lam bis-showab.


Catatan: Tulisan ini berangkat dari kekurangpahaman dan kebingungan penulis [ternyata permasalahan ijma' tidak sesederhana apa yang pernah penulis pelajari saat 'Aliyah]. Tidak ada unsur liberalisasi, apalagi penolakan syari'at! Penulis hanya ingin belajar. Mohon diberi pemahaman yang benar…..


Subhan Hafidz

Muhammad Ali As-Shobuni: “Aku menamai kitabku Shofwah at-Tafasir”

.
0 comments

A. Sekilas tentang Muhammad Ali As-Shobuni

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Jamil As-Shobuni. Beliau lahir di kota Helb Syiria pada tahun 1928 M. Setelah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Syiria, beliau pun melanjutkan pendidikannya di Mesir, dan merampungkan program magisternya di universitas Al-Azhar mengambil tesis khusus tentang perundang-undangan dalam islam pada tahun 1954 M. Saat ini bermukim di Mekkah dan tercatat sebagai salah seorang staf pengajar tafsir dan ulumul Qur’an di fakultas Syari’ah dan Dirosat Islamiyah universitas Malik Abdul Aziz Makkah. Beliau juga dikenal sebagai pakar ilmu Al-Qur’an, Bahasa Arab, Fiqh, dan Sastra ArabAbdul Qodir Muhammad Shalih dalam “Al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-A’shri al-hadits” menyebutnya sebagai akademisi yang ilmiah dan banyak menelurkan karya-karya bermutu”. Di antara karya-karya beliau: “Al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyyah”, “ al-Nubuwwah wa al-Anbiya”, “min Kunuz as-Sunnah”, “Risalah as-Shalah”, “Rowai’u al-Bayan fi Tafsiri Ayat al- Ahkam fi al-Qur’an, “Shofwah at-Tafasir”, dll.

B. As-Shobuni dan Shofwah at-Tafasir

Shofwah at-Tafasir merupakan kitab tafsir karangan As-Shobuni. Beliau menyebutnya sebagai kumpulan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ma’qul. Menyinggung alasan penamaan kitabnya ini beliau menjelaskan, “aku menamai kitabku Shofwah at-Tafasir karena memuat inti dari kitab-kitab tafsir besar yang ku susun lebih ringkas, tertib, mudah, jelas, dan lugas ". Tafsir-tafsir besar yang beliau ambil sebagai rujukan: tafsir at-Thobari, tafsir Kasyaf karya Zamakhsyari, tafsir Qurthubi, tafsir Ruhul Ma’ani karya Al-Alusi, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Bahrul Muhith karya Abi Hayyan, juga dari beberapa kitab tafsir lain dan buku-buku ulumul Qur’an. Dalam Muqoddimahnya, as-Shobuni sedikit curhat mengenai proses kreatif penulisan kitab tafsir ini, “aku merampungkan penulisan kitab ini selama lima tahun siang dan malam. Dan aku tidak menulis sesuatu dalam kitab tafsir ini kecuali setelah aku benar-benar membaca apa yang ditulis ulama-ulama tafsir pada kitab mereka. Sekaligus meneliti dengan sungguh-sungguh supaya aku bisa menilai mana diantara pendapat mereka yang paling benar lalu aku mengunggulkannya”. Di antara alasan yang membuat penulis tafsir ini tergerak untuk menyusun kitab tafsirnya adalah banyaknya kitab tafsir dan ulumul Qur’an yang ditulis oleh para ulama, bahkan di antaranya merupakan kitab-kitab yang “gemuk” dan pastinya sangat berjasa membantu ulama dan masyarakat dalam memahami Al-Qur’an secara benar. Namun karena tingkat pendidikan dan kebudayaan manusia yang berbeda-beda, menjadikan di antara mereka masih merasa sulit menggapai pesan yang ingin disampaikan seorang mufassir dalam kitabnya. Nah, salah satu solusi mengatasi hal ini, maka seorang ulama dituntut untuk terus berusaha mempermudah dan meminimalisir kesulitan dalam kitab tafsirnya, supaya maknanya bisa lebih terjangkau masyarakat luas. Syaikhul Azhar DR. Abdul Halim Mahmud memberikan komentar tentang kitab ini, “Shofwah at-Tafasir adalah hasil penelitian penulis terhadap kitab-kitab besar tafsir, kemudian ditulis ulang dengan mengambil pendapat terbaik dari kitab-kitab tersebut yang disusun secara ringkas dan mudah”. Begitu pun yang di sampaikan DR.Rosyid bin Rojih [‘amid kuliyyah Syari’ah dan Dirasat Islamiyyah universitas malik Abdul Aziz] tentang Shofwah at-Tafasir, “ kitab ini sangat berharga, meringkas apa yang dikatakan ulama-ulama besar tafsir dengan menggunakan tata bahasa yang sederhana, tekhnik pengungkapan yang mudah dan lugas, disertai penjelasan dari segi kebahasaannya. Sungguh sangat memudahkan penuntut ilmu dalam memahaminya”. Adapun metode yang diterapkan As-Shobuni dalam tafsirnya:
1- Menjelaskan surat Al-Qur’an secara global, kemudian merinci maksud-maksud yang terkandung dalam surat tersebut
2- Menjabarkan hubungan antar ayat sebelum dan sesudahnya
3- Pembahasan tentang hal yang berhubungan dengan bahasa, seperti akar kalimat, dan bukti-bukti kalimat yang diambil dari ungkapan orang arab
4- Pembahasan tentang Asbab an-Nuzul
5- Pembahsan tentang tafsir ayat
6- Pembahasan ayat dari segi Balaghohnya
7- Penjelasan faida-faidah yang bisa dipetik dari suatu ayat

C. Shofwah at-Tafasir dan Polemik

Di antara karya-karya besar as-Shobuni, Shofwatut-Tafasir adalah yang paling banyak mengundang polemik. Polemik ini lahir terutama saat beliau menafsirkan suatu ayat a la asy’ary [dengan menggunakan methode ta’wil]. Misal sebagaimana yang dipaparkan syeikh Sholih bin Fauzan:
[Surat Al-baqoroh ayat:112] ”… بلى من أسلم وجهه لله…” Dalam menafsirkan ayat ini as-Shobuni mengutip pendapat dari Imam al-Rozi dalam tafsirnya Tafsir Kabir yang menakwilkan “الوجه” dengan “النفس” , maka makna ayat ini menurut al-Rozi: “ memasrahkan diri untuk selalu taat kepada Allah”. Dengan mengambil justifikasi dari ayat: “كل شيء هالك الا وجهه “. Ini hanya satu dari tafsir ayat yang disentil oleh syeikh Sholih bin Fauzan salah seorang ulama Saudi yang menyebut ta’wil pada ayat ini sebagai ta’wil bathil karena ta’wil al-wajh dengan makna ad-zat [sebagaimana manusia] sama dengan meniadakan sifat Allah yang telah pasti. Untuk juz 1 saja Syeikh Sholih bin Fauzan mencatat 54 kesalahan dari berbagai macam disiplin ilmu [termasuk Fiqh, dll]. Keseluruhan kesalahan syeikh as-Shobuni dalam Shofwah at-Tafasir beliau rangkum dalam kitabnya “Al-bayan li Akhtho’i ba’dhi al-Kitab”. Masuk dalam barisan panjang ulama penolak tafsir ini di antaranya: Syeikh Muhammad Jamil Zainu [pengajar tafsir di universitas Darul Hadits makkah], Syeikh Sa’ad Dzullam, Syeikh Bakr Abu Zayd, dll yang masing-masing mengungkapkan kritik dan penolakannya dengan menerbitkan buku. Dalam buku besarnya “Ar-Rudud”, syeikh Bakr Abu Zayd menyorot perilaku As-Shobuni yang mengumpulkan penafsiran dari penafsir-penafsir besar dengan latar belakang ideologi berbeda dalam satu kitab tafsir, seperti Zamakhsyari yang Mu’tazili, Ibnu Katsir dan Thobary yang Salafi, Ar-Rozy yang Asy’ari, Thibrsy yang Rhofidhy, dll. Aksi penolakan ulama-ulama besar saudi ini mau tidak mau memaksa pihak kementrian badan waqaf Kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu menurunkan perintah pelarangan beredarnya kitab ini. Juga surat edaran dari direktur umum badan waqaf dan masjid di Riyadh bernomor: 945/2/ ص, في 16/4/1408 H melarang penyebaran dan memperbanyak kitab tafsir ini sampai ada perbaikan permasalahan ideologi di dalamnya. Memang benturan ideologi dalam tafsir ini tidak bisa elakan, karena ada saat as-Shobuni menggunakan penafsiran a la Salafy yang mempraktekan methode “tafwidh ilallah” [khususnya ketika beliau merujuk tafsir dari Ibnu Katsir]. Dan ada saaat kita akan melihat beliau mengambil penafsiran a la Asy’ari yang menggunakan methode “ta’wil” [khusunya ketika beliau mengambil tafsir dari Ar-Razi]. Namun untuk Mu’tazilah beliau menjelaskan tidak mengambil dari Zamakhsyari kecuali penjelasan tentang masalah bahasa saja. Kenyataan ini membuat kita sulit mengira-ngira apa gerangan ideologi as-Shobuni. Terlepas dari permasalahan ideologi As-Shobuni, DR.Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, “ikhtiyarul mar’i qith’atun min aqlihi” maka lanjut beliau lagi, bisa dikatakan apapun yang dipilih dan diambil As-Shobuni dari kitab-kitab tafsir besar merupakan persetujuan beliau terhadap penafsiran-penafsiran itu. Jadi?


Nb: Mohon petunjuk atas segala ketidakpahaman saya



Daftar Referensi

- Abdul Qodir Muhammad Sholih, al-Tafsir wa almufassirun fi al-Ashri al-Hadits, Dar El-Marefah press, Beirut, 1424/2003.
- Syeikh Muhammad Ali as-Shobuni, Shofwah at-Tafasir, Dar As-Shobuni press, Cairo.
- Kumpulan diskusi dan tanya jawab di www.islamport.com
- Kumpulan diskusi dan tanya jawab di www.tafsir.org
- Kumpulan diskusi dan tanya jawab di www.qassimy.com
- Kumpulan diskusi dan tanya jawab di www.islam-qa.com




Imam Nawawi dan Taman Ke-Shalehan Hati

. Wednesday, August 29, 2007
0 comments

Pada tahun 1265M, Setelah mengalahkan bangsa Tartar di Syam, Az-Zahir Baybars I atau Rukn ad-Din Abu al-Futuh Baybars at-Turky, seorang raja koptik mesir keturunan Turki meminta fatwa dari ulama-ulama Syam agar diperbolehkan mengambil harta dari bayt-mal atas usaha mereka meluluhlantakkan bangsa Tartar yang selama ini menguasai Syam. Dengan iming-iming harta atau juga karena takut, sebagian ulama Syam memberikan fatwanya dan sebagian lagi dibunuh karena menolak memberikan persetujuannya. Dari seluruh ulama Syam, hanya tinggal seorang lagi yang belum dipanggil memberikan fatwanya. Setelah dipanggil, ulama ini datang dengan tubuh kurus dan pakaian yang jauh dari kesan mewahNamun saat diminta fatwanya, dengan tegas ulama tadi menolak karena menurut beliau, dalam teks fatwa buatan raja Baybars I hanya berisi kedzoliman. Maka semakin hebatlah kemarahan raja Baybars I. Lalu dengan digdayanya, dia meminta pembesar-pembesar kerajaannya untuk mencopot ulama tadi dari segala pekerjaannya. Lagi-lagi nihil, karena ulama tadi tak memiliki pekerjaan apa-apa. Namun raja Baybars I tetap saja tidak membunuhnya dan malah membebaskannya dengan mengusirnya keluar dari Syam. Pembesar-pembesarnya pun tergoda untuk bertanya: “ajaib sekali kau tak membunuhnya, padahal kau telah melakukannya pada ulama-ulama lain yang menolak titahmu?” dengan gemetar dan nada ketakutan raja Baybars I menjawab, “aku melihat dua binatang pemangsa [predators] keluar dari balik pundaknya dan ingin menerkamku, maka aku urung membunuhnya”. Di kemudian hari sejarah mencatat ulama yang selamat dari pembunuhan tadi adalah Abu Zakaria Yahya bin Hizam an-Nawawi, kita mengenalnya dengan Imam Nawawi. Jika menilik cerita di atas, maka bisa disimpulkan Nawawi hidup di akhir masa dinasti Ayyubiyyah dan pada masa raja barbarys I [658-676H/1260-1277M] salah seorang keturunan raja-jaja koptik Mesir. Dan pada masanya juga, bisa dibilang keilmuan Islam sedang menuju klimaksnya, karena pada abad-7 H, telah muncul dan tersebar ulama-ulama besar Islam yang masyhur di bidangnya, seperti: Ibnu Sholah [muhaddits], Ar-Rofi’i [ulama besar fiqh Syafi’i], Ibnu an-Nadhim [sejarawan], Muhyiddin ibnu Arobi [sufi], dll. Termasuk Imam Nawawi yang juga seorang pakar bahasa, muhaddits dan faqih [beliau seorang ulama besar fiqh madzhab Syafi’i]. Dalam Siyaar an-Nubala, Ad-Dzahabi mencantumkan puji-puji untuk Imam Nawawi dengan sebutan: As-Syeikh, al-Imam, al-Qudwah, al-Hafidz, al-Zahid, al-Abid, al-Faqih, al-Mujtahid al-Rabbani, Syaikh al-Islam, Hasanah al-Anam.

Imam Nawawi lahir di Nawa, daerah Hauran selatan Damsyik pada bulan Muharram 631H. Ayahnya bernama Syaraf bin Murry seorang pemilik toko di Nawa. Ibnu al-Athor, salah seorang murid setia Imam Nawawi memuji ayahnya sebagai syekh waliyullah yang zahid dan wara’. Mengenai julukannnya ‘muhyii ad-diin’ [yang menghidupkan agama], Imam Nawawi sangat tidak menyukainya. Karena menurut beliau, agama akan selalu dan pasti hidup tanpa membutuhkan orang yang menghidupkannya. Sikap ini sekaligus mencerminkan ketawadhuan beliau. Seorang Muhaddits, Ahmad bin Farh al-Lakhami [w 699H] menceritakan bahwa Imam Nawawi pernah berkata: “saya tidak akan membolehkan orang lain menjuluki saya sebagai Muhyiddin “. Masa kecilnya dihabiskan menemani ayahnya di toko yang dia punya, sambil sesekali menimba ilmu dari beberapa masyayikh di Nawa. Pada tahun 649H, saat berumur 18 tahun, bersama bapaknya beliau menuju Damsyik yang saat itu dikenal sebagai pusat keilmuan dunia islam. Babak baru hidupnya dirangkai di kota ini. Memulai karirnya sebagai tholib al-ilmi, beliau mendatangi syekh Jamaluddin Abdul Kafi. Namun belum secuil Nawawi muda mencicipi ilmunya, beliau malah menyarankan agar Nawawi mengikuti halaqoh mufti Syam saat itu syekh At-Taaj al-Firkah yang tak lama kemudian merekomendasikannya untuk belajar di madrasah Rawahiyyah bersama syekh al-Kamal Ishaq al-Maghribi. Dua tahun berada di Damsyik, bersama ayahanda tercinta beliau menunaikan haji. Lalu menetap di Madinah al-Munawwaroh sekitar satu bulan setengah sambil tetap menimba ilmu pada syekh al-Marakisy. Dan selama di sana beliau telah dua kali menunaikan ibadah haji. Setelah haji, beliau pulang ke Damsyik dan kembali menetap di madrasah ar-Rawahiyyah hingga wafatnya pada malam keempat, 24 rajab 676H dan dimakamkan di Nawa sebagaimana permintaannya. Karena kejuhudannya dalam menimba ilmu, dalam jangka waktu 10 tahun beliau mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama besar pada masanya, bahkan kalo boleh dibilang melampaui.

Seperti Ibnu Katsir dalam Bidayah wa an-Nihayahnya menyebut beliau sebagai ulama spesial yang kelebihan-kelebihannya tidak mampu di capai ulama-ulama fiqh lain. Di antara gurunya: al-Kamal Ishaq al-Maghribi, Abdurrahman bin Nuh, Zainuddin Abul Baqo, dll. Murid-muridnya seperti: Ibnu al-Athor, al-Badr Muhammad ibnu Jama’ah, dll. Adapun sebagian karya besarnya: Syarh Muslim, Riyadhus-Sholihin, al-Raudhoh, al-Adzkar, al-Manhaj, at-Tibyan, dll

Nawawi, usia, dan beberapa karya

Sebagaimana sedikit dipaparkan di atas, Imam Nawawi memulai debutnya sebagai pelajar saat berumur 18 tahun di Damsyik [649H]. Dan mulai menulis pada tahun 660H hingga wafatnya. Dengan kata lain, beliau hanya membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk menjadi seorang ulama besar. Karena beliau hidup tidak lebih dari 45 tahun [631H-676H]. Bisa dibilang, secara keseluruhan usia produktifnya belajar dan berkarya tidak lebih dari 25 tahun, dan hanya mati yang dapat menghentikannya. Proses pembelajaraan yang amat singkat dengan hasil yang luar biasa. As-Sakhawi, dalam biografi Imam Nawawi menceritakan bahwa Imam Nawawi itu kalau menulis sampai ‘pegel-pegel’ dan lemes tangannya, lalu beliau letakkan penanya di meja dan bersenandung. Oleh al-Kamal al-Adfawi senandungnya diterjemahkan: “Aku menulis karya-karyaku ku pada zaman yang mudah dan umur yang sedikit”. Karya-karya Imam Nawawi terbagi 3 macam: 1. Karya yang selesai sempurna penulisannya, seperti: Syarh Muslim, al-Roudhoh, Riyadhus-Sholihin, dll 2. karya yang belum selesai karena beliau telah wafat lebih dulu, seperti: al-Majmu Syarh al-Muhadzab, Syarh al-Wasith, Syarh al-Bukhori, dll 3. karya yang dihapus karena alasan-alasan tertentu. Beberapa alasan Imam Nawawi menghapus karyanya: khawatir tidak ikhlas saat menulis, beberapa tulisan masih belum matang dan tidak ada waktu untuk mengecek ulang. Ibnu al-Athor muridnya setianya sedikit bercerita tentang hal ini, “pernah sekali Syekh Imam Nawawi meminta saya menjual kertas-kertas [sekitar seribua-an kertas] yang berisi tulisan-tulisan beliau, namun kemudian malah menyuruh saya menghapus tulisan yg ada di kertas-kertas tadi. Dan saya takut jika tak melakukan perintahnya, maka saya pun taat. Namun sekarang saya rasa menyesal”. Imam ad-Dzahabi menuturkan secara umum gaya kepenulisan Imam Nawawi dalam kitab-kitab karangannya, “lebih sederhana daripada ucapannya sehari-hari”. Karena bahasanya yang mudah dan sederhana, maka tidak sedikit ulama yang hafal di luar kepala karya-karya beliau. Seperti Ibnu Malik an-Nahwi yang hafal al-Manhaj.

Riyadh as-Shalihin Min Kalami Sayyidil Mursalin.

Riyadhus-Shalihin memiliki arti taman orang-orang shalih. Kitab ini berisi kumpulan hadits-hadits nabi yang berkenaan dengan masalah hukum, nasihat, kabar gembira, dan penjelasan mengenai amal-amal sholeh dan apa yang akan kita dapatkan dengan melakukan itu. Kitab ini tersusun dari 21 bagian [kitab]: Muqoddimah, kitab al-Muqoddimah, kitab al-Adab, kitab al-Adab at-Tho'am, kitab Adab al-Libas, kitab Adab an-Naum wa al-Idhtija’[berbaring], kitab as-Salam, kitab ‘Iyadah al-Maridh, kitab Adab as-Safar, kitab al-Fadhoil, kitab al-I'tikaf, kitab al-Haaj, kitab al-Jihad, kitab al-Ilm, kitab hamdillah ta'ala wa syukrihi, kitab Shalaat ‘ala Rasulillah SAW, kitab al-Adzkar, kitab al-Da'wat, kitab al-Umur al-Munha ‘anha, kitab al-Mantsurat wa al-Milh, dan kitab al-Isthighfar. Dan tiap-tiap bagian/kitab memiliki bab-bab berdasarkan tema utama, misalnya shalat, zakat, jihad, doa, Qur'an, dan sebagainya. Walau sebagian ulama menemukan bahwa hadits-hadits dalam kitab ini tidak semuanya shahih, namun tidak bisa kita pungkiri, kitab ini merupakan kitab yang memuat banyak kebaikan. Seperti yang juga diungkapkan penulis dalam muqodddimahnya: “saya punya keinginan menghimpun sebuah ringkasan dari hadits-hadits shahih, mencakup segala apa yang bisa menjadi jalan pemiliknya menuju akhirat, memenuhi adab-adabnya yang bathin maupun yang dzhahir, merangkum kabar gembira dan ancaman, juga menjelaskan berbagai macam adab ahli suluk, seperti hadits-hadits zuhud, latihan-latihan jiwa, pembersihan akhlak, kesucian-kesucian hati dan obat-obatnya, pemeliharaan anggota badan dan menghilangkan penyimpangannya, dll. Setelah wafatnya Imam Nawawi dalam kurun waktu yang lumayan lama, belum ada satu pun ulama yang mensyarh kitab ini. Ulama yang tercatat pertama kali mensyarh kitab ini adalah Muhammad Ali bin Muhammad ‘Allan as-Syafi’i [w 1057H]. Beliau seorang ulama besar yang lahir di penghujung abad-10H. Kitab beliau yang ditulis sebagai syarh kitab Riyadhus-Shalihinnya Imam Nawawi adalah “Dalil al- Falihin li Thuruqi Riyadhi as-shalihin” kitab ini dicetak 4 jilid. Dalam muqoddimahnya beliau berujar: “aku hanya ingin sedikit memberikan komentar dengan cara ilmiah atas kitab Riyadhus-Shalihin..”. Sebagai penutup, mengutip harapan syekh Imam Nawawi di akhir muqoddimahnya, “Saya berharap jika kitab ini telah rampung bisa menuntun semua yang turut serta memperhatikannya menuju kebaikan juga sebagai perisai dari segala keburukan dan dosa-dosa yang membinasakan. Dan saya memohon kepada semua yang mengambil manfaat dari kitab ini, agar mendo’akan saya, orangtua saya, guru-guru saya dan orang-orang yang kami cintai serta seluruh kaum muslimin. Hanya kepada Allah saya bergantung dan hanya kepada-Nya saya berserah diri dan bersandar. Hasbunallah wani’mal wakil ,wala haula wal quwwata illa billahil azizizil hakim. Amiin.







Daftar Referensi:

- Abdul ghani ad-Daqr, al-Imam al-Nawawi; Syaikh al-Islam wa al-Muslimin, wa ‘Umdah al-Fuqaha wa al-Muhadditsin, Daar el-Qalam press, Damsyik, cet.5 1426/2005
- al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin, Daar as-Salam press, cet.5 1428/2007
- Ibnu ‘Allan As-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li thuruqi Riyadhi as-Shalihin, www. Al-meshkat.com
- http://www.islamiccoins.ancients.info
- http://www.coptichistory.org
- http://www .bahrainevents.com
- http://www.ummah.com


Shubhan Hafidz

Kritik Nalar Islam

. Tuesday, August 21, 2007
0 comments

Prolog
Konsep Nalar Islam
Mengandaikan adanya nalar abadi yang secara apriori betul-betul konkordan dengan ajaran-ajaran wahyu, pasti senantiasa ada, tidak saja pada pelbagai mainstrean pemikiran dalam Islam, tetapi juga dalam Yahudi dan Kristen. Pengandaian ini menggambarkan keimanan terhadap wahyu (atau informasi-informasi wahyu) akan menguatkan akal manusia, menunjuki dan memberinya jalan, di mana ketika akal hanya dibiarkan bergerak sendiri, maka ia akan tersesatKeimanan tentang adanya unsur ketuhanan pada akal yang mengandung pengakaran ontologis aktivitas-aktivitas nalar manusia, sebenarnya sudah menjadi gejala umum dan cukup populer dalam Islam melalui hadis Nabi yang muncul dari aliran pemikiran iluminasi:

“Sesungguhnya ketika menciptakan akal, Allah swt. berkata kepadanya: “Berdirihlah kamu!” Maka berdirilah ia. Kemudian Allah berkata lagi: “Duduklah!” Maka duduklah ia. Lalu Allah berkata lagi: “Menghadap ke depan!” Maka menghadaplah ia ke depan. Kemudian Allah berkata lagi: “Menghadap ke belakang!” Maka menghadaplah ia ke belakang. Setelah itu Dia berfirman: “Demi kehormatan-Ku, kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, kekuasan-Ku, ketinggian tempat-Ku, kebertahtaan-Ku di atas `Arsy, dan kemampuan-Ku menciptakan, Aku tidak pernah menciptakan suatu ciptaan yang lebih mulia bagiku darimu, tidak pula lebih baik bagiku darimu. Denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, denganmu Aku mengetahui, denganmu aku disembah, dengamu Aku memberi pahala, dan denganmu Aku memberi hukuman.”

Demikianlah kita lihat, betapa akal nampak transenden dan tunduk pada batas-batas firman normatif Tuhan berikut “paksaan-paksaan-Nya” secara bersamaan. Realitanya, sebagaimana pengamatan Lewis M. yang selanjutnya dipertegas oleh Mohammed Arkoun, bahwa setiap nama dalam al-Qur’an memberikan kepada sesuatu yang dinamai, hakikatnya yang abadi sesuai dengan ilmu Tuhan serta eksistensi obyektif-Nya dalam sistem ciptaan, dan hukum syari`at-Nya dalam eksistensi historis manusia. Demikianlah pemikiran Islam terbentuk dan berkembang berdasarkan prinsip keimanan yang terepresentasikan dengan akar ketuhanan bagi akal, keimanan yang terpersonifikasi dalam teks lingual yang terbatas, yaitu al-Qur’an. Lalu datanglah al-Syafi`i dan menempatkan Sunnah pada posisi sejajar dengan al-Qur’an. Dalam makna dan perspektif seperti ini, barangkali kita bisa berbicara tentang nalar Islam (al-`aql al-islâmî).

Banyak sudah karya diterbitkan untuk menggambarkan nalar Islam dari segi formalisme eksternal, banyak pula karya yang berbicara tentang produk serta perkembangannya, akan tetapi hingga sekarang belum ada analisa dekonstruktif atau kritik epistemologis terhadap dasar-dasar, mekanisme-mekanisme, tema-temanya dan apa yang tak terfikirkan (al-lâ mufakkar fîhi) yang lahir dari metode paradigmatiknya yang khusus dalam sistemisasi ranah yang terbuka bagi sesuatu yang terfikirkan (al-mufakkar fîhi). Aktivitas atau studi semacam ini sekarang sangat diperlukan karena dua sebab:

Pertama, yang sangat urgen dan mendesak, dari sisi perspektif umum sejarah pemikiran, yaitu menerapkan metodologi-metodologi dan problematika-problematika baru dalam studi Islam. Artinya menerapkan metodologi-metodologi serta wawasan-wawasan studi yang luas, seperti historis, antropologi dll. Lalu setelah itu berbicara mengenai faktor-faktor sosial yang mengontrol proses pembentukan nalar dan rekonstruksinya. Itu semua memerlukan studi terhadap kekurangan-kekurangan sejarah linear pemikiran yang abstrak.

Kedua, saat ini Islam politik “mengaku-ngaku” berpijak pada sistem nalar-nalar yang mengarah pada fungsi justifikatif formalistik nalar Islam klasik. Sehubungan dengan ini, kita perlu mempertanyakan legalitas keagamaan, historis dan filosofisnya. dalam menyelesaikan problem ini, paling tidak kita perlu melihat tiga hal berikut:

1 – Bagaimana posisi nalar Islam klasik dari sisi epistemologi?
2 – Adakah kontinuitas historis yang sebenarnya antara nalar Islam klasik dan kualitas nalar-nalar yang diakui dijadikan sandaran oleh wacana-wacana Islam kontemporer? Atau mungkin antara keduanya terdapat jurang pemisah (keterputusan) yang tak terlihat karena tertutupi oleh reduksi-reduksi kultural terhadap masa lalu?
3 – Bagaimana pandangan pemikiran Islam saat ini mengenai historitas nalar secara umum, dan historitas nalar Islam secara khusus?

Kita bisa menggabungkan pertanyaan-pertanyaan di atas dalam judul-judul berikut:
1- Nalar Islam klasik.
2- Macam-macam Islam (keragaman Islam), nalar ortodoksi dan pengalaman amaliyah.
3- Diskursus-diskursus Arab kontemporer dan nalar Islam.


Memahami Kritik Nalar Islam
Dalam memahami Kritik Nalar Islam (naqd al-`aql al-islâmî) secara epistemik kita perlu melihat dari dua sisi, dari sisi dekonstruktif yaitu melihatnya guna menganalisa komponen-komponen pemahamannya. Sedangkan sisi konstruktif yaitu melihatnya dengan maksud membatasi makna umumnya.

Sisi pertama: dekonstruksi komponen-komponen pemahaman
1- Kritik (al-naqd). Apa makna kritik? Apakah ia merupakan penjelasan mengenai kapasitas-kapasitas, sebagaimana dalam konsep Kant? Barangkali maksudnya adalah penjelasan mengenai batas-batas nalar Islam, berikut faktor-faktor gerakannya di luar batas-batas tersebut, atau mungkin pencarian faktor-faktor baru agar bisa lepas dari ikatan, sebagaimana dalam makna kata kerja (fi`l) “`aqala”. Artinya bahwa kritik (naqd) adalah re-kualifikasi atau re-deskripsi (‘i`âdah washf) komponen-komponen nalar Islam melalui aktivitas-aktivitas konstruktif dalam pelbagai aspek pengetahuan atau intelektualitas. Kalau kita membaca beberapa karya semisal proyek Naqd al-`Aql al-`Arabî-nya Aljabree, Naqd al-`Aql al-Islâmî-nya Mohammed Arkoun dll, kita akan melihat bahwa kritik mempunyai signifkasi analisis kritis historis terhadap sistem-sistem pengetahuan atau epistemologi dalam kebudayaan Islam.

2- Nalar (al-`aql). Apa makna nalar? Adakah ia merupakan potensi berfikir, kemampuan pada subyek yang tahu, salah satu potensi jiwa sebagaimana dikatakan para ulama salaf? Atau apakah “cahaya fitrah” dan “indera pasti” seperti pandangan kaum modernis —sejak Descartes dalam “Cogeto” atau “Aku Berfikir” menurut Kant?

Dalam proyek besarnya, Naqd al-`Aql al-`Arabî, Aljabree menegaskan bahwa nalar adalah produk budaya (muntaj tsaqâfî), sebagai kreasi orang-orang bijak, baik para ahli teologi, filsuf, ahli ushul dan ahli iluminisme, bahkan juga para ahli fikih, ahli gramatika bahasa Arab, ahli tafsir, ahli hadis dan kaum historian. Nalar juga merupakan potensi, namun bukan informasi awal terhadap produk pemikiran, akan tetapi ia adalah hasil dari proses berfikir itu sendiri.

Sementara Hassan Hanafi mempunyai pandangan lain, menurutnya, “pemikiran” atau “kebudayaan” lebih tepat digunakan daripada nalar (al-`aql). Karena nalar adalah alat dan metode, sedangkan pemikiran dan kebudayaan adalah produk dan karya. Produk itu mencakup; (1) ilmu-ilmu naqliyah `aqliyah —teologi (kalam), filsafat (hikmah), tasawuf dan ushul; (2) ilmu-lmu naqliyah murni —al-Qur’an, hadis, tafsir, sejarah Nabi (sirah), fikih; (3) ilmu-ilmu aqliyah murni —matematika, arsitek, astronomi, musik, kedokteran, kimia, geografi dll. Ini sesuai dengan klasifikasi para filsuf, misalkan seperti al-Kindy, al-Faraby dan Ibn Sina. Bahkan Aljabree sendiri masih mempertanyakan, nalar atau kebudayaan? Persoalannya banyak kata yang bisa dijadikan padanan; turâts (tradisi), al-mawrûts, al-fikir (pemikiran), al-tsaqâfah (kebudayaan) dan al-hadlârah (peradaban).

3- “Islam”, kata ini merupakan ranah di mana “nalar” berpijak, maksudnya adalah sekumpulan prinsip, dasar dan ketetapan yang menjadi sandaran nalar —lebih merupakan unsur-unsur penentu dan subtansi kritik. Namun ada pertanyaan, adakah nalar disifati dengan agama, atau ia hanya sekedar potensi rasional, kekuatan dalam jiwa, kemampuan untuk berfikir sebagai sebuah ekspresi diri melalui aktivitas sastra, kultural, ilmiyah dengan bahasa dan dalam konteks terbatas. “Islam” adalah sifat bagi produk budaya, bukan sifat bagi akal manusia. Sebenarnya pengkotak-kotakan nalar bermula dari Barat, yaitu pada abad kesembilan belas. Mereka berbicara tentang nalar Kristen, nalar Yahudi, nalar Islam dll. Mereka membeda-bedakan ini dengan tujuan membuat semacam tingkatan “teratas” dan “terendah”.

Dari hal-hal di atas dapat kita simpulkan poin-poin berikut:
Pertama, kritik merupakan pencarian terhadap sisi metodologis. Sedangkan nalar merupakan pencarian terhadap sisi mendasar, artinya pembentukan pengetahuan dengan sumber-sumber dan kaidah-kaidah.

Kedua, kritik merupakan pencarian terhadap metode; pertanyaannya, metode apakah itu? Jawabannya bahwa yang menentukan metode tersebut adalah dua hal, pertama adalah tema (kritik). Kedua adalah kerangka umum atau kerangka dasar (Islam).

Ketiga, “nalar” merupakan sisi yang dapat berubah (al-jânib al-mutaghayyir), sedangkan “Islam” merupakan sisi yang tetap (al-jânib al-tsâbit). Al-mutaghayyir tidak boleh memisahkan diri dari al-tsâbit, sebagaimana al-tsâbit tidak boleh kehilangan al-mutaghayyir. Al-tsâbit memberikan unsur sistem terhadap al-mutaghayyir guna menjaganya dari kekacauan, sedangkan al-mutaghayyir memberikan unsur elastisitas dan gerakan terhadap al-tsâbit guna menjauhkannya dari kemandegan dan kejumudan.

Keempat, “Islam” merupakan penentu bagi “kritik” dan “nalar”. Artinya bahwa kritik yang dimaksud tidak mengarah pada nalar yang tidak sesuai dengan Islam, inilah standar dasar dan tetap dalam menentukan dan memilih metode. Di samping itu bahwa nalar yang dimaksudkan dalam proses kritik merupakan nalar yang berhubungan dengan Islam sebagai dasar pijakan, jika tidak, berarti keluar dari konteks pembahasan.

Adapun dari sisi konstruktif, mungkin bisa dikatakan bahwa Kritik Nalar Islam ditentukan dalam dua sistem, sistem pemikiran subyektif dan sistem pemikiran obyektif.

Ditinjau dari sistem pemikiran subyektif, Kritik Nalar Islam mempunyai arti upaya menyelidiki modernitas dari dasar Islam. Dalam hal ini ada tiga unsur:

1- Mengalihkan perhatian dari tradisi lama ke arah tradisi kontemporer dengan maksud melepaskan diri dari cengkraman masa lalu, ini mencakup hubungan nalar dengan dirinya.

2- Mengupayakan kemampuan dalam mengimbangi tuntutan-tuntutan masa kini dengan maksud melepaskan diri dari problematika ketertutupan, ini mencakup hubungan nalar dengan zamannya.

3- Menyingkap makna progresivitas (al-taqaddum) sekaligus menegaskannya dengan tujuan melepaskan diri dari kejumudan, ini mencakup hubungan nalar dengan diri dan zamannya secara bersamaan.

Sedangakan dari sistem pemikiran obyektif, pemahaman Kritik Nalar Islam berarti upaya membatasi deskripsi nalar yang kontradiktif dengan stagnasi dan fanatisme. Stagnasi adalah keadaan internal sebagai warisan dari masa kemunduran dan keterbelakangan. Sama halnya dengan subordinasi dalam fanatisme, yaitu keadaan eksternal sebagai konsekuensi kekalahan karena hegemoni Barat.

Stagnasi dan fanatisme tidak akan berdampak pada terpeliharanya identitas dan tradisi, sebagaimana subordinasi tidak akan menciptakan modernitas serta kemajuan. Keduanya tidak akan menyediakan ruang gerak bagi kritik.

Jadi kritik nalar Islam merupakan kritik terhadap dua hal di atas, yaitu sebagai sebuah proses guna melahirkan “arus ketiga” yang selain mampu berinteraksi dengan tradisi tetapi tidak tertutup di dalamnya, juga mampu berinteraksi dengan masa kini tetapi tidak menjadi remuk karenanya.


Rodliansyah

Seputar Wajah Tafsir Al Qur'an

. Sunday, August 19, 2007
0 comments

Setiap tafsir tentunya adalah gerbang menuju pemahaman yang lebih layak.Tafsir yang diimin-imingi dengan baju humanis, liberalis atau gejala is lainya tak mungkin dituangkan begitu saja. Semua jenis macam penafsiran merupakan catatan seorang penafsir akan tradisi yang biasa disebut sebagai kecenderungan lantas kepentingan yang tertimbun diatas sisi fragmen metodologi. Pelbagai embel-embel tafsir yang digemuruhkan saat ini bukanlah sebuah diskontuinitas tahap perjalanan wacanaSemuanya mempunyai sepenggal historis yang bermula dari tradisi tafsir al Qur'an yang beranjak dari ke-kononan (riwayat/alma'tsur). Dan sulit rasanya jika segala jenis penafsiran terlalu mengandalkan metode kekononan. Ini dikarenakan Al Qur'an itu diam dan mati tapi corak penafsiran akan tumbuh secara bergerilya.

Berawal dari kenyataan diatas maka tafsir tidak melulu dinahkodai atau dibebankan kepada mereka yang sudah dinobatkan sebagai pemangku keagamaan tertinggi. Hendaknya terali yang membelit dalam tubuh tafsir segera ditanggalkan agar masing-masing dari kita bisa memahami dengan jelas kandungan al qur'an sesuai daya kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi usaha ini bukan dimaksudkan untuk menelantarkan proyek penafsiran yang sudah lama berjelaga. Betapapun juga proyek ini mesti terus digalakkan oleh sebagain pihak yang benar-benar berkesanggupan.

Jadi, saya menginginkan supaya tafsir bisa dikategorikan kedalam dua ruang yang berbeda. Ini dilakukan karena selama ini kitab al-Qur'an telah diabaikan sedemikian jauh oleh penganutnya.

Pertama adalah tafsir yang bertaraf sederhana. Tafsir ini merupakan panggilan dari seruan al-Qur'an yang acapkali melazimkan tiap pembacanya agar memahami makna dibalik gugusan kata yang bersemayam dalam firman Ilahi. Sederhananya penafsiran ini bukan sinonim dari apa yang tertera dalam kitab-kitab tafsir.

Tafsir ini tak lebih dari upaya perseorangan serta tidak memerlukan pelbagai instrumen yang ruwet dan jlimet. Asalkan ada denyut pemahaman berarti masing-masing perseorangan telah menunaikan kewajibannya. Dengan demikian maka tradisi penafsiran yang dulu pernah mekar dikalangan para sahabat akan senantiasa hidup dan bergerak bebas.

Kesalahan yang kerapkali dibuat oleh tafsir model ini adalah mengenai bentuk kesalah pahaman. Hal ini patut diulas disini lantaran sangat berhubungan erat dengan citra tradisi penafsiran. Belum lagi kesalahan semacam ini nantinya akan menjadi boomerang bagi eksistensi al-Qur'an sendiri. Dan sejatinya segala jenis kesalah pemahaman cenderung bermuara pada titik kelemahan dalam berinteraksi dengan bahasa al-Qur'an secara dialektis.

Untuk bersentuhan degan bahasa al-Qur'an secara sempurna saya kira merupakan permasalahan atau bisa dikatakan sebagai wujud dilema yang berabad-abad membatu. Kesulitan ini bukan hanya dirasakan oleh mereka yang tak mengenal karekteristik bahasa al-Qur'an saja melainkan bagi mereka yang benar-benar unggul dalam belantara sastra bahasa Arab. Juga beberapa sahabat Rasul seperti Umar dan Ibn Abbas yang didaulat sebagai turjuman al Qur'an (juru bicara al Qur'an) sempat mengeluh atas sebagain ayat al-Qur'an yang dirasa sangat pelik.

Kalau menurut penilaian saya permasalahan bahasa bukanlah suatu dilema (Baca; hambatan) melainkan segurat ketidak berdayaan yang terlalu dihiperbolakan. Sungguhpun al-Qur'an menggunakan bahasa Arab yang jelas (bilisan Arabiyin mubin) namun makna-makna yang dilirisnya semata milik Allah. Ini dikarenakan al Qur'an mencakup sekaligus berjejal dengan ayat-ayat mutasyabihat, muhkamat, mufassar, dzahir, nash, nasikh mansukh dan seperangkat kata-kata umum (amm), khusus (khass), hakekat dan majaz. Apalagi jika kita meyakini keberadaan makna lahir dan batin yang biasa digemakan oleh kalangan Sufi maupun Batiniah (Syiah Ismaiiliyyah).

Maka dari itu pemahaman yang kita amini saat ini ialah salah satu dari dari serentetan kemungkinan yang ditimbulkan oleh al-Qur'an. Al-Qur'an layak ditahbiskan sebagai pedoman hidup lantaran kemampuannya berdialektika dengan dunia manusia yang menyimpan nilai-nilai profan serta rentan dengan perubahan.

Sedang mengenai kasus lainnya kita mungkin memerlukan lebih banyak lagi al-Qur'an terjemahan. Dengan adanya terjemahan al-Qur'an ini mudah-mudahan sanggup menjembatani kesenjangan antara sipembaca dengan al-Qur'an. Kalau demikian,lantas bagaimana dengan istilah-istilah atau sebagian ayat yang sulit untuk difahami?.

Pertanyaan ini seyogyanya direkomendasikan lebih lanjut kepada masing-masing individu.Karena sejatinya pertanyaan semacam ini tidak perlu jawaban berbelat-belit. Cukup dikembalikan kepada diri kita sendiri. Jika kita termasuk golongan yang memiliki letupan ghirah/semangat menggebu-gebu maka secara otomatis kita akan mencari atau bertanya lewat pemuka agama yang dianggap memiliki kecakapan nan sesuai.jika tidak, berarti selamanya kita akan senantiasa bergelayut diatas ranting kebodohan,dan pada giliranya menyeret kita kearah keraguan.

Disini keaktifan sang dai'dan beberapa sarjana Islam sangat diharapkan sekali. Malah keaktifan ini mesti didukung oleh pihak pemerintahan dan kalangan umat Islam.kalau segalanya bisa berjalan dengan baik niscaya hambatan apapun tak lagi berkoar. Tak ada lagi kemalasan apalagi sikap acuh tak acuh akan firman Ilahi.

Kedua adalah model tafsir serius. Kajian seputar corak tafsir ini sudah lama digagas dan didiagnosakan dalam pelbagai literatur ushul at-tafsir. Untuk mencapai tujuan ini kita sangat memerlukan generasi-generasi unggulan. Pasalnya tidak semua dari kita sanggup mendeteksi maksud dari titah Tuhan yang begitu kompleks. Dengan adanya bibit unggulan itu diharap bisa menyambung mata rantai yang sudah lama putus seraya membangkitkan kembali spirit tafsir al-Qur'an yang pernah dibangun oleh generasi para sahabat.

Dalam magnum opusnya "al Itqan fi Ulum al Qur'an" as Suyuthi membeberkan lima belas syarat yang harus dimiliki bagi seorang mufassir sejati. Diantara lima belas syarat itu terdapat beberapa disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan unsur kebahasaan seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, maani dan bayan. Hemat saya unsur-unsur kebahasaan ini merupakan babak pertama yang sudah selayaknya dikuasai oleh kita sebelum dilantik sebagai penafsir ulung. Kemudian syarat-syarat tadi dilanjutkan dengan disiplin ilmu seperti sejarah, nasikh mansukh, kalam, asbab nuzul dan diakhiri dengan ilmu mauhibah (laduni); yaitu sejenis pengetahuan yang didapat lewat jalan ketakwaan.Mengenai ilmu jenis ini rasulullah pernah bersabda " Barang siapa mengamalkan apa yang telah ia pelajari niscaya Allah akan mewarisi ilmu yang belum pernah ia peroleh ".

Sedang al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh melengkapkan syarat-syarat diatas dengan beberapa cabang pengetahuan kontemporer. Diantara cabang ilmu tersebut adalah biologi, sosiologi, fisika, kedokteran dll. Penambahan ini saya kira hanya sebatas anjuran dan bukan merupakan kewajiban.

Andaikata syarat-syarat diatas telah terpenuhi maka model tafsir kedua ini sudah selayaknya digalakkan. Pun sekali lagi tidak semua orang berhak menafsirkan kehendak Tuhan melalui model tafsir serius ini. Udzur ini bukan kehendak untuk memboikot atau menganak emaskan sebagian pihak akan tetapi sebuah usaha pengharmonisan antara kemampuan dengan kenyataan yang beredar.

Sayangnya model tafsir seperti ini rawan dijadikan ladang empuk bagi kesuburan sekte-sekte. Terlebih jika ideologi yang dijajakan itu tak lagi mengalirkan arus kebajikan atau malah melampaui batasan makna-makna yang dikandung al- Qur'an.Sehingga al-Qur'an bukan lagi diposisikan sebagai pencetus ide-ide melainkan dibelokkan kesana-kemari demi kepentingan yang mereka usung.

Sekarang semuanya ada dipundak kita. Jika bukan kita lantas siapa lagi yang akan memahami dan mengamalkan titah Tuhan? Selebihnya terserah anda.

Ibnu Katsir Rujukan Para Mufassir

. Friday, August 17, 2007
0 comments

A. Mengenal Ibnu Katsir
Ibnu Katsir adalah sosok ulama besar. Dengan karya-karyanya yang brilian menjadikan beliau rujukan para ulama hingga sekarang. Nama lengkap beliau adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H/1301 di sebuah desa bagian kota Bashra di negeri Syam.1 Pada usia 4 tahun, ayahnya meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya Abd Wahab. Pada tahun 706 H, diusia 5 tahun beliau pindah dan menetap di kota Damaskus. Disini beliau memperdalam kitab fiqh dan hadits dengan berguru kepada Ibn Taimiyyah2. Dengan kecintaan terhadapilmu agama serta berkembang pesat ilmunya menjadikan Ibn Katsir memiliki derajat tinggi diantara lainnya dan oleh Imam Dahbi menggolongkannya sebagai kelompok pengkonsep para huffadz.3

Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H/1372 M di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski kini beliau telah lama tiada, tapi peninggalannya akan tetap berada di tengah umat, menjadi rujukan terpercaya dalam memahami Al Qur’an serta Islam secara umum. Umat masih akan terus mengambil manfaat dari karya-karyanya yang sangat berharga.4

B. Idiologi Ibn Katsir dan Masa Sekarang

Sebagai seorang yang tersohor pada abad 8. Ibn Katsir layak disejajarkan dengan ulama-ulama terkemuka seperti Imam Thobari, Qurtubi dll. Beliau bukan saja ahli dalam satu pengkajian, namun memiliki berbagai macam dimensi ilmu baik dalam bidang sejarah, tafsir maupun hadits. Bahkan Ibn Majah menyatakan beliau selalu tidak terlepas dari dunia keilmuan, ingatannya sangat kuat dan kehidupannya selalu dipenuhi dengan menulis kitab.5 Didekasi yang tulus serta berkelanjutan mengantarakan Ibn Katsir menduduki kasta tinggi dalam dunia keilmuan. dalam sejarahnya beliau melakukan ritual berguru dari satu tempat ke tempat lain.6 Hasilnya beliau menelorkan berbagai macam ragam karya yang berkualitas. Dari hasil karya yang tersohor adalah dalam bidang tafsir yang dikenal dengan nama tafsir Ibn Katsir.7 Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting yakni -tafsir yang paling benar- adalah ; tafsir Alquran dengan Alquran sendiri; bila penafsiran Alquran dengan Alquran tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad SAW–menurut Alquran sendiri, Nabi memang diperintahkan untuk menerangkan isi Alquran; jika yang kedua tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya Alquran; jika yang ketiga juga tidak ditemukan, maka pendapat dari para tabiin dapat diambil.8

Seorang ulama kontemporer Muhammad Rasyid Ridho memaparkan bahwa tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi perbahasan i'rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Qur'an secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.9

Dengan metode bilma’tsur, tafsir ini memberikan keunikan dan bobot tersendiri. Selain berhati-hati dan teliti dalam menafsirkan al-qur’an, juga memberikan kemudahan dalam memahami isi kandungan al-qur’an. Selain juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabiin Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif (lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini. Dengan keunikan itulah tafsir Ibn Kasir dijadikan rukukan oleh para ulama dan mufassir hingga sekarang.

Meski tercatat sebagai buku turast, tetapi tidak akan usang jika disandingkan dengan masa kekinian. Karya-karya yang mustahil dijumpai para era sekarang ini masih dibutuhkan umat sebagai rujukan dalil dan penafsiran. Dengan metode kuat dan akurat yaitu bilma’tsur keilmiahan serta kebenarannya tidak akan diragukan lagi. Beda dengan karya-karya ulama lain yang sebagian mengetengahkan penafsiran dengan metode arro’yu (penafsiran dengan akal)10 kadang kala memberikan pemikiran kontras dengan orang lain. kendati tidak semua penafsiran semacam ini berlabelkan makruh, akan tetapi bagi sebagian ulama ekstrim yang telah mengecap no atas pencampuran metode akal tentu dianggap sebagai penafsiran membahayakan. Dengan demkian sudah jelas bahwa penafsiran dengan metode seperti ini tidak akan mewakili seluruh komunitas ulama baik dulu maupun sekarang. Itulah sebabnya sebagian besar karya-karyanya tenggelam oleh metode yang diusung oleh Ibnu Katsir, Imam Thobari dkk

Oleh sebabnya alqur’an sebagai wahyu Tuhan tidak serta merta ditafsirkan dengan metodologi membabibuta. Penulis sendiri jera dengan artikel berjudul “Kecenderungan Berideologi dalam Tafsir Al-Qur’an”11 yang ditulis intelektual muda kairo Dede Sulaiman, saya menganggap beliau sangat alergi dengan karya-karya yang yang didentumkan oleh kaum salaf. Dalam tulisannya beliau mengkritik bahwa hanya kaum salaf saja yang berhak menafsirkan al-qur’an dimana dapat menimbulkan efek samping terhadap pembatasan otoritas penafsiran oleh sebagian kelompok umat Islam. Bagi saya ungkapan baliau sedikit provokatif terkait dengan kaum salaf. Dan sejujurnya bahwa kaum penulis sekarang tidak bisa menciptakan karya yang sepadan dengan ulama zaman dahulu . Saat ini seorang penulis lebih banyak menghasilkan karya yang tidak utuh, belum lagi kecondongan akan material akhirnya karyapun tidak berkualitas.

Parodi ini masih belum berhenti, hasil karya penafsiran zaman sekarang lebih cenderung mencari titik lemah. Dalam kontek ini penafsiran yang masih ada ikhtilafnya diperparah dan dibesar-besarkan dengan metode dibuat-buat. Itulah mengapa karya atau penafsirkan antara ulama salaf dengan zaman sekarang jauh berbeda. Hanya satu yang bisa kita lakukan adalah merujuk pada ulama salaf. Wallahua’lam bissoab

____________________________________

1. Tafsir Ibn Katsir

2. Muqoddimah dalam buku shofwatul as-siroh an-nabawiyah

3. Lihat bagian akhir dari “adzkirotul alhuffadz lil husaini”

4. Majallatu al attasfia edisi 03/2006, hal.63-64)

5. ibid, hal 5. diantara kitab-kitab beliau dalam bidang tafsir adalah; Tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid, Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran). Dalam bidang Sejarah karya beliua adalah; Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan adn Akhir), Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), Tabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii) dalam bidang hadits karya antara lain; Jami al-Masanid wa as-Sunan (Kitab Penghimpun Musnad dan Sunan), Al-Kutub as-Sittah (Kitab-kitab Hadis yang Enam), Al-Mukhtasar (Ringkasan), Adillah at-Tanbih li Ulum al-Hadits (Buku tentang ilmu hadis), At-Takmilah fi Mar'ifat as-Sigat wa ad-Dhua'fa wa al-Mujahal

6. diantara guru-guru beliau sebagaimana disebutkan dalam pengantar kitab tafsir adalah; Syekh Abu Abbas ahmad bin Taymiyyah, Alhafidz Abu Alhaj Yusuf Almazi, Alhafidz Abu Abdullah Bin Ahmad Ahdabi, syekh Abu Abbas Ahmad Hajar Alsyahri, Syekh Abu Ishaq Ibrahim Alfazari, Alhafidz Kamal Addin Abd Wahab Asyahri, Kamaluddin Abu Al'ali Moh. bin Azzamlaki, imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya, Imam Ulumuddin Moh. Qosim Albarzali, Syekh Syamsuddin Abu Nasr Moh Syairozi, Syekh Syamsuddin Mahmud AlAshbahani, Afifuddin Ishak Bin Yahya Alamdi Alashbahani

7. Tafsir alqur’an kariem 10 jilid. Kitab ini masih menjadi bahan rujukan sampai sekarang karena pengaruhnya yang besar dalam bidang keaagamaan

8. Yang dikelan dengan metode penafsiran Bilma’tsur (riwayah). Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah; tafsir At-Tobary(جامع البيان في تأويل أى القران), Tafsir Ibn Katsir (تفسير القران العظيم), Tafsir Al-Baghowy (معالم التنزيل), Tafsir Imam As-Suyuty (الدر المنثور في التفسير)

9. dalam buku pengantantar ulumul alqur’an

10. Metode ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama; Ar-ro’yu Al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan). Dengan beberapa syarat diantaranya; jtihad yang dilakukannya tidak keluar dari qur’an dan hadits, tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran Bil ma’tsur. Beberapa contoh tafsir yang menggunakan metodologi ini adalah; Tafsir Al-Qurthuby (الجامع لأحكام القران), Tafsir Jalalain (تفسير الجلالين), Tafsir Al-Baidhowy (أنوارالتنزيل و أسرار التأويل). Metode kedua adalah Ar-ro’yu Al-madzmumah (penafsiran dengan akal yang dicela) karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pengambilan hukum) hanya menggunakan akal/ logika yang semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilsai syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh ahli bid’ah yang yang sengaja menafsirkan ayat alqur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak yang dilakukan oleh ahli tafsir periode sekarang ini. Contoh tafsir yang menggunakan metode ini adalah; Tafsir Zamakhsyary (عيون الأقاويل في وجوه التأويل الكشاف عن حقائق التنزيل و) dll

11. Diskusi I‎ AVERROES COMMUNITY ‎03 AGUSTUS 2007‎ VOLUME 1, NUMBER ‎1



Memotret Aliran-Aliran Pemikiran

. Wednesday, August 15, 2007
0 comments

Dalam dunia filsafat sebagian tokoh mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, sebagian lagi ada yang berpendapat pengetahuan diperoleh melalui penginderaan, sebagian lagi bilang bahwa pengetahuan didapat melalui olah akal, dan seterusnya. Dalam bermazhab kita kenal beberapa aliran mazhab berikut ciri-ciri istimbath hukumnya. Pun dalam ber-Islam sendiri kita tahu banyak aliran didalamnya. Belum lagi bagaimana cara-cara peminat agama ini dalam mendekati tuhan guna menyingkap tabir hukum-hukum tuhan dengan berbagai macam varian olah yang mereka lakukan. Belum lagi pecahan dari setiap genre.Misalnya, genre aliran sosialis yang dipelopori August Comtee kini sudah beranak pinak, ada sosialis-materialis, sosialis-kapitalis, dan lain-lain

Daya cipta, rasa, dan karsa merupakan karunia tuhan bagi manusia. Dalam episode perjalanan hidup, manusia tidak pernah lepas dari pergumulan interaksi kebersamaan dalam berdialektika, baik antar sesama manusia atau alam sekitar. Dan, dengan daya yang dimilikinya kemudian manusia mampu memproduksi pengetahuan. Seharusnya, ketika ada satu fenomena pengetahuan juga ada satu kesatuan pengetahuan antara yang satu dengan yang lainya, tapi kenyataanya tidak demikian, bahkan berbalik, apa yang selazimnya satu menjadi berwarna-wani.

Keberagamaan yang terjadi tidak pernah lepas dari faktor keterpengaruhan. Manusia sebagai pencipta pengetahuan dengan dayanya adalah pihak terpengaruh. Sudah barang tentu kalau bahan-bahan dalam memperoleh pengetahuan ialah bahan terpengaruh. Maka, pengetahuan yang dihasilkan adalah produk terpengaruh karena komponennya berasal dari keterpengaruhan. Nah, dari pengetahun yang dihasilkan manusia inilah kemudian menimbulkan anggapan dan dari anggapan muncullah perilaku manusia sebagai ekses dari anggapan tersebut, pendek kata perilaku manusia adalah fotokopi dari anggapan yang diyakininya.

Contoh konkret dari uraian tersebut adalah kalangan tekstualis dan kontektualis nash. Orang-orang tektualis menganggap bahwa zakat tidak boleh diganti dengan nilai lain meski dengan ukuran yang sama dengan takaran. Sementara, orang-orang kontektualis melegalkan bilamana biji-bijian diganti dengan nilai lain yang sepadan dengannya. Ini terjadi karena kalangan kontektualis lebih menekankan terhadap aspek maksud teks, bukan teksnya, sementara kalangan tekstualis lebih pada teksnya saja tanpa memahami maksud didalamnya. Dari kedua aliran ini munculah aliran netralis teks yang memaklumi dan mengakomodasi kedua hukum. Penggunaan kedua hukum disesuaikan dengan kondisi. Ini hanya satu masalah, lalu masih bejibun masalah berikut aliran-aliran dalam masalah-masalah tadi.

Percaya apa tidak, memang ada kebenaran lain selain kebenaran menurut tuhan, yakni kebenaran menurut manusia. Namun sayangnya kebenaran-kebenaran yang nampak dari olah daya manusia tidak dijadikan landasan dasar atau semacam wahana untuk bersikap toleran terhadap kebenaran dan perilaku kebenaran yang berada diluarnya. Ketika para pelaku kebenaran meyakini bahwa kebenaran yang ada pada dirinya atau kelompoknya merupakan kebenaran tuhan, maka disinilah pangkal permasalahan. Dengan demikian, mereka menganggap apa yang menurut mereka benar harus dijadikan absolute of frame reference, saling membenarkan kebenaranya masing-masing, sekaligus meyakini kebenaran mereka adalah perwakilan kebenaran tuhan. Padahal kebenaran tuhan bukan kebenaran manusia, dan sebaliknya. Kebenaran manusia hanya berupaya mendekati kebenaran tuhan.

Sebenaranya bukanlah sebuah masalah yang harus dibesar-besarkan jika kebenaran yang mereka amini hanya ada dalam otak dan pemahaman, tidak terwujud dalam bentuk tindakan, namun karena mereka mewujudkannya dalam bentuk tindakan dan tidak hanya menyinggung, melainkan melukai dan menodai hakekat bersama dalam kebenaran, tak berlebihan bila kemudian muncul gesekan pemahaman, bahkan fisik. Lucu, bagaimana mungkin tindakan salah berlandaskan kebenaran? Seharusnya jika landasannya benar maka tindakannyapun juga benar. Tapi inilah realita.

Manusia saling mempertentangkan kebenaran. Dunia sosial masyarakat memang bukan dunia eksak, satu tambah satu hasilnya dua. Sebuah kesadaran yang patut dipatri dalam hati, satu kebenaran tambah satu kebenaran bukan dua kebenaran yang menyatu, tapi nol kebenaran.

Dus, bagaimana jika pertentangan sudah sedemikian menggejala dan korban akibat kebenaran sudah banyak, tidak hanya pada aspek sosial, pun juga ekonomi. Akankah kita mau ikut-ikutan meramaikan pertentangan kebenaran dengan membuat kebenaran baru juga? Selaras dengan apa yang terjadi, tidak sepatutnya terus-menerus mempertentangkan dan mempertanyakan kebenaran-kebenaran lain serta mengedepankan kebenaran kita sendiri. Sebab ada yang lebih baik dari itu semua, yakni memperebutkan kesalahan dan mempermasalahkan kesalahan.

Sebuah keniscyaan bila semua aliran mau bersama mempermasalahkan kesalahan dan kelemahan masing-masing maka tidak akan ada pertentangan kebenaran yang berakibat pada kesalahan, pun juga tidak akan ada keramaian kebenaran-kebenaran menyeruak diantara bilik-bilik ruang masyarakat. Semua sibuk mengurusi kesalahan masing-masing, menghargai kebenaran lain, serta tidak mengklaim ketidakbenaran kelompok lain.Tapi, ulasan diatas juga hanya sebuah upaya menemukan kebenaran terhadap apa yang terjadi dengan dunia sekeliling kita, bukan kebenaran mutlak. Wallahua’lamu bil showab.

Irsyad Manji; Kritisisme Dalam Beragama

. Thursday, July 5, 2007
1 comments

Buku The Troble With Islam Today, karangan Irsyad Manji yang dalam edisi arabnya diberi judul Muslimun Wa Ahraar mengajarkan kritis terhadap segala sesuatu bahkan hal-hal yang kadang menurut kita adalah tabu, seperti agama misalnya. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari buku ini, hanya buku catatan harian seperti kebanyakan buku catatan harian yang kita miliki. Namun dari catatan inilah kita bisa menemukan kritisisme seorang muslim terhadap agamanya sendiri. Pada fihris pertama kita bisa melihat pemberontakan dia terhadap al-qura’anDia mempertanyakan universalitas al-qur’an sebagai the first epistimologic setelah hadits. Kemudian dia juga menyinggung isu gender

Adapun sebab timbulnya pertanyaan pemberontakan tentang al-qura’an darinya adalah lebih dikarenakan posisinya yang tidak paham bahasa arab yang menyebabkan dia tidak bisa memahami al-qur’an baik tersirat maupun tersurat, dari sinilah dia mengungkapkan, kenapa al-qur’an tidak disalin saja kedalam bahasa dimana orang muslim tinggal seperti halnya dia yang mengalami kesulitan dalam memahami al-qu’an. Adapun masalah isu gender, karena_maaf harus menggunakan kata-kata ini_dia mengalami kelainan sex, irsyad adalah lesbian. Tidak mengherankan bila dia mempertanyakan kenapa perempuan tidak bisa jadi imam sholat. Dan masih banyak lagi pertanyaan pemberontakan lainya dalam buku tersbut. Lebih lengnkapnya baca sendiri.

Islam sebagai din dan islam sebagai pemahaman memang menyisakan masalah tersendiri pada pemeluknya. Bila menganggap islam sebagai din maka kita harus tunduk dan patuh terhadap teks termaktub, tidak boleh mbalelo apalagi neko-neko. Tapi yang pasti hidup ini terus berjalan searah dengan berjalanya waktu, dimana dalam perjalananya pasti ada saja hal-hal yang datang diluar dugaan dengan segala varianya dan membutuhkan right of problem solving. Pada tataran inilah kita sering dibenturkan pada realitas teks dan konteks. Ketika teks dan kontek seirama tidak akan pernah jadi masalah, yan jadi masalah adalah saat keduanya saling membelakangi, disinilah diperlukannya islam sebagai pemahaman agar masalah kemanusiaan tetap terakomodir.

Sikap seperti Irsyad Manji perlu dikembangkan_asalkan kritisisme itu konstruktif_karena pada hakekatnya tidak ada yang tidak bisa dipertanyakan. Tetapi kita juga tidak bisa sepenuhnya menjadi seorang irsyad, sebab kita juga harus tahu diri, siapa kita dan siapa Dia, kita juga harus sadar ada hal yang tidak patut untuk terus dan selalu dipertanyakan, apalagi bila kritisisme itu hanya mengedepankan ego dan kepentingan pribadi yang ujung-ujungnya hanya berakhir pada individual satisfy and independency.

Abd Hamid

Happy Is Pretty ?

. Friday, June 22, 2007
0 comments

Dengan makin minimnya orang awam baik di daerah terpencil atau di perkotaan, menimbulkan revolusi teknologi yang memfasilitasi kebutuhan serta kapasitas manusia di era moderen. Itu merupakan simbol dan status, layaknya mainan yang tak terpahami pada permainan itu sendiri. Hingga kecepatan waktu tak terhenti. Aruspun tak terhalangi oleh hati, jiwa, dan akal suci.Seolah-olah zaman ini hidup secara ceria dan cemerlang. Akan tetapi, faktanya kembali ke masa Nabi Adam as atas teragedi Qabil dan Habil yang gelap akan pengetahuan dan tipisnya kepercayaanBermula dari segelintir orang barat (non-muslim)-orang timur (islam)termasuk Indonesia.yang mencari kepuasan birahi hati untuk kebahagiaan abadi,tanpa menyentuh pikiran hanya mengedepankan EQ(emotional question)negative dan IQ(Intelektual Question) sebagai media atau alat kinerja tersebut.

Lantas! Gimanakah muka bumi ini ? yang amat besar bebannya untuk melimpahkan kenikmatan pada penghuni di dalamnya. Karena bumi merupakan suatu hasil dari penciptaan yang begitu agung dari Sang Khalik. Ia akan tunduk selama tak ada teguran dari Sang Pencipta, walaupun para penghuninya melakukan tindakan yang dapat merusak bumi itu sendiri serta menimbulkan bencana-bencana yang lain.

Itu merupakan inspirasi dan imajinasi yang negative dengan memanage tanpa berpola struktural. Sebab manusia sangat minim untuk mengetahui maksud happy is beauty hanya sebatas makna yaitu,” kebahagiaan itu indah”. Sehingga muncullah ungkapan kebahagiaan tak akan lepas dari kakayaan yang meliputi harta yang bersifat duniawi. Segala cara ia halalkan. Dan ia pun tak mensukuri apa-apa yang diidamkan, seperti mobil yang mewah, emas, rumah atau bangunan bertingkat serta jabatan yang tinggi. Dengan tanpa ada komperatif , full time work di jalankan dengan mempertaruhkan nyawanya, hanya sekedar berlomb-lomba mencari kekayaan atau kekuasaan di mata orang lain.

M. Fadhil

Tidur Dan Shalat Subuh, Lebih Nikmat Mana?

. Thursday, June 21, 2007
0 comments

Jika kita melihat realita yang ada, banyak dari umat muslim zaman sekarang yang menganggap remeh terhadap pelaksanaan shalat subuh berjama’ah. Hal semacam ini dapat kita buktikan ketika adzan subuh telah dikumandangkan, mayoritas dari meraka lebih memilih untuk meneruskan aktivitas mereka di alam mimpi. Bagi mereka tergolek di atas kasur yang empuk jauh lebih nikmat dibandingkan sujud di atas sajadah dalam shalat jama’ah. Di atas sebuah kasur empuk. Mereka sering kali bedalih “entar aja , siang-siangan juga bisa”Tentu saja hal tersebut sangat kontras sekali, jika kita bandingkan dengan keadaan umat Islam ketika zaman Nabi Muhammad SAW. Satu contoh kecil saja, ketika terjadi peperangan untuk menaklukkan benteng Tartar. Ketika itu terjadi suatu peristiwa yang lumrah dalam pandangan orang kebanyakan, yaitu terlambat melaksanakan shalat subuh. “tragedi” ini membuat salah satu sahabat yang bernama Anas bin Malik selalu menangis bila mengenangnya. Ingat sobat! Terlambat di sebabkan jihad…

Perbedaan di atas sudah sangat jelas. Betapa banyak dari umat muslim yang tidak faham atau sengaja dilupakan, betapa urgennya pelaksanaan shalat subuh di awal waktu. Hingga para sahabat selalu menyesalinya, padahal hanya sebatas terlambat. Apakah kebanyakan dari kita lebih mementingakan kehidupan duniawi yang sifatnya hanya sementara. Jika kita mau bersikap agak kritis, kenapa bisa Allah SWT menetapkan pelaksanaan shalat pada waktu yang begitu sulit, dimana ketika itu manusia sedang asyik dengan mimpi masing-masing di atas kasur yang empuk. ternyata di balik pelaksanaannya diwaktu yang sangat sulit tersimpan anugrah yang melimpah dari Allah.
Pernah suatu ketika, salah seorang penguasa Yahudi melontarkan sebuah pernyataan “kaum yahudi tidak takut terhadap umat Islam, kecuali terhadap satu hal. Apakah hal tersebut? Apabila jumlah jama’ah shalat subuh menyamai jumlah jama’ah shalat jum’at”.
Apa yang bisa kita petik dari pernyataan di atas. Ternyata umat Yahudi lebih jeli terhadap realita yang terjadi pada umat Islam. Ini terbukti dengan adanya pernyataan tersebut. Apakah terdapat dalam perkataaan tesebutlah terdapat kunci kesuksesan orang- orang barat di zaman modern ini. Sepanjang pendengaran penulis selama ini, memang mayoritas dari orang-orang barat selalu berangkat ke tempat mereka bekerja ketika pagi- pagi buta.

Dan fakta juga mengatakan seperti itu halnya. Dr. Raghib As-Sirjani salah seorang dosen di fakultas kedoteran Universitas Kairo, ketika berkunjung ke AS. Ia terkejut sekali dengan penduduk Negara tersebut. Pasalnya ketika ia pulang dari salah satu masjid di Negara tersebut, setelah melaksanakan shalat subuh ia menjumpai di jalan-jalan utama sangat ramai dengan mobil. Dan apa yang mereka lakukan saat itu? Mereka berusaha sekuat tenaga bangun pagi untuk masalah pekerjaan kantor mereka. Mereka itu orang Yahudi, pekerjaan mereka notabene hanya untuk kepentingan dunia saja, hati mereka tergugah untuk bangun pagi. Bahkan ada suatu hal yang lebih fantastik dari realita ini. Ketika Dr Raghib melangkahkan kakinya ke masjid guna menunaikan shalat subuh. Di jalan beliau bertemu dengan banyak orang yang sedang berjalan dengan anjing-anjing mereka. Tentunya hal ini membuat beliau linglung. Kok bisa di waktu pagi-pagi sekali mereka berjalan dengan anjing-anjing mereka. Maka beliaupun berinisiatif untuk bertanya kepada penduduk tersebut. Dan jawaban yang beliau dapatkan dari meraka “ kami berjalan hanya sekedar untuk mengajak anjing-anjing kami menghirup udara segar”. Orang-orang yahudi bisa bangun setengah lima pagi karena hati mereka terpaut dengan anjing mereka. Sedangkan kita seorang mu’min hanya segelintir orang saja yang hatinya tergugah untuk membuktikan rasa cintanya kepada sang Khaliq.

Kejadian tersebut, tentunya menjadi sebuah kaca perbandingan yang harus kita perhatikan benar-benar. Dan sudah sangat jelas bahwasanya di balik pelaksanaan shalat subuh di awal waktu terdapat suatu hal yang urgen bagi tatanan kehidupan kita. Apakah suatu hal yang wajar? jika orang- orang Yahudi telah siap dengan pakaian kerja mereka, sedangakan kita masih terlelap di atas kasur. Bukankah “tidur subuh menyebabakan kefakiran”.

M. Iqbal

Spiritual (kebahagiaan)

. Tuesday, June 19, 2007
0 comments

Setiap orang bisa bahagia meskipun banyak sekali definisi kebahagiaan itu. Perlu diketahui bahwasanya kebahagiaan yang paling besar adalah bersumber dari diri kita sendiri akan tetapi banyak diantara kita sering kali menganggap bahkan sering memerlukan kebahagiaan dari luar diri kita. Seperti halnya kita dengan serta merta menyamakan kebahagiaan dengan manusia dengan harta benda. Jikalau ada orang yang baik dan ramah serta memberikan harta dan barang yang banyak, bagus, serta berharga sekali bagi diri kita, barulah dapat dirasakan kebahagiaan. memang kita akui daya pikat hal-hal tersebut sangatlah luar biasaBahkan kalau kita sudah terpikat pada hal tersebut kita akan sulit lepas dari itu semua dan itu akan membuat kita tercandu, sehingga banyak sekali diantara kita lupa bahkan tidak tahu-menahu bahwasanya kemasyhuran, kekayaan, dan kesuksesan itu tidak dengan sendirinya bisa membahagiakan kita. Sebab semua itu hanyalah mantra material kita saja. Jadi sangat perlu pengimbangan antara kebahagiaan material dan spiritual. karena spiritual adalah cara untuk menjadikan kebahagiaan batiniah. Dengan kebahagiaan batiniah kita akan mendapatkan kebahagiaan lahiriah.

Sebenarnya manusia bisa dikatakan layaknya “meja”yang mana memiliki empat kaki. Kaki pertama yang bisa menumpu kehidupan manusia adalah kaki material dan kedua adalah intelektual, kaki ketiga adalah emosional dan yang terakhir spiritual.kebahagiaan manusia sangatlah bergantung pada keempat kaki ini.jadi perlulah keseimbangan di antara keempat hal tersebut yang akan menunjang kebahagiaan hidup manusia. Seperti kita ketahui bersama, banyak diantara manusia di muka bumi ini telah mabuk serta terbuai oleh kehidupan tersebut.dan juga banyak sekali diantara kita yang terbuai pada hal maya yang diperkirakan semua itu dapat membahagiakan kita akan tetapi malah berimbas sebaliknya, sehingga kita seolah-olah lupa kepada realita kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan inilah yang akan berputar dan menentukan kehidupan kita dimasa yang akan datang. Akhirnya akibat dari keterbuaian dan ketercanduan inilah manusia terjebak kepada sesuatu yang akan menjerumuskannya ke jurang kebiadaban. Pada konsep spritual ini banyak sekali kita ketahui bahwasanya sebagian besar diantara kita mengartikan hal spiritual itu secara negatif.Seperti halnya diantara kita mengartikan bahwa spiritual itu bertujuan kepada hal ghoib dan menyesat kan.akan tetapi tidak semua hal yang berbau spiritual itu menyesatkan, memang spiritual itu bertujuan kepada hal yang ghoib, akan tetapi tidak lain hanya bertujuan kepada sang Kholiq.Seperti yang telah berjalan di pondok kita(Al-amien prenduan)yaitu yang berkenaan tentang Qiyamulail. Itu semua bertujuan untuk menguatkan spiritualitas kita kepada Sang Kholiq.

Jikalau manusia terus tercandu kebahagiaan dunia saja, apalagi sesuatu yang mereka lakukan itu sudah melampaui batas-batas norma dan syara`, maka semakin lama mereka hidup, semakin banyak pula spesies-spesies baru yang bahkan lebih biadab dari mereka itu. Sehingga timbulah konsep-konsep pemikiran rasional di otak kita, bahwasanya di samping kita membutuhkan kebahagiaan duniawi juga harus diselingi dengan tertanamnya spiritual yang kuat di dalam diri kita, supaya peranan spiritual tersebut akan membawa dan menyongsong kehidupan yang lebih bahagia lagi .

Sistem Pendidikan Full Day

. Saturday, June 16, 2007
0 comments

Tak dapat dielakan lagi bahwasannya eksistensi pendidikan di zaman modern ini sangat urgen bagi setiap individu. Apalagi di zaman cyber ini, setiap aktivitas kita tak akan lepas dengan teknologi. Kemajuan pesat teknologi sangat berpengaruh dengan taraf pendidikan di dalam suatu komunitas tersebut. Sungguh sangat mustahil, suatu Negara, sebut saja Negara kita Indonesia dapat menciptakan penemuan terbaru tanpa adanya pendidikan dalam bidang tersebut. Dan Indonesia dari tahun ke tahun terus malakukan inovasi dalam bidang pendidikan, entah itu dalam aspek kurikulum, manejemen dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini pemerintah kita telah mencanangkan sebuah program pendidikan yang disebut dengan full day school, dimana seorang siswa seharian penuh berada dalam lingkup sekolah. Duduk di kelas memperhatikan berbagai penjelasan guru, mulai pagi hingga sore hari

Ini merupakan sebuah inovasi dalam pendidikan Indonesia. Akan tetapi sangat disayangkan, pemerintah kurang cermat dalam menentukan kegiatan, untuk mengisi system tersebut, ditambah lagi dengan waktu yang kurang efisien, dimana otak seorang siwa dipaksa untuk memperhatikan keterangan guru mulai pagi hingga sore hari, mungkin banyak siswa yanga merasa jenuh dengan system yang seperti ini. Dalam kesempatan ini, coba kita perhatikan pandidikan fullday ini. Disana terdapat sedikit kekurangan. Pertama pelajaran yang diajarkan seorang guru tehadap siswa. Sejak pagi hingga sore hari mereka hanya dicekoki dengan pendidikan yang berbau intlektual saja. Otak kiri siswa selalu dilatih akan tetapi sebaliknya otak kanan mereka dibiarkan begitu saja. Inilah salah satu kekurangan pendidikan Indonesia, yang lebih mengedepankan pendidikan intlektual, sedangkan pendidikan emotional mereka tak diperhatikan. Kedua masalah waktu yang begitu panjang. Mulai pagi hingga sore siswa hanya duduk terpaku di dalam kelas, mendengarkan penjelasan guru yang sedikit menjenuhkan. Untuk masalah koginitif saya kira mulai pagi hingga siang itu sudah cukup dan itu merupakan waktu yang kondusif untuk belajar.Ya, mungkin ketika malam mereka bisa menambah porsi belajar mereka dengan bantuan orang tua mereka. Seandainya siang digunakan untuk belajar itu merupakan waktu yang kurang kondusif. Mengapa? Setelah makan siang tentunya perut terasa kenyang, dan itu akan menyebabkan kemalasan otak kita untuk bekerja. Ketiga kemana waktu mereka bermain bersosialisasi dengan sahabat-sahabat mereka. Bukankah manusia itu makhluk sosial yang membutuhkan sebuah kehidupan bermasyarakat, saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Sandainya mereka tak terbiasa untuk bergaul dengan sahabat-sahabat mereka, bagaimana mereka bisa hidup bermasyarakat. Nah ini yang sangat ditakutkan akibatnya. Memang dengan fullday akan banyak melahirkan seorang intlek akan tetapi apakah mereka bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar…!

Bagaimana kita menyikapi hal ini. Jika kita menengok sedikit terhadap pendidikan pondok pesantren, mungkin kedua sistem tersebusipadukan. Mulai pagi hingga siang, siswa diberikan pendidikan kognitif. Sedasngkan siang hari, setelah mereka makan, sholat, waktu mereka untuk mengasah kemampuan emotional, seperti drama, menjahit, olahraga dan sebagainya. Sore harinya, merka bisa kembali le rumah mereka masing-masing, untuk bercengkrama, bersosialisasi dengan sahabat-sahabat mereka di rumah. Mungkin ini lebih efisien, dan akan menciptakan seorang cendikia, pemimpin yang mudah bersosialisai dengan masyarakat, pendek kata seseorang cendikia yang berjiwa social.

Peradaban Islam Di Barat

. Thursday, June 14, 2007
2 comments

Tidak dapat dipungkiri lagi, hampir seluruh peradaban dunia sekarang berkiblat kepada perkembangan Barat. Mulai dari gaya berpakaian, gaya bicara maupun tingkah laku. Kita yakin masyarakat dijaman kita sudah menyadari adanya pengaruh peradaban Barat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat kita lihat dari cara berbicara, berpakaian, visi kenegaraan dan hubungan antar bangsa, bahkan menghibur diripun kini orang kebanyakan menggunakan ukuran-ukuran kesenangan orang-orang Barat, lebih ironisnya lagi tidak sedikit dari kalangan umat Islam ikut-ikutan meniru tingkah laku orang Barat, hal ini disebabkan karena tidak semua orang benar-benar memahami maksud yang terselubung dari peradaban Barat tersebut.

Pada masa pra sejarah, kira-kira pada abad ke-181 Barat dengan keseriusannya meyakini diri sendiri bahwa dialah ukuran dari segala sesuatu. Bukan hanya itu, bahkan mereka juga meyakini bahwa rasionalitas yang luar biasa pasti membawanya ke puncak pengetahuan, kekuasaan dan kebahagiaan dan mereka yakin bahwa peradabannya merupakan peradaban yang paling mulia yang pasti mendominasi alam semesta.

Hukum rasionalnya piagam hak asasi manusia mendekatkan ilmiahnya yang diyakini bebas nilai semuanya itu dianggap unsur-unsur yang sangat penting dari suatu budaya-budaya yang tengah tumbuh sekarang ini dapat kita lihat peradaban Barat begitu kental dikalangan masyarakat dunia dalam aspek kehidupan mereka. mulai kebiasaan makannya, mode, kecantikan lokal bagi kaum wanita maupun pria, pengaturan waktu santai, norma-norma seksual, dan hampir semua aspek kehidupan masyarakat pada masa kini berkiblat pada peradaban barat. Bahkan mereka merasa malu kalau tidak meniru peradaban barat. Yang menjadi tolak ukur bagi semua pergaulan. Apalagi pada masalah gaya hidup. Kebanyakan orang takut dibilang kuper alias kurang pergaulan, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa peradaban barat sudah mulai menancapkan kukunya pada kulit suci ummat islam.

Melihat keadaan tersebut, sudah dapat diterka bahwa mereka telah menyadari islmlah yang akan menghancurkan peradaban Barat. Maka dari itu mereka melakukan invasi terhadap berbagai aspek kehidupan dunia Islam. Diantara inpasi terhadap berbagai aspek kehidupan dunia Islam diantara invasi Barat terhadap dunia Islam diawali dari pasca terjadinya peristiwa 11 september 2001 dengan alasan itulah barat dibawah kendali AS melakukan penyerangan terhadap dua Negara yaitu AFGHANISTAN dan IRAK peroyek besar-besaran AS untuk untuk menjadikan agenda “ pertama melawan teroris” sebagai agenda pertama dalam politik International terbukti mereka lebih menyerahkan penyerangan-penyerangan terhadap apa yang disebut dengab teroris Islam yang mereka nilai membahayakan kepentingan Barat dan AS pada umumnya serangan-serangan AS lainnya terhadap Negara-negara Islam tidak lain hanyalah ketakutan AS terhadap Islam yang akan mampu meruntuhkan perdaban mereka

Maka dari itu kita sebagai umat Islam yang menjadi sasaran utama dari kaum penghancur harus waspada terhadap berbagai sesuatu yang dilakukan secara halus. seperti Herny Martyn 3 “untuk menghancurkan umat Islam saya tidak perlu menggunakan senjata melainkan dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan akal sehat, tidaklah dengan kebencian tapi dengan cinta”. Dapat kita saksikan upaya-upaya tersebut mereka lakukan seperti usaha para penyumbang-penyumbang sejati memberikan berbagai sumbangan terhadap bencana yang melanda Indonesia seperti: Tsunami di Aceh, Gempa Bumi di Jogja, dan Lumpur Lapindo Sidoarjo dan dan babarapa tempat lainnya yang belum tersentuh tangan-tangan kedermawanan sang penyumbang sejati.

Melihat keadaan seperti ini kita tidak boleh tinggal diam, kita harus berjuang bersama-sama menghadapi problema umat Islam pada saat ini. Kita harus bisa melawan berbagai tindak-tanduk orang barat terhadap dunia Islam baik dengan fisik maupun dengan kekuatan pikiran. maka dari itu diperlukan solusi yang jitu dalam menghapi situasi ini

Dalam menghadapi kondisi seperti ini ada dua solusi yang kami tawarkan yaitu:
1. Kita luruskan barisan sebagai wujud dari pertahanan dan benteng yang menguatkan, serta tetap berpegang teguh terhadap ajaran agama Islam
2. Perlu adanya rasa bekerja keras dan kemauan yang teguh terhadap agama Islam.

Moh. Zia Ulhaq

Kontroversi Bencana Di balik Kepemimpinan SBY

. Wednesday, June 13, 2007
0 comments

Sejak SBY menjadi presidan di negeri ini, rasanya Indonesia tidak luput dari bencana. Berawal dari Tsunami, banjir, lumpur Lapindo, Adam Air, dan sebagainya. Bancana ini bersusulan dan sambung-menyambung tiada henti-hentinya. Belum selesai yang satu, datang lagi yang lain. Begitulah bencana yang memporak-porandakan negeri ini sepanjang kepemimpinan SBY. Yang dipermasalahkan sekarang adalah tentang pendapat dan perbincangan masyarakat yang timbul dari mulut-kemulut bahwasanya bencana yang terus-menerus melanda negeri Indonesia ini disebabkan kepemimpinan SBY. Memang sejak SBY menjabat sebagai presiden Republik ini terus menerus dilanda bencana karena bencana ini datang ketika kepemimpinan SBY, padahal kalau kita mau berfikir secara logis tak akan mungkin suatu bancana datang karena seorang pemimpin. Seorang pemimpin tak tahu apa-apa tentang bencana, karena bencana itu datangnya bisa jadi karena kesalahan manusia itu sendiri atau itu memang benar-benar dari alam itu sendiriContohnya seperti tsunami, itukan memang benar-benar datang dari alam, karena disebabkan oleh gempa yang terjadi di dasar laut dan bencana yang datang dari kesalahan manusia itu sendiri contohnya lapindo, adam air itu kesalahan dan kelalaian fatal yang disebabkan oleh kelalaian kerja manusia itu sendiri

Menanggapi masalah bencana ini, kalau menurut pikiran kita sebagai seorang muslim yang mempunyai kepercayaan sendiri bahwasanya bencana itu pasti datangnya dari Allah, buakan karena seorang pemimpin. Memang seorang pemimpin dalam pemikirannya lebih tinggi lebih luas serta lebih bersifat intelektual, tapi dalam bidang penanggulangan bencana, saya kira mereka kurang professional. Karena mereka manusia biasa apalagi SBY. Apabila misalnya bapak SBY tahu kalau dalam perjalanan karier kepemimpinannya akan tertimpa bencana yang terus–menerus datang , tentu beliau tidak mau jadi presiden . Karena orang pasti akan terus beranggapan bahwa bermunculannya bencana-bencana ini disebabkan oleh kepemimpinan seorang leader. Padahal dia tidak tahu-menahu tentang masalah ini. Pikiran orang-orang awam hanya tertuju pada kejelekannya saja. Padahal mereka tidak tahu apa prestasi Indonesia semenjak kepemimpinan SBY.

Jadi kita sebagai seorang pelajar dan mempunyai pemikiran yang lebih logis daripada mereka, kita harus berfikir yang lebih jernih lagi. Apalagi dalam menyikapi bencana yang terus-menerus melanda tanah air tercinta kita ini. Kita tahu bahwa bencana itu datangnya dari Yang Maha Kuasa (Allah swt), bukan karena seorang pemimpin. Kalau memang bencana datangnya dari seorang pemimpin, kenapa tidak diturunkan kepada presiden pendahulunya saja, seperti Soeharto yang merupakan pemimpin dikator Indonesia, yang masa kepemimpinannya menerapkan asas tunggal Pancasila di negeri ini, serta kesalahan-kesalahannya yang lebih fatal? Kalau kita mau berfikir sekali lagi, bisa jadi kelompok-kelompok yang menjelekkan SBY mempunyai keinginan terpendam, yakni turunnya SBY dari penerintahan, karena masalah ketidak lancaran dalam menjalankan tugas sebagai seorang presiden. Hal ini tentu merupakan siasat-siasat dari lawan-lawan politik beliau yang ingin menggantikan kedudukannya. Dan masalah bencana yang tak berujung ini merka jadikan sebagai senjata untuk mendesak SBY mundur dari kursi kepresidenan.

Melihat masyarakat Indonesia sekarang yang demi hari kian menjauh dari ajaran agama, mereka menghalalkan segala cara untuk menggapai apa yang mereka inginkan. Walau pun cara itu sangat bertentangan dengan syari`at. Mungkin ini azab dari Allah. Mengingat bagaimana kelakuan bangsa Indonesia sekarang. Dan mungkin Allah swt menurunkan cobaannya kepada kita semua untuk mengetahui kadar keimanan kita serta kesabaran kita dalam menyikapinya.


Besliansyah KWQ

Berhati-hati Dalam Berpandangan

. Tuesday, June 12, 2007
0 comments

Ketika keinginan sudah merasuki hati begitu derasnya, lambat laun hati akan menjadi budak dari keinginan itu. Seperti nafsu manusiawi ketika manusia mempunyai berbagai keinginan, entah itu yang mungkin dapat dicapai atau sebaliknya. Manusia yang berusaha Allah lah penentu segalanya. Mata, sebagai salah satu organ vital yang dimiliki manusia, mempunyai kontribusi yang besar dalam hal ini. Kita melihat tetangga sebelah membeli mobil baru, terbersit keinginan untuk menjadi seperti itu atau bahkan mampu melebihinya. Padahal mobil kemarin pun masih baru, hanya arena tidak bisa menjaga pandangan serta keimanan dan rasa syukurnya rapuh, maka nafsu menyelimuti hati. Kita bisa dianggap telah kufur dengan nikmat yang diberikan oleh Allah. Apakah penyebabnya? Tak lain adalah mata itu sendiri yang belum mampu dijaga oleh pemiliknya

Bukan hanya sebatas itu saja,hampir di seluruh aspek kehidupan mata ini selalu menyertai gerak langkah kita. Jika saja tidak pandai menyetirnya, maka akan berakibat fatal bagi kehidupan. Pernahkah anda mendengar ada seorang anak yang memberlakukan teman wanitanya secara tak senonoh. Saya yakin bagi para lover-lover multimedia, pernah mendengarnya bahkan bukan pernah lagi, melainkan sering. Sungguh ironis sekali, dan sekali lagi ini semua terjadi disebabkan karena apa? Tidak bisa menjaga pandangan.

Tidak ada salahnya apabila kita meniru perbuatan para sahabat RA (Radiallahu Anhu.red). Demikian pula dengan salah satu sahabat nabi, Abu Bakar As siddiq RA, demi menghormati kedudukan seorang wanita, beliau pernah berkata “Lebih baik aku berjalan dibelakang seekor singa, dari pada berjalan di belakang seorang wanita”. Maksudnya tiada lain, hanya agar pandangan terhadap lawan jenis tetap terjaga. Dengan begitu tidak akan menimbulkan perasa apa pun dan menjauhkan kita dari fitnah.

Namun harus diingat pula tidak semua yang diakibatkan mata berbuah hal yang bersifat negatif. Ada seorang sahabat yang hanya karena sering melihat temannya selalu belajar dan tak pernah absen shalat berjamaah lima waktu, akhirnya hatinya tergugah untuk berubah. Padahal sebelum itu dia jarang sekali menyentuh buku, apa lagi belajar. Melangkah ke masjidpun baru satu kali apa lagi shalat berjamaah, belum pernah dia rasakan. Hanya dengan melihat bisa merubah tingkah laku seseorang.

Kemudian pada akhirnya, kembali pada diri kita sendiri. Seberapa besar kelihaian mengendalikan pandangan, objek apa saja yang dijadikan tujuan, dan tak kalah penting manfaat apa yang dapat diraih setelah itu? Semua tergantung kepada kita sendiri. Dan tak lupa pertebal keimanan serta frekuensi ibadah, yang dengan itu mudah-mudahan Allah berkenan selalu menjaga diri khususnya pandangan dari hal merusak. Semoga hidayah Allah selalu mengelilingi dan menuntun kita kejalan yang benar.(Amien)


A M Suhendar KWQ

Kesalahpahaman Tentang Filsafat

. Monday, June 11, 2007
0 comments

Filsafat salah satu kata yang mungkin jarang sekali di dengar orang yang kurang wawasannya serta minatnya dalam pengembangan ideologi. Dikarenakan sempitmya pandangan sempitnya pandangan tentang hal tersebut. Seakan- akan filsafat itu suatu momok yang dapat merusak ideolgi agama yang telah ada, sehingga timbulah suatu persepsi yang intinya menyatakan bahwa filsafat itu tidak boleh bahkan haram untuk dikaji serta diperdalami. Oleh sebab itu sangat sedikit sekali orang yang sadar akan pentingnya filsafat. Hanya segelintir orang saja yang memahaminya sebagai suatu kepentingan dalam hidup beragamaMayoritas pesantren salaf Indonesia, bahkan mungkin hampir keseluruhan, mengharamkan adanya pengkajian atau pendalaman apapun yang berbau filsafat. Karena otoritas pesantren tersebut mengacu kepada pendapat Imam Ghazali yang mengatakan bahwa filsafat itu sesat, yang telah dituliskan beliau dalam bukunya “Tahfatul- Filsafah”. Sehingga pada saat itu terjadi peperangan idealisme antara tokoh filsaat seperti Ibnu Rusyd. Mereka berlomba dalam mengarang buku yang isinya saling menyudutkan lawannya.

Jika kita melihat pada realita yang ada, segala sesuatu di dunia ini tidak lepas dari pemikiran filosofis. Contohnya dalam ilmu tauhid, terdapat kata “adanya makhluk di dunia ini menunjukan adanya Tuhan”. Dalam segi kata-katanya bisa disimpulkan bahwa kalimat tersebut merupakan hasil dari pemikiran filosofis. Jadi persepsi orang salaf yang mengatakan bahwa filsafat itu menyesatkan adalah salah besar. Padahal dasar pelajaran atau bisa dibilang kurikulum yang paling dasar dalam pendidikan pesantren salafi ialah tauhid dengan kitabnya yang berjudul “Tijanu Ad-Darari”. Karangan Syekh Ibrahim Al- Bajuriyyu. Di dalamnya membahas tentang ke- Esaan Tuhan, yang di dalamnya terdapat banyak sekali atau bisa di bilang hampir keseluruhan dari pembahasannya memakai dalil aqli. Kemudian kita ketahui bersama bahwa asal atau sumber dari dalil aqli tersebut akal pikiran manusia yang merupakan inti dari proses terjadinya atau terciptannya ilmu filsafat.

Memang kita ketahui sendiri bahwa sebagian dari ahli- ahli filsafat di dunia, tidak bertuhan. Seperti Nietsheze, Descartes, dan sebagainya. Tapi hal itu terjadi karena ketika mereka berfikir, akal mereka tidak memakai konsep diin yang di paparkan oleh Fauz Noor dalam bukunya “Tapak sabda”, yaitu konsep yang memetakan bahwa kita boleh memikirkan semua hal yang ada di alam semesta ini. Akan tetapi ketika pikiran kita mengenai hal- hal yang berhubungan dengan zat Tuhan YME, kita harus tunduk dan mengalhkan pada topik yang lain. Itulah yang terjadi pada tokoh- toloh fisafat barat yang telah mashur pada zamannya sehingga kita bisa mengatakan mereka para filosof yang kehilangan arah dan tak punya tujuan serta batasan, layaknya orang yang bepergian dengan mobil tetapi tidak ada tujuan yang ingin dicapai sehingga akhirnya mobil merekapun mati karena kehabisan bensin tanpa tahu apa sebenarnya tujuan mereka bepergian dan membuat perjalanan yang mereka lakukan sangat sia-sia.

Sedangkan tokoh-tokoh filsafat Islam kita sangat jauh berbeda dengan tokoh-tokoh filsafat barat yang mempertuhankan akal dan membuang jauh- jauh dari benak mereka apa-apa yang berhubungan dengan Tuhan dikarenakan tiadanya iman yang mengakar kuat dalam hati . Karena ketika mereka memikirkan suatu masalah yang berkecamuk dalam benak mereka, dihadapinya masalah tersebut dengan pikiran yang penuh keimanan dan ketakwaan. Sehingga didapatlah solusi yang diinginkan tanpa sedikitpun meninggalkan norma-norma keagamaan dan tanpa menghilangkan unsure-unsur yang terkandung dalam masalah tersebut. Sampai akhirnya kita dapat merasakan dampak positif dari hasil pemikiran mereka. Contohnya seperti ilmu kedokteran yang dihasilkan oleh tokoh filsuf kita yakni Ibnu Sina, filsafat Islam tentang ketuhanan yang membuat pemikiran kita selalu terpaut dengan Sang Ilahi yang dihasil kan oleh Al- Kindi dan contoh-contoh lainnya yang tak mungkin tersebutkan semuanya.


Zaini abdillah KWQ

Belajar? So What Gitu Lho..!

. Sunday, June 10, 2007
0 comments

Banyak diantara kita yang menganggap bahwa belajar itu merupakan beban yang harus dipikul. Hal ini dikarenakan kesalahan kita dalam memandang dan menilai bahwa belajar itu merupakan sebuah monster (mungkin Dinosaurus, ya…!) yang bisa melahap dan mengganggu aktifitas bermain kita dengan teman-teman. Kalau kita bisa mengubah dan memperbaiki cara pandang kita (prsepsi) dan cara menilai tantang, apa sih itu belajar, kita akan mengetahui bahwa belajar itu merupakan suatu keni’matan yang lezatnya luar biasa (mungkin tak ada tandingannya). Semua tak akan lepas dari cara pandang kita, cara berfikir kita, maupun cara penilaian kita tentang sesuatu, khususnya belajar. Dan perlu kita ketahui bahwa penelitian di bidang ilmu otak berhasil mememukan bahwa pendidikan, psikoterapi dan pengalaman hidup dapat mengubah protein yang diproduksi oleh gen, sama kuatnya daengan perubahan yang dilakuakan oleh gen terhadap pola pikir kita. Dan apabila kalian semua terbiasa berpkir keliru (khususnya dalam menilai dan memandang tentang belajar) hal ini akan memaksa gen-gen yang ada di dalam otak otak kalian untuk memproduksi protein-protein yang akan memperkuat kekeliruan tersebut. So, jagalah pikiran kalian terus-menerus, ok !

Bikin Belajar Selezat Cokelat


Di dalam buku ini kak Fatar dan kak Dennis memberikan solusi kepada kita tentang cara proses belajar itu selezat dan senikmat cokelat. Kita tahu bahwa belajar itu merupakan suatu kegiatan yang sangat membosankan, menjenuhkan, dan bahkan bisa membuat kita frustasi. Semua ini disebabkan karena kita belum tahu thoriqoh belajar yang baik dan menfaat yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini Kak Fatah dan Kak Denis memberikan suatu gambaran kepada kita supaya kita senang dan semangat belajar dalam menuntut ilmu.

Pertama, kita harus mengetahui benar, apa sih itu belajar dan manfaatnya bagi aku? Belajar itu merupakan suatu proses perjalanan manusia dari suatu yang belum dia tahu menjadi tahu. Semua itu tak akan pernah terjadi apabila kita masih belum mengetahui dan mengenal tentang hakekat belajar itu sendiri, tak kenal maka tak sayang. So, sebelum kita memulai belajar kita harus mengetahui apa itu belajar dan apa manfa’at yang kita peroleh ketika belajar dibandingkan dengan ketika tidak belajar (introspeksi diri).

Kedua, semangat (spirit). Tanpa semangat kita tidak akan mungkin belajar secara konsisten dan terarah secara baik. Karena semangat merupakan kunci sukses kita dalam belajar. Tapi sebagian dari kita yang semangat belajarnya turun (terutama bagi anak-anak yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi) dikarenakan minimnya biaya untuk kuliah. Semua itu tidak akan pernah terjadi apabila kita mempunyai semangat yang besar. Imam Syafi’i pernah berkata bahwa : “tidaklah penting dalam berburu ilmu, kecuali siapa yang mencari dalam kondisi kekurangan.”

Ketiga, mempunyai impian yang besar atau cita-cita yang besar untuk belajar. Karena belajar tanpa impian itu non sense. Apapun impian kita, tak peduli setinggi langit atau sehebat apapun, semunya bermuara pada satu jua, yaitu keberhasilan di akhirat kelak.

Semua tips-tips yang disajikan dalam buku tadi merupakan salah satu unsur kelebihan yang dikandungnya selain ilustrasi dan gambar yang ada pada buku tersebut. Tapi kalau kita amati lagi , kita akan mengetahui bahwa buku tersebut memiliki beberapa kekurangan, di antaranya yang paling menonjol adalah penggunaan kata-katanya yang sulit dipahami (misal, seyuk: orange) dan tidak sesuai dengan EYD yang digunakan di Indonesia. Walaupun sasarannya itu anak kalangan remaja


M. Yani KWQ

Irsyad Manji; Kritisisme Dalam Beragama

. Saturday, June 9, 2007
0 comments

Buku The Troble With Islam Today, karangan Irsyad Manji yang dalam edisi arabnya diberi judul Muslimun Wa Ahraar mengajarkan kritis terhadap segala sesuatu bahkan hal-hal yang kadang menurut kita adalah tabu, seperti agama misalnya. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari buku ini, hanya buku catatan harian seperti kebanyakan buku catatan harian yang kita miliki. Namun dari catatan inilah kita bisa menemukan kritisisme seorang muslim terhadap agamanya sendiri. Pada fihris pertama kita bisa melihat pemberontakan dia terhadap al-qura’an. Dia mempertanyakan universalitas al-qur’an sebagai the first epistimologic setelah hadits. Kemudian dia juga menyinggung isu gender. Adapun sebab timbulnya pertanyaan pemberontakan tentang al-qura’an darinya adalah lebih dikarenakan posisinya yang tidak paham bahasa arab yang menyebabkan dia tidak bisa memahami al-qur’an baik tersirat maupun tersurat, dari sinilah dia mengungkapkan, kenapa al-qur’an tidak disalin saja kedalam bahasa dimana orang muslim tinggal seperti halnya dia yang mengalami kesulitan dalam memahami al-qu’an. Adapun masalah isu gender, karena_maaf harus menggunakan kata-kata ini_dia mengalami kelainan sex, irsyad adalah lesbian. Tidak mengherankan bila dia mempertanyakan kenapa perempuan tidak bisa jadi imam sholat. Dan masih banyak lagi pertanyaan pemberontakan lainya dalam buku tersbut. Lebih lengnkapnya baca sendiri.

Islam sebagai din dan islam sebagai pemahaman memang menyisakan masalah tersendiri pada pemeluknya. Bila menganggap islam sebagai din maka kita harus tunduk dan patuh terhadap teks termaktub, tidak boleh mbalelo apalagi neko-neko. Tapi yang pasti hidup ini terus berjalan searah dengan berjalanya waktu, dimana dalam perjalananya pasti ada saja hal-hal yang datang diluar dugaan dengan segala varianya dan membutuhkan right of problem solving. Pada tataran inilah kita sering dibenturkan pada realitas teks dan konteks. Ketika teks dan kontek seirama tidak akan pernah jadi masalah, yan jadi masalah adalah saat keduanya saling membelakangi, disinilah diperlukannya islam sebagai pemahaman agar masalah kemanusiaan tetap terakomodir.

Sikap seperti Irsyad Manji perlu dikembangkan_asalkan kritisisme itu konstruktif_karena pada hakekatnya tidak ada yang tidak bisa dipertanyakan. Tetapi kita juga tidak bisa sepenuhnya menjadi seorang irsyad, sebab kita juga harus tahu diri, siapa kita dan siapa Dia, kita juga harus sadar ada hal yang tidak patut untuk terus dan selalu dipertanyakan, apalagi bila kritisisme itu hanya mengedepankan ego dan kepentingan pribadi yang ujung-ujungnya hanya berakhir pada individual satisfy and independency.


Abd Hamid

Jika Agama Sebagai Boneka

. Friday, June 8, 2007
0 comments

Banyak orang mengatakan bahwa agama adalah suatu perjanjian yang mengingat. Dengan pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa agama hadir sebagai pemekang dari gerak sebagai bentuk Eksklusivisme terhadap manusia. Mahluk yang menghendaki dinamika oleh perkembangan.Kesunyian agama sebagai sebuah petunyjuk agama di lihat dari berbagai sisinya mempunyai keunikan tersendiri sehingga cakupan yang ada didalamnya secara global mempunyai tak terbatas. Ada sebagian ilmuan mempunyai pengertian bahwa agama adlah bagian-bagian dari etika, namun itu pun tidak bisa menyjadi setandar yang pas untuk sebuah kemajuan tentang sebuah agama.

Dalam banyak ajaran agama yang dikandung disetiap agama semuanya mempunyai kesamaan masing-masing menyampai kebenaran. Dalam hal ini tuhanlah dalam agama sebagai suatu yang sangat absolut. Hal ini telah membuktikan bahwa tuhan itu adalah sumber dari segala sumber. Tuhan orang islam disebut Allah yang maha kuasa dibandingkan tuhan lainya, yang dianut oleh beberapa agama di dunia. Kita mempunyai keimanan dalam kehidupan kita. Begitu pula keislaman dalam hidup kita yang diterapkan rukun- rukun, dan sunnah-sunnah. Adapun rukun-rukun tersebut mempunyai dua bagian, yaitu: rukun islam dan rukun Iman. Dan begitu pula hal sebaliknya sunnah-sunnah itu menjadi patokan yang perlu kita jadikan motifasi diri.

Tak jarang agama kita yaitu agam islam, mudah di jadikan bahan-bahanan kaum yahudi telah mengincar agama islam sejak dulu. Kita simak dari kejadian perang contonya: di iraq mungkin itu kejadian yang bikin gempar kaum islam di dunia. segala macam tindak kekerasan dan pembunuhan oleh kaum yahudi telah merobek mimpi-mimpi pada setiap anak beserta orang tua yang mendidik anak-anak menuju jalan islam dengan segala aspek-aspek ketentuan –ketentuan agama islam.

Jadi rangkuman dari keterangan diatas bahwa agama islam sudah menjadi hal tipu daya agama keristen atau disebut keristenisasi, bila Indonesia menjadi sasaran kaum yahudi apakah kita bisa menjadikan benteng yang tidak bisa dirobohkan dan dihancurkan walaupun Negara kita tidak secanggih Negara adikuasa?

Hal-hal yang terpapar diatas adalah sebagian dari peristitusi yang mana halnya agama di dunia sudah menjadi boneka yang di permainkan. Ternyata banyak kalangan islam Indonesia sudah melenceng dari agama itu. Berbagai macam pelencengan-pelencengan sama hal nya dengan mempermainkan agama itu sendiri ada beberapa pelencengan dalam agama islam yaitu agama yang senantiasa merubah menjadi beberapa golongan. Contohnya islam yang di jadikan sebagai kartu pengenal yang di sebut dengan islam KTP dan ada pula islam membuat sebuah benda-benda yang di sembah diantaranya batu, matahari dan patung yaitu yang dinamakan islam kare.

Pada era globalisasi ini peradaban dunia sudah begitu canggih dan serba menggunakan alat –alat yang sangat handal. Ada beberapa yang perlu digaris bawahi bahwa agama bukan untuk dijadikan bahan yang bisa dijadikan alat, hal ini bisa menjadi perusak terhadap agamanya.


Moch.Zia ulhaq