Happy Is Pretty ?

. Friday, June 22, 2007
0 comments

Dengan makin minimnya orang awam baik di daerah terpencil atau di perkotaan, menimbulkan revolusi teknologi yang memfasilitasi kebutuhan serta kapasitas manusia di era moderen. Itu merupakan simbol dan status, layaknya mainan yang tak terpahami pada permainan itu sendiri. Hingga kecepatan waktu tak terhenti. Aruspun tak terhalangi oleh hati, jiwa, dan akal suci.Seolah-olah zaman ini hidup secara ceria dan cemerlang. Akan tetapi, faktanya kembali ke masa Nabi Adam as atas teragedi Qabil dan Habil yang gelap akan pengetahuan dan tipisnya kepercayaanBermula dari segelintir orang barat (non-muslim)-orang timur (islam)termasuk Indonesia.yang mencari kepuasan birahi hati untuk kebahagiaan abadi,tanpa menyentuh pikiran hanya mengedepankan EQ(emotional question)negative dan IQ(Intelektual Question) sebagai media atau alat kinerja tersebut.

Lantas! Gimanakah muka bumi ini ? yang amat besar bebannya untuk melimpahkan kenikmatan pada penghuni di dalamnya. Karena bumi merupakan suatu hasil dari penciptaan yang begitu agung dari Sang Khalik. Ia akan tunduk selama tak ada teguran dari Sang Pencipta, walaupun para penghuninya melakukan tindakan yang dapat merusak bumi itu sendiri serta menimbulkan bencana-bencana yang lain.

Itu merupakan inspirasi dan imajinasi yang negative dengan memanage tanpa berpola struktural. Sebab manusia sangat minim untuk mengetahui maksud happy is beauty hanya sebatas makna yaitu,” kebahagiaan itu indah”. Sehingga muncullah ungkapan kebahagiaan tak akan lepas dari kakayaan yang meliputi harta yang bersifat duniawi. Segala cara ia halalkan. Dan ia pun tak mensukuri apa-apa yang diidamkan, seperti mobil yang mewah, emas, rumah atau bangunan bertingkat serta jabatan yang tinggi. Dengan tanpa ada komperatif , full time work di jalankan dengan mempertaruhkan nyawanya, hanya sekedar berlomb-lomba mencari kekayaan atau kekuasaan di mata orang lain.

M. Fadhil

Tidur Dan Shalat Subuh, Lebih Nikmat Mana?

. Thursday, June 21, 2007
0 comments

Jika kita melihat realita yang ada, banyak dari umat muslim zaman sekarang yang menganggap remeh terhadap pelaksanaan shalat subuh berjama’ah. Hal semacam ini dapat kita buktikan ketika adzan subuh telah dikumandangkan, mayoritas dari meraka lebih memilih untuk meneruskan aktivitas mereka di alam mimpi. Bagi mereka tergolek di atas kasur yang empuk jauh lebih nikmat dibandingkan sujud di atas sajadah dalam shalat jama’ah. Di atas sebuah kasur empuk. Mereka sering kali bedalih “entar aja , siang-siangan juga bisa”Tentu saja hal tersebut sangat kontras sekali, jika kita bandingkan dengan keadaan umat Islam ketika zaman Nabi Muhammad SAW. Satu contoh kecil saja, ketika terjadi peperangan untuk menaklukkan benteng Tartar. Ketika itu terjadi suatu peristiwa yang lumrah dalam pandangan orang kebanyakan, yaitu terlambat melaksanakan shalat subuh. “tragedi” ini membuat salah satu sahabat yang bernama Anas bin Malik selalu menangis bila mengenangnya. Ingat sobat! Terlambat di sebabkan jihad…

Perbedaan di atas sudah sangat jelas. Betapa banyak dari umat muslim yang tidak faham atau sengaja dilupakan, betapa urgennya pelaksanaan shalat subuh di awal waktu. Hingga para sahabat selalu menyesalinya, padahal hanya sebatas terlambat. Apakah kebanyakan dari kita lebih mementingakan kehidupan duniawi yang sifatnya hanya sementara. Jika kita mau bersikap agak kritis, kenapa bisa Allah SWT menetapkan pelaksanaan shalat pada waktu yang begitu sulit, dimana ketika itu manusia sedang asyik dengan mimpi masing-masing di atas kasur yang empuk. ternyata di balik pelaksanaannya diwaktu yang sangat sulit tersimpan anugrah yang melimpah dari Allah.
Pernah suatu ketika, salah seorang penguasa Yahudi melontarkan sebuah pernyataan “kaum yahudi tidak takut terhadap umat Islam, kecuali terhadap satu hal. Apakah hal tersebut? Apabila jumlah jama’ah shalat subuh menyamai jumlah jama’ah shalat jum’at”.
Apa yang bisa kita petik dari pernyataan di atas. Ternyata umat Yahudi lebih jeli terhadap realita yang terjadi pada umat Islam. Ini terbukti dengan adanya pernyataan tersebut. Apakah terdapat dalam perkataaan tesebutlah terdapat kunci kesuksesan orang- orang barat di zaman modern ini. Sepanjang pendengaran penulis selama ini, memang mayoritas dari orang-orang barat selalu berangkat ke tempat mereka bekerja ketika pagi- pagi buta.

Dan fakta juga mengatakan seperti itu halnya. Dr. Raghib As-Sirjani salah seorang dosen di fakultas kedoteran Universitas Kairo, ketika berkunjung ke AS. Ia terkejut sekali dengan penduduk Negara tersebut. Pasalnya ketika ia pulang dari salah satu masjid di Negara tersebut, setelah melaksanakan shalat subuh ia menjumpai di jalan-jalan utama sangat ramai dengan mobil. Dan apa yang mereka lakukan saat itu? Mereka berusaha sekuat tenaga bangun pagi untuk masalah pekerjaan kantor mereka. Mereka itu orang Yahudi, pekerjaan mereka notabene hanya untuk kepentingan dunia saja, hati mereka tergugah untuk bangun pagi. Bahkan ada suatu hal yang lebih fantastik dari realita ini. Ketika Dr Raghib melangkahkan kakinya ke masjid guna menunaikan shalat subuh. Di jalan beliau bertemu dengan banyak orang yang sedang berjalan dengan anjing-anjing mereka. Tentunya hal ini membuat beliau linglung. Kok bisa di waktu pagi-pagi sekali mereka berjalan dengan anjing-anjing mereka. Maka beliaupun berinisiatif untuk bertanya kepada penduduk tersebut. Dan jawaban yang beliau dapatkan dari meraka “ kami berjalan hanya sekedar untuk mengajak anjing-anjing kami menghirup udara segar”. Orang-orang yahudi bisa bangun setengah lima pagi karena hati mereka terpaut dengan anjing mereka. Sedangkan kita seorang mu’min hanya segelintir orang saja yang hatinya tergugah untuk membuktikan rasa cintanya kepada sang Khaliq.

Kejadian tersebut, tentunya menjadi sebuah kaca perbandingan yang harus kita perhatikan benar-benar. Dan sudah sangat jelas bahwasanya di balik pelaksanaan shalat subuh di awal waktu terdapat suatu hal yang urgen bagi tatanan kehidupan kita. Apakah suatu hal yang wajar? jika orang- orang Yahudi telah siap dengan pakaian kerja mereka, sedangakan kita masih terlelap di atas kasur. Bukankah “tidur subuh menyebabakan kefakiran”.

M. Iqbal

Spiritual (kebahagiaan)

. Tuesday, June 19, 2007
0 comments

Setiap orang bisa bahagia meskipun banyak sekali definisi kebahagiaan itu. Perlu diketahui bahwasanya kebahagiaan yang paling besar adalah bersumber dari diri kita sendiri akan tetapi banyak diantara kita sering kali menganggap bahkan sering memerlukan kebahagiaan dari luar diri kita. Seperti halnya kita dengan serta merta menyamakan kebahagiaan dengan manusia dengan harta benda. Jikalau ada orang yang baik dan ramah serta memberikan harta dan barang yang banyak, bagus, serta berharga sekali bagi diri kita, barulah dapat dirasakan kebahagiaan. memang kita akui daya pikat hal-hal tersebut sangatlah luar biasaBahkan kalau kita sudah terpikat pada hal tersebut kita akan sulit lepas dari itu semua dan itu akan membuat kita tercandu, sehingga banyak sekali diantara kita lupa bahkan tidak tahu-menahu bahwasanya kemasyhuran, kekayaan, dan kesuksesan itu tidak dengan sendirinya bisa membahagiakan kita. Sebab semua itu hanyalah mantra material kita saja. Jadi sangat perlu pengimbangan antara kebahagiaan material dan spiritual. karena spiritual adalah cara untuk menjadikan kebahagiaan batiniah. Dengan kebahagiaan batiniah kita akan mendapatkan kebahagiaan lahiriah.

Sebenarnya manusia bisa dikatakan layaknya “meja”yang mana memiliki empat kaki. Kaki pertama yang bisa menumpu kehidupan manusia adalah kaki material dan kedua adalah intelektual, kaki ketiga adalah emosional dan yang terakhir spiritual.kebahagiaan manusia sangatlah bergantung pada keempat kaki ini.jadi perlulah keseimbangan di antara keempat hal tersebut yang akan menunjang kebahagiaan hidup manusia. Seperti kita ketahui bersama, banyak diantara manusia di muka bumi ini telah mabuk serta terbuai oleh kehidupan tersebut.dan juga banyak sekali diantara kita yang terbuai pada hal maya yang diperkirakan semua itu dapat membahagiakan kita akan tetapi malah berimbas sebaliknya, sehingga kita seolah-olah lupa kepada realita kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan inilah yang akan berputar dan menentukan kehidupan kita dimasa yang akan datang. Akhirnya akibat dari keterbuaian dan ketercanduan inilah manusia terjebak kepada sesuatu yang akan menjerumuskannya ke jurang kebiadaban. Pada konsep spritual ini banyak sekali kita ketahui bahwasanya sebagian besar diantara kita mengartikan hal spiritual itu secara negatif.Seperti halnya diantara kita mengartikan bahwa spiritual itu bertujuan kepada hal ghoib dan menyesat kan.akan tetapi tidak semua hal yang berbau spiritual itu menyesatkan, memang spiritual itu bertujuan kepada hal yang ghoib, akan tetapi tidak lain hanya bertujuan kepada sang Kholiq.Seperti yang telah berjalan di pondok kita(Al-amien prenduan)yaitu yang berkenaan tentang Qiyamulail. Itu semua bertujuan untuk menguatkan spiritualitas kita kepada Sang Kholiq.

Jikalau manusia terus tercandu kebahagiaan dunia saja, apalagi sesuatu yang mereka lakukan itu sudah melampaui batas-batas norma dan syara`, maka semakin lama mereka hidup, semakin banyak pula spesies-spesies baru yang bahkan lebih biadab dari mereka itu. Sehingga timbulah konsep-konsep pemikiran rasional di otak kita, bahwasanya di samping kita membutuhkan kebahagiaan duniawi juga harus diselingi dengan tertanamnya spiritual yang kuat di dalam diri kita, supaya peranan spiritual tersebut akan membawa dan menyongsong kehidupan yang lebih bahagia lagi .

Sistem Pendidikan Full Day

. Saturday, June 16, 2007
0 comments

Tak dapat dielakan lagi bahwasannya eksistensi pendidikan di zaman modern ini sangat urgen bagi setiap individu. Apalagi di zaman cyber ini, setiap aktivitas kita tak akan lepas dengan teknologi. Kemajuan pesat teknologi sangat berpengaruh dengan taraf pendidikan di dalam suatu komunitas tersebut. Sungguh sangat mustahil, suatu Negara, sebut saja Negara kita Indonesia dapat menciptakan penemuan terbaru tanpa adanya pendidikan dalam bidang tersebut. Dan Indonesia dari tahun ke tahun terus malakukan inovasi dalam bidang pendidikan, entah itu dalam aspek kurikulum, manejemen dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini pemerintah kita telah mencanangkan sebuah program pendidikan yang disebut dengan full day school, dimana seorang siswa seharian penuh berada dalam lingkup sekolah. Duduk di kelas memperhatikan berbagai penjelasan guru, mulai pagi hingga sore hari

Ini merupakan sebuah inovasi dalam pendidikan Indonesia. Akan tetapi sangat disayangkan, pemerintah kurang cermat dalam menentukan kegiatan, untuk mengisi system tersebut, ditambah lagi dengan waktu yang kurang efisien, dimana otak seorang siwa dipaksa untuk memperhatikan keterangan guru mulai pagi hingga sore hari, mungkin banyak siswa yanga merasa jenuh dengan system yang seperti ini. Dalam kesempatan ini, coba kita perhatikan pandidikan fullday ini. Disana terdapat sedikit kekurangan. Pertama pelajaran yang diajarkan seorang guru tehadap siswa. Sejak pagi hingga sore hari mereka hanya dicekoki dengan pendidikan yang berbau intlektual saja. Otak kiri siswa selalu dilatih akan tetapi sebaliknya otak kanan mereka dibiarkan begitu saja. Inilah salah satu kekurangan pendidikan Indonesia, yang lebih mengedepankan pendidikan intlektual, sedangkan pendidikan emotional mereka tak diperhatikan. Kedua masalah waktu yang begitu panjang. Mulai pagi hingga sore siswa hanya duduk terpaku di dalam kelas, mendengarkan penjelasan guru yang sedikit menjenuhkan. Untuk masalah koginitif saya kira mulai pagi hingga siang itu sudah cukup dan itu merupakan waktu yang kondusif untuk belajar.Ya, mungkin ketika malam mereka bisa menambah porsi belajar mereka dengan bantuan orang tua mereka. Seandainya siang digunakan untuk belajar itu merupakan waktu yang kurang kondusif. Mengapa? Setelah makan siang tentunya perut terasa kenyang, dan itu akan menyebabkan kemalasan otak kita untuk bekerja. Ketiga kemana waktu mereka bermain bersosialisasi dengan sahabat-sahabat mereka. Bukankah manusia itu makhluk sosial yang membutuhkan sebuah kehidupan bermasyarakat, saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Sandainya mereka tak terbiasa untuk bergaul dengan sahabat-sahabat mereka, bagaimana mereka bisa hidup bermasyarakat. Nah ini yang sangat ditakutkan akibatnya. Memang dengan fullday akan banyak melahirkan seorang intlek akan tetapi apakah mereka bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar…!

Bagaimana kita menyikapi hal ini. Jika kita menengok sedikit terhadap pendidikan pondok pesantren, mungkin kedua sistem tersebusipadukan. Mulai pagi hingga siang, siswa diberikan pendidikan kognitif. Sedasngkan siang hari, setelah mereka makan, sholat, waktu mereka untuk mengasah kemampuan emotional, seperti drama, menjahit, olahraga dan sebagainya. Sore harinya, merka bisa kembali le rumah mereka masing-masing, untuk bercengkrama, bersosialisasi dengan sahabat-sahabat mereka di rumah. Mungkin ini lebih efisien, dan akan menciptakan seorang cendikia, pemimpin yang mudah bersosialisai dengan masyarakat, pendek kata seseorang cendikia yang berjiwa social.

Peradaban Islam Di Barat

. Thursday, June 14, 2007
2 comments

Tidak dapat dipungkiri lagi, hampir seluruh peradaban dunia sekarang berkiblat kepada perkembangan Barat. Mulai dari gaya berpakaian, gaya bicara maupun tingkah laku. Kita yakin masyarakat dijaman kita sudah menyadari adanya pengaruh peradaban Barat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat kita lihat dari cara berbicara, berpakaian, visi kenegaraan dan hubungan antar bangsa, bahkan menghibur diripun kini orang kebanyakan menggunakan ukuran-ukuran kesenangan orang-orang Barat, lebih ironisnya lagi tidak sedikit dari kalangan umat Islam ikut-ikutan meniru tingkah laku orang Barat, hal ini disebabkan karena tidak semua orang benar-benar memahami maksud yang terselubung dari peradaban Barat tersebut.

Pada masa pra sejarah, kira-kira pada abad ke-181 Barat dengan keseriusannya meyakini diri sendiri bahwa dialah ukuran dari segala sesuatu. Bukan hanya itu, bahkan mereka juga meyakini bahwa rasionalitas yang luar biasa pasti membawanya ke puncak pengetahuan, kekuasaan dan kebahagiaan dan mereka yakin bahwa peradabannya merupakan peradaban yang paling mulia yang pasti mendominasi alam semesta.

Hukum rasionalnya piagam hak asasi manusia mendekatkan ilmiahnya yang diyakini bebas nilai semuanya itu dianggap unsur-unsur yang sangat penting dari suatu budaya-budaya yang tengah tumbuh sekarang ini dapat kita lihat peradaban Barat begitu kental dikalangan masyarakat dunia dalam aspek kehidupan mereka. mulai kebiasaan makannya, mode, kecantikan lokal bagi kaum wanita maupun pria, pengaturan waktu santai, norma-norma seksual, dan hampir semua aspek kehidupan masyarakat pada masa kini berkiblat pada peradaban barat. Bahkan mereka merasa malu kalau tidak meniru peradaban barat. Yang menjadi tolak ukur bagi semua pergaulan. Apalagi pada masalah gaya hidup. Kebanyakan orang takut dibilang kuper alias kurang pergaulan, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa peradaban barat sudah mulai menancapkan kukunya pada kulit suci ummat islam.

Melihat keadaan tersebut, sudah dapat diterka bahwa mereka telah menyadari islmlah yang akan menghancurkan peradaban Barat. Maka dari itu mereka melakukan invasi terhadap berbagai aspek kehidupan dunia Islam. Diantara inpasi terhadap berbagai aspek kehidupan dunia Islam diantara invasi Barat terhadap dunia Islam diawali dari pasca terjadinya peristiwa 11 september 2001 dengan alasan itulah barat dibawah kendali AS melakukan penyerangan terhadap dua Negara yaitu AFGHANISTAN dan IRAK peroyek besar-besaran AS untuk untuk menjadikan agenda “ pertama melawan teroris” sebagai agenda pertama dalam politik International terbukti mereka lebih menyerahkan penyerangan-penyerangan terhadap apa yang disebut dengab teroris Islam yang mereka nilai membahayakan kepentingan Barat dan AS pada umumnya serangan-serangan AS lainnya terhadap Negara-negara Islam tidak lain hanyalah ketakutan AS terhadap Islam yang akan mampu meruntuhkan perdaban mereka

Maka dari itu kita sebagai umat Islam yang menjadi sasaran utama dari kaum penghancur harus waspada terhadap berbagai sesuatu yang dilakukan secara halus. seperti Herny Martyn 3 “untuk menghancurkan umat Islam saya tidak perlu menggunakan senjata melainkan dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan akal sehat, tidaklah dengan kebencian tapi dengan cinta”. Dapat kita saksikan upaya-upaya tersebut mereka lakukan seperti usaha para penyumbang-penyumbang sejati memberikan berbagai sumbangan terhadap bencana yang melanda Indonesia seperti: Tsunami di Aceh, Gempa Bumi di Jogja, dan Lumpur Lapindo Sidoarjo dan dan babarapa tempat lainnya yang belum tersentuh tangan-tangan kedermawanan sang penyumbang sejati.

Melihat keadaan seperti ini kita tidak boleh tinggal diam, kita harus berjuang bersama-sama menghadapi problema umat Islam pada saat ini. Kita harus bisa melawan berbagai tindak-tanduk orang barat terhadap dunia Islam baik dengan fisik maupun dengan kekuatan pikiran. maka dari itu diperlukan solusi yang jitu dalam menghapi situasi ini

Dalam menghadapi kondisi seperti ini ada dua solusi yang kami tawarkan yaitu:
1. Kita luruskan barisan sebagai wujud dari pertahanan dan benteng yang menguatkan, serta tetap berpegang teguh terhadap ajaran agama Islam
2. Perlu adanya rasa bekerja keras dan kemauan yang teguh terhadap agama Islam.

Moh. Zia Ulhaq

Kontroversi Bencana Di balik Kepemimpinan SBY

. Wednesday, June 13, 2007
0 comments

Sejak SBY menjadi presidan di negeri ini, rasanya Indonesia tidak luput dari bencana. Berawal dari Tsunami, banjir, lumpur Lapindo, Adam Air, dan sebagainya. Bancana ini bersusulan dan sambung-menyambung tiada henti-hentinya. Belum selesai yang satu, datang lagi yang lain. Begitulah bencana yang memporak-porandakan negeri ini sepanjang kepemimpinan SBY. Yang dipermasalahkan sekarang adalah tentang pendapat dan perbincangan masyarakat yang timbul dari mulut-kemulut bahwasanya bencana yang terus-menerus melanda negeri Indonesia ini disebabkan kepemimpinan SBY. Memang sejak SBY menjabat sebagai presiden Republik ini terus menerus dilanda bencana karena bencana ini datang ketika kepemimpinan SBY, padahal kalau kita mau berfikir secara logis tak akan mungkin suatu bancana datang karena seorang pemimpin. Seorang pemimpin tak tahu apa-apa tentang bencana, karena bencana itu datangnya bisa jadi karena kesalahan manusia itu sendiri atau itu memang benar-benar dari alam itu sendiriContohnya seperti tsunami, itukan memang benar-benar datang dari alam, karena disebabkan oleh gempa yang terjadi di dasar laut dan bencana yang datang dari kesalahan manusia itu sendiri contohnya lapindo, adam air itu kesalahan dan kelalaian fatal yang disebabkan oleh kelalaian kerja manusia itu sendiri

Menanggapi masalah bencana ini, kalau menurut pikiran kita sebagai seorang muslim yang mempunyai kepercayaan sendiri bahwasanya bencana itu pasti datangnya dari Allah, buakan karena seorang pemimpin. Memang seorang pemimpin dalam pemikirannya lebih tinggi lebih luas serta lebih bersifat intelektual, tapi dalam bidang penanggulangan bencana, saya kira mereka kurang professional. Karena mereka manusia biasa apalagi SBY. Apabila misalnya bapak SBY tahu kalau dalam perjalanan karier kepemimpinannya akan tertimpa bencana yang terus–menerus datang , tentu beliau tidak mau jadi presiden . Karena orang pasti akan terus beranggapan bahwa bermunculannya bencana-bencana ini disebabkan oleh kepemimpinan seorang leader. Padahal dia tidak tahu-menahu tentang masalah ini. Pikiran orang-orang awam hanya tertuju pada kejelekannya saja. Padahal mereka tidak tahu apa prestasi Indonesia semenjak kepemimpinan SBY.

Jadi kita sebagai seorang pelajar dan mempunyai pemikiran yang lebih logis daripada mereka, kita harus berfikir yang lebih jernih lagi. Apalagi dalam menyikapi bencana yang terus-menerus melanda tanah air tercinta kita ini. Kita tahu bahwa bencana itu datangnya dari Yang Maha Kuasa (Allah swt), bukan karena seorang pemimpin. Kalau memang bencana datangnya dari seorang pemimpin, kenapa tidak diturunkan kepada presiden pendahulunya saja, seperti Soeharto yang merupakan pemimpin dikator Indonesia, yang masa kepemimpinannya menerapkan asas tunggal Pancasila di negeri ini, serta kesalahan-kesalahannya yang lebih fatal? Kalau kita mau berfikir sekali lagi, bisa jadi kelompok-kelompok yang menjelekkan SBY mempunyai keinginan terpendam, yakni turunnya SBY dari penerintahan, karena masalah ketidak lancaran dalam menjalankan tugas sebagai seorang presiden. Hal ini tentu merupakan siasat-siasat dari lawan-lawan politik beliau yang ingin menggantikan kedudukannya. Dan masalah bencana yang tak berujung ini merka jadikan sebagai senjata untuk mendesak SBY mundur dari kursi kepresidenan.

Melihat masyarakat Indonesia sekarang yang demi hari kian menjauh dari ajaran agama, mereka menghalalkan segala cara untuk menggapai apa yang mereka inginkan. Walau pun cara itu sangat bertentangan dengan syari`at. Mungkin ini azab dari Allah. Mengingat bagaimana kelakuan bangsa Indonesia sekarang. Dan mungkin Allah swt menurunkan cobaannya kepada kita semua untuk mengetahui kadar keimanan kita serta kesabaran kita dalam menyikapinya.


Besliansyah KWQ

Berhati-hati Dalam Berpandangan

. Tuesday, June 12, 2007
0 comments

Ketika keinginan sudah merasuki hati begitu derasnya, lambat laun hati akan menjadi budak dari keinginan itu. Seperti nafsu manusiawi ketika manusia mempunyai berbagai keinginan, entah itu yang mungkin dapat dicapai atau sebaliknya. Manusia yang berusaha Allah lah penentu segalanya. Mata, sebagai salah satu organ vital yang dimiliki manusia, mempunyai kontribusi yang besar dalam hal ini. Kita melihat tetangga sebelah membeli mobil baru, terbersit keinginan untuk menjadi seperti itu atau bahkan mampu melebihinya. Padahal mobil kemarin pun masih baru, hanya arena tidak bisa menjaga pandangan serta keimanan dan rasa syukurnya rapuh, maka nafsu menyelimuti hati. Kita bisa dianggap telah kufur dengan nikmat yang diberikan oleh Allah. Apakah penyebabnya? Tak lain adalah mata itu sendiri yang belum mampu dijaga oleh pemiliknya

Bukan hanya sebatas itu saja,hampir di seluruh aspek kehidupan mata ini selalu menyertai gerak langkah kita. Jika saja tidak pandai menyetirnya, maka akan berakibat fatal bagi kehidupan. Pernahkah anda mendengar ada seorang anak yang memberlakukan teman wanitanya secara tak senonoh. Saya yakin bagi para lover-lover multimedia, pernah mendengarnya bahkan bukan pernah lagi, melainkan sering. Sungguh ironis sekali, dan sekali lagi ini semua terjadi disebabkan karena apa? Tidak bisa menjaga pandangan.

Tidak ada salahnya apabila kita meniru perbuatan para sahabat RA (Radiallahu Anhu.red). Demikian pula dengan salah satu sahabat nabi, Abu Bakar As siddiq RA, demi menghormati kedudukan seorang wanita, beliau pernah berkata “Lebih baik aku berjalan dibelakang seekor singa, dari pada berjalan di belakang seorang wanita”. Maksudnya tiada lain, hanya agar pandangan terhadap lawan jenis tetap terjaga. Dengan begitu tidak akan menimbulkan perasa apa pun dan menjauhkan kita dari fitnah.

Namun harus diingat pula tidak semua yang diakibatkan mata berbuah hal yang bersifat negatif. Ada seorang sahabat yang hanya karena sering melihat temannya selalu belajar dan tak pernah absen shalat berjamaah lima waktu, akhirnya hatinya tergugah untuk berubah. Padahal sebelum itu dia jarang sekali menyentuh buku, apa lagi belajar. Melangkah ke masjidpun baru satu kali apa lagi shalat berjamaah, belum pernah dia rasakan. Hanya dengan melihat bisa merubah tingkah laku seseorang.

Kemudian pada akhirnya, kembali pada diri kita sendiri. Seberapa besar kelihaian mengendalikan pandangan, objek apa saja yang dijadikan tujuan, dan tak kalah penting manfaat apa yang dapat diraih setelah itu? Semua tergantung kepada kita sendiri. Dan tak lupa pertebal keimanan serta frekuensi ibadah, yang dengan itu mudah-mudahan Allah berkenan selalu menjaga diri khususnya pandangan dari hal merusak. Semoga hidayah Allah selalu mengelilingi dan menuntun kita kejalan yang benar.(Amien)


A M Suhendar KWQ

Kesalahpahaman Tentang Filsafat

. Monday, June 11, 2007
0 comments

Filsafat salah satu kata yang mungkin jarang sekali di dengar orang yang kurang wawasannya serta minatnya dalam pengembangan ideologi. Dikarenakan sempitmya pandangan sempitnya pandangan tentang hal tersebut. Seakan- akan filsafat itu suatu momok yang dapat merusak ideolgi agama yang telah ada, sehingga timbulah suatu persepsi yang intinya menyatakan bahwa filsafat itu tidak boleh bahkan haram untuk dikaji serta diperdalami. Oleh sebab itu sangat sedikit sekali orang yang sadar akan pentingnya filsafat. Hanya segelintir orang saja yang memahaminya sebagai suatu kepentingan dalam hidup beragamaMayoritas pesantren salaf Indonesia, bahkan mungkin hampir keseluruhan, mengharamkan adanya pengkajian atau pendalaman apapun yang berbau filsafat. Karena otoritas pesantren tersebut mengacu kepada pendapat Imam Ghazali yang mengatakan bahwa filsafat itu sesat, yang telah dituliskan beliau dalam bukunya “Tahfatul- Filsafah”. Sehingga pada saat itu terjadi peperangan idealisme antara tokoh filsaat seperti Ibnu Rusyd. Mereka berlomba dalam mengarang buku yang isinya saling menyudutkan lawannya.

Jika kita melihat pada realita yang ada, segala sesuatu di dunia ini tidak lepas dari pemikiran filosofis. Contohnya dalam ilmu tauhid, terdapat kata “adanya makhluk di dunia ini menunjukan adanya Tuhan”. Dalam segi kata-katanya bisa disimpulkan bahwa kalimat tersebut merupakan hasil dari pemikiran filosofis. Jadi persepsi orang salaf yang mengatakan bahwa filsafat itu menyesatkan adalah salah besar. Padahal dasar pelajaran atau bisa dibilang kurikulum yang paling dasar dalam pendidikan pesantren salafi ialah tauhid dengan kitabnya yang berjudul “Tijanu Ad-Darari”. Karangan Syekh Ibrahim Al- Bajuriyyu. Di dalamnya membahas tentang ke- Esaan Tuhan, yang di dalamnya terdapat banyak sekali atau bisa di bilang hampir keseluruhan dari pembahasannya memakai dalil aqli. Kemudian kita ketahui bersama bahwa asal atau sumber dari dalil aqli tersebut akal pikiran manusia yang merupakan inti dari proses terjadinya atau terciptannya ilmu filsafat.

Memang kita ketahui sendiri bahwa sebagian dari ahli- ahli filsafat di dunia, tidak bertuhan. Seperti Nietsheze, Descartes, dan sebagainya. Tapi hal itu terjadi karena ketika mereka berfikir, akal mereka tidak memakai konsep diin yang di paparkan oleh Fauz Noor dalam bukunya “Tapak sabda”, yaitu konsep yang memetakan bahwa kita boleh memikirkan semua hal yang ada di alam semesta ini. Akan tetapi ketika pikiran kita mengenai hal- hal yang berhubungan dengan zat Tuhan YME, kita harus tunduk dan mengalhkan pada topik yang lain. Itulah yang terjadi pada tokoh- toloh fisafat barat yang telah mashur pada zamannya sehingga kita bisa mengatakan mereka para filosof yang kehilangan arah dan tak punya tujuan serta batasan, layaknya orang yang bepergian dengan mobil tetapi tidak ada tujuan yang ingin dicapai sehingga akhirnya mobil merekapun mati karena kehabisan bensin tanpa tahu apa sebenarnya tujuan mereka bepergian dan membuat perjalanan yang mereka lakukan sangat sia-sia.

Sedangkan tokoh-tokoh filsafat Islam kita sangat jauh berbeda dengan tokoh-tokoh filsafat barat yang mempertuhankan akal dan membuang jauh- jauh dari benak mereka apa-apa yang berhubungan dengan Tuhan dikarenakan tiadanya iman yang mengakar kuat dalam hati . Karena ketika mereka memikirkan suatu masalah yang berkecamuk dalam benak mereka, dihadapinya masalah tersebut dengan pikiran yang penuh keimanan dan ketakwaan. Sehingga didapatlah solusi yang diinginkan tanpa sedikitpun meninggalkan norma-norma keagamaan dan tanpa menghilangkan unsure-unsur yang terkandung dalam masalah tersebut. Sampai akhirnya kita dapat merasakan dampak positif dari hasil pemikiran mereka. Contohnya seperti ilmu kedokteran yang dihasilkan oleh tokoh filsuf kita yakni Ibnu Sina, filsafat Islam tentang ketuhanan yang membuat pemikiran kita selalu terpaut dengan Sang Ilahi yang dihasil kan oleh Al- Kindi dan contoh-contoh lainnya yang tak mungkin tersebutkan semuanya.


Zaini abdillah KWQ

Belajar? So What Gitu Lho..!

. Sunday, June 10, 2007
0 comments

Banyak diantara kita yang menganggap bahwa belajar itu merupakan beban yang harus dipikul. Hal ini dikarenakan kesalahan kita dalam memandang dan menilai bahwa belajar itu merupakan sebuah monster (mungkin Dinosaurus, ya…!) yang bisa melahap dan mengganggu aktifitas bermain kita dengan teman-teman. Kalau kita bisa mengubah dan memperbaiki cara pandang kita (prsepsi) dan cara menilai tantang, apa sih itu belajar, kita akan mengetahui bahwa belajar itu merupakan suatu keni’matan yang lezatnya luar biasa (mungkin tak ada tandingannya). Semua tak akan lepas dari cara pandang kita, cara berfikir kita, maupun cara penilaian kita tentang sesuatu, khususnya belajar. Dan perlu kita ketahui bahwa penelitian di bidang ilmu otak berhasil mememukan bahwa pendidikan, psikoterapi dan pengalaman hidup dapat mengubah protein yang diproduksi oleh gen, sama kuatnya daengan perubahan yang dilakuakan oleh gen terhadap pola pikir kita. Dan apabila kalian semua terbiasa berpkir keliru (khususnya dalam menilai dan memandang tentang belajar) hal ini akan memaksa gen-gen yang ada di dalam otak otak kalian untuk memproduksi protein-protein yang akan memperkuat kekeliruan tersebut. So, jagalah pikiran kalian terus-menerus, ok !

Bikin Belajar Selezat Cokelat


Di dalam buku ini kak Fatar dan kak Dennis memberikan solusi kepada kita tentang cara proses belajar itu selezat dan senikmat cokelat. Kita tahu bahwa belajar itu merupakan suatu kegiatan yang sangat membosankan, menjenuhkan, dan bahkan bisa membuat kita frustasi. Semua ini disebabkan karena kita belum tahu thoriqoh belajar yang baik dan menfaat yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini Kak Fatah dan Kak Denis memberikan suatu gambaran kepada kita supaya kita senang dan semangat belajar dalam menuntut ilmu.

Pertama, kita harus mengetahui benar, apa sih itu belajar dan manfaatnya bagi aku? Belajar itu merupakan suatu proses perjalanan manusia dari suatu yang belum dia tahu menjadi tahu. Semua itu tak akan pernah terjadi apabila kita masih belum mengetahui dan mengenal tentang hakekat belajar itu sendiri, tak kenal maka tak sayang. So, sebelum kita memulai belajar kita harus mengetahui apa itu belajar dan apa manfa’at yang kita peroleh ketika belajar dibandingkan dengan ketika tidak belajar (introspeksi diri).

Kedua, semangat (spirit). Tanpa semangat kita tidak akan mungkin belajar secara konsisten dan terarah secara baik. Karena semangat merupakan kunci sukses kita dalam belajar. Tapi sebagian dari kita yang semangat belajarnya turun (terutama bagi anak-anak yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi) dikarenakan minimnya biaya untuk kuliah. Semua itu tidak akan pernah terjadi apabila kita mempunyai semangat yang besar. Imam Syafi’i pernah berkata bahwa : “tidaklah penting dalam berburu ilmu, kecuali siapa yang mencari dalam kondisi kekurangan.”

Ketiga, mempunyai impian yang besar atau cita-cita yang besar untuk belajar. Karena belajar tanpa impian itu non sense. Apapun impian kita, tak peduli setinggi langit atau sehebat apapun, semunya bermuara pada satu jua, yaitu keberhasilan di akhirat kelak.

Semua tips-tips yang disajikan dalam buku tadi merupakan salah satu unsur kelebihan yang dikandungnya selain ilustrasi dan gambar yang ada pada buku tersebut. Tapi kalau kita amati lagi , kita akan mengetahui bahwa buku tersebut memiliki beberapa kekurangan, di antaranya yang paling menonjol adalah penggunaan kata-katanya yang sulit dipahami (misal, seyuk: orange) dan tidak sesuai dengan EYD yang digunakan di Indonesia. Walaupun sasarannya itu anak kalangan remaja


M. Yani KWQ

Irsyad Manji; Kritisisme Dalam Beragama

. Saturday, June 9, 2007
0 comments

Buku The Troble With Islam Today, karangan Irsyad Manji yang dalam edisi arabnya diberi judul Muslimun Wa Ahraar mengajarkan kritis terhadap segala sesuatu bahkan hal-hal yang kadang menurut kita adalah tabu, seperti agama misalnya. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari buku ini, hanya buku catatan harian seperti kebanyakan buku catatan harian yang kita miliki. Namun dari catatan inilah kita bisa menemukan kritisisme seorang muslim terhadap agamanya sendiri. Pada fihris pertama kita bisa melihat pemberontakan dia terhadap al-qura’an. Dia mempertanyakan universalitas al-qur’an sebagai the first epistimologic setelah hadits. Kemudian dia juga menyinggung isu gender. Adapun sebab timbulnya pertanyaan pemberontakan tentang al-qura’an darinya adalah lebih dikarenakan posisinya yang tidak paham bahasa arab yang menyebabkan dia tidak bisa memahami al-qur’an baik tersirat maupun tersurat, dari sinilah dia mengungkapkan, kenapa al-qur’an tidak disalin saja kedalam bahasa dimana orang muslim tinggal seperti halnya dia yang mengalami kesulitan dalam memahami al-qu’an. Adapun masalah isu gender, karena_maaf harus menggunakan kata-kata ini_dia mengalami kelainan sex, irsyad adalah lesbian. Tidak mengherankan bila dia mempertanyakan kenapa perempuan tidak bisa jadi imam sholat. Dan masih banyak lagi pertanyaan pemberontakan lainya dalam buku tersbut. Lebih lengnkapnya baca sendiri.

Islam sebagai din dan islam sebagai pemahaman memang menyisakan masalah tersendiri pada pemeluknya. Bila menganggap islam sebagai din maka kita harus tunduk dan patuh terhadap teks termaktub, tidak boleh mbalelo apalagi neko-neko. Tapi yang pasti hidup ini terus berjalan searah dengan berjalanya waktu, dimana dalam perjalananya pasti ada saja hal-hal yang datang diluar dugaan dengan segala varianya dan membutuhkan right of problem solving. Pada tataran inilah kita sering dibenturkan pada realitas teks dan konteks. Ketika teks dan kontek seirama tidak akan pernah jadi masalah, yan jadi masalah adalah saat keduanya saling membelakangi, disinilah diperlukannya islam sebagai pemahaman agar masalah kemanusiaan tetap terakomodir.

Sikap seperti Irsyad Manji perlu dikembangkan_asalkan kritisisme itu konstruktif_karena pada hakekatnya tidak ada yang tidak bisa dipertanyakan. Tetapi kita juga tidak bisa sepenuhnya menjadi seorang irsyad, sebab kita juga harus tahu diri, siapa kita dan siapa Dia, kita juga harus sadar ada hal yang tidak patut untuk terus dan selalu dipertanyakan, apalagi bila kritisisme itu hanya mengedepankan ego dan kepentingan pribadi yang ujung-ujungnya hanya berakhir pada individual satisfy and independency.


Abd Hamid

Jika Agama Sebagai Boneka

. Friday, June 8, 2007
0 comments

Banyak orang mengatakan bahwa agama adalah suatu perjanjian yang mengingat. Dengan pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa agama hadir sebagai pemekang dari gerak sebagai bentuk Eksklusivisme terhadap manusia. Mahluk yang menghendaki dinamika oleh perkembangan.Kesunyian agama sebagai sebuah petunyjuk agama di lihat dari berbagai sisinya mempunyai keunikan tersendiri sehingga cakupan yang ada didalamnya secara global mempunyai tak terbatas. Ada sebagian ilmuan mempunyai pengertian bahwa agama adlah bagian-bagian dari etika, namun itu pun tidak bisa menyjadi setandar yang pas untuk sebuah kemajuan tentang sebuah agama.

Dalam banyak ajaran agama yang dikandung disetiap agama semuanya mempunyai kesamaan masing-masing menyampai kebenaran. Dalam hal ini tuhanlah dalam agama sebagai suatu yang sangat absolut. Hal ini telah membuktikan bahwa tuhan itu adalah sumber dari segala sumber. Tuhan orang islam disebut Allah yang maha kuasa dibandingkan tuhan lainya, yang dianut oleh beberapa agama di dunia. Kita mempunyai keimanan dalam kehidupan kita. Begitu pula keislaman dalam hidup kita yang diterapkan rukun- rukun, dan sunnah-sunnah. Adapun rukun-rukun tersebut mempunyai dua bagian, yaitu: rukun islam dan rukun Iman. Dan begitu pula hal sebaliknya sunnah-sunnah itu menjadi patokan yang perlu kita jadikan motifasi diri.

Tak jarang agama kita yaitu agam islam, mudah di jadikan bahan-bahanan kaum yahudi telah mengincar agama islam sejak dulu. Kita simak dari kejadian perang contonya: di iraq mungkin itu kejadian yang bikin gempar kaum islam di dunia. segala macam tindak kekerasan dan pembunuhan oleh kaum yahudi telah merobek mimpi-mimpi pada setiap anak beserta orang tua yang mendidik anak-anak menuju jalan islam dengan segala aspek-aspek ketentuan –ketentuan agama islam.

Jadi rangkuman dari keterangan diatas bahwa agama islam sudah menjadi hal tipu daya agama keristen atau disebut keristenisasi, bila Indonesia menjadi sasaran kaum yahudi apakah kita bisa menjadikan benteng yang tidak bisa dirobohkan dan dihancurkan walaupun Negara kita tidak secanggih Negara adikuasa?

Hal-hal yang terpapar diatas adalah sebagian dari peristitusi yang mana halnya agama di dunia sudah menjadi boneka yang di permainkan. Ternyata banyak kalangan islam Indonesia sudah melenceng dari agama itu. Berbagai macam pelencengan-pelencengan sama hal nya dengan mempermainkan agama itu sendiri ada beberapa pelencengan dalam agama islam yaitu agama yang senantiasa merubah menjadi beberapa golongan. Contohnya islam yang di jadikan sebagai kartu pengenal yang di sebut dengan islam KTP dan ada pula islam membuat sebuah benda-benda yang di sembah diantaranya batu, matahari dan patung yaitu yang dinamakan islam kare.

Pada era globalisasi ini peradaban dunia sudah begitu canggih dan serba menggunakan alat –alat yang sangat handal. Ada beberapa yang perlu digaris bawahi bahwa agama bukan untuk dijadikan bahan yang bisa dijadikan alat, hal ini bisa menjadi perusak terhadap agamanya.


Moch.Zia ulhaq

Trik Evolusi Jepang

. Thursday, June 7, 2007
1 comments

Ketika Jepang dilanda kehancuran kota Hiroshima dan Nagasaki, pada tanggal 8-9 Agustus 1945oleh AS melalui melalui 2 granat yang di kirim dari Negrinya. Rakyat jepang terporak- poranda akibat peristiwa tersebut, dari bangunan, tanaman, hewan dan sebaaginyaLantas, sikap mereka dengan peristiwa tersebut. Mereka yidak hanya memebisu dan merengak- rengek terhadap pemeritah Jepang. Melainkan menanyakan pada jati diri diri masing- masing,”kenapa ini bisa terjadi, dan bagaimana keturunana hidup mereka, agar tidak hidup seperti ini”. Pernyataan ini tertanam kokoh di dalam hati mereka masing- masing.

Hingga dalam waktu yang singakat, tampaklah kehidupan megah dan indah, dengan terwujudnya kualitas dan kuantitasa yang memadai. Apalgi sudah sekian lama
Jepangmendapatkan kursi emas bersamaan Negri Cina dalam hal elktronik se- Asia.
Itu terjadi, sebab Jepang mempunyai 3 landasan dalm hidupnya. Yaitu sebagai berikut:
1. kesadaran knci segala hal, kesadaran itu berasal dari kata sadar yang berarti intropeksi diri, sedangkan ke-an merupakan imbuhan yang menunyjukan tempat. Jadi kesadaran adalah intropeksi diri sesua dengan tempat. Dari situlah rakyat jepang tidak berupa natives atau tidak mempuyai ide-ide, akhirnya social mereka sangat kukuh dan teguh
2. kesusahan itu sukses ini diambil dari pepatah jepang” ku wa raku no tani( kesusahan penyebab kesenangan)” kesusahan iu tidak lepas dari manusiawi, jadi rakyat jepang sangat perihatin manusia yang nengidamkan “berakit–rakit kita dahulu, berenang-renag ketepian ( bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian )” tidak heran jika rakyat jika rakyat jepang maksimal(85%)
3. waktu adalah uang, kita etahui waktu sehari semalam 24 jam dengan perubahan siang dan malam. Tentunya aktipitas kita tidak akan lepas dari waktu yang untuk mengatur segala aktipitas. Agar waktu tidak sia-sia belaka, sebagai mana kita ketahui THE TIME IS MONY ( simbol Eropa ), atau istilah arabnya Al-Waqtu ka-Asaifi. kedua simbol itu dimiliki oleh jepang” Toke wa Kane nari “ yang merupakan ada unsur tertentu yaitu jangan membuang waktu sia-sia yang tidak menghasilkan kemanfaatan pada diri kita terutama pada jepang, para pelajar dan pengusaha yang ditekan tidak melupakan simbol diatas. Sebab semuanya baik uang atau pejuang bangsa berasal dari pelajar dan pengusaha yang mendominasi kemajuan bangsa.

Tiga landasan itulah peroduk-peroduk jepang meluap kebanggaan dengan hasil jerih payah. Karena tiga landasan itu sudah menjadi pegangan rakyat jepang

Menjaga Pandangan Mata

.
0 comments

Ketika keinginan sudah merasuki hati begitu derasnya, lambat laun hati akan menjadi budak dari keinginan itu. Berupa nafsu.Manusiawi seumpama manusia mempunyai berbagai keinginan, entah itu yang mungkin dapat dicapai atau sebaliknya.Hasilnya kembali pada Allah.Mata,sebagai salah satu organ vital yang dimiliki manusia, mempunyai kontribusi yang besar dalam hal ini.Kita melihat tetangga sebelah membeli mobil baru, terbersit keinginan untuk seperti itu. Padahal mobil kemarin pun masih baru, hanya arena tidak bisa menjaga pandangan serta keimanan dan rasa syukurnya rapuh maka nafsu menyelimuti hati.Kita bisa dianggap telah kufur nikmat oleh Allah.Penyebabnya apa? Tak lain adalah mata itu sendairi.

Bukan hanya sebatas itu saja,hampir diseluruh aspek kehidupan mata ini selalu menyertai gerak langkah kita.Jika saja tidak pandai menyetirnya,maka akan berakibat fatal bagi kehidupan.Pernahkah anda mendengar ada seorang anak yang memberlakukan teman wanitanya secara tak senonoh. Saya yakin bagi para lover-lover multimedia, pernah mendengarnya bahkan bukan pernah lagi, melainkan sering. Sungguh ironis sekali, dan sekali lagi ini semua terjadi karena sebab apa? Tidak bisa menjaga pandangan.

Tidak ada salahnya apabila kita meniru perbuatan para sahabat RA. Demikian pula dengan salah satu sahabat nabi, Abu Bakar As siddiq RA.Demi menghormati kedudukan seorang wanita, beliau pernah berkata “Lebih baik aku berjalan dibelakang seekor singa, dari pada berjalan dibelakang seorang wanita”.Maksudnya tiada lain , hanya agar pandangan terhadap lawan jenis tetap terjaga. Dengan begitu tidak akan menimbulkan sesuatu rasa apa pun.

Namun harus diingat pula tidak semua yang diakibatkan mata berbuah hal yang bersifat negative. Ada seorang sahabat yang hanya karena sering melihat temannya selalu belajar dan tak pernah absen shalat berjamaah lima waktu, akhirnya hatinya tergugah untuk berubah. Padahal sebelum itu dia jarang sekali menyentuh buku, apa lagi belajar. Melangkah dimasjid pun baru satu kali apa lagi shalat berjamaahnya belum pernah. Hanya dengan melihat bisa merubah tingkah laku seseorang.

Kemudian pada akhirnya, kembali pada diri kita sendiri. Seberapa besar kelihaian mengendalikan pandangan, objek apa saja yang dijadikan tujuan, dan tak kalah penting manfaat apa yang dapat diraih setelah itu, Terserah kepada kita sendiri. Dan tak lupa pertebal keimanan serta frekuensi ibadah, yang dengan itu mudah-mudahan Allah berkenan selalu menjaga diri khususnya pandangan dari hal merusak. Semoga hidayah Allah selalu mengelilingi dan menuntun kita kejalan yang benar.(Amien)


A M Suhendar

Peranan Pendidikan Islam Dalam Menumbuhkan Kecerdasan Emosional

. Wednesday, June 6, 2007
0 comments

Dunia pendidikan saat ini sering dikritik oleh measyarakat disebabkan adanya sikap yang kurang terpuji dari sejumlah pelajar. Seperti terlibat, tauran antar pelajar, kriminal, penyimpangan seksual, penyalahgunaan obat-obat terlarang dll. Perbuatan yang kurang terpuji ini benar-benar meresahkan masyarakat dan aparat keamananDitambah lagi dengan peningkatan jumlah pengangguran yang pada umumnya tamatan pendidikan. Salah satu penyebabnya, karena dunia pendidikan selama ini hanya membina kecerdasan intlektual, wawasan, dan keterampilan semata Tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional.

Menurut Daniel quelmen “kecerdasan emosional tidak hanya berrsifat ramah tetapi juga sikap tegas. Kecerdasan emosional bukan untuk menunjukan perasaan melainkan mengubah perasaan sehingga dapat terekspresi secara tepat dan efektif”.
Kecerdasan emosional adalah kecerdasan dan ketepatan seseorang dalam mengolah diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain di sekelilingnya. Seperti adaptasi, komunikasi, kerjasama dan lain-lain. Oleh karena itu kecerdasan emosional amat sangat dibutuhakan dalam menopang kelangsungan dan kesuksesan manusia dalam menjalani tugasnya.

Galemen misalnya, mengatakan “bahwa peranan IQ dalm keberhasilan dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosional. Dalam menentukan peraihan prestasi puncak dalam pekerjaan para pelatihan pekerjaan ini mengatakan bahwa kecerdasan emosional harus menjadi alasan yang mendasar dalam setiap manejemen. Hal ini bisa dimklumi mengingat dengan kecerdasan esmosional seseorang memungkinkan dapat bekerjasama membangun kemitraan yang saling menguntungkan orang lain, dengan demikian semakin terbuka bebagai kemungkinan yang dapat membawa kesuksesan. Dalm kaitan itu kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang sukses dalam studinya dengan menjadi juara KLS atau meraih prestasi angka nilai yang tinggi dalam ujian di kls, belum dapt menjamin kesuksesannya dalam bidang usaha manakala tidak diimbangi dengan kecerdasan emosional.

Dalam pendidikan islam berbagai ciri yang menanadai kecerdasan emosional tersebut terdapat dalam pendidikan akhlaq, para pakar pendidikan islam setuju bahwa tujuan pendidikan islam adalh membina pribad yang berakhlaq. Yusuf Al-qhardawi misalnya mengatakan “bahwa pendidikan islam adalh pendidikan manusia seutuhnya adalah akal, hati, rohani, dan jasmaninya, akhlaq, dan ketrampilannya. Oleh karena itu pendidikan islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalm keadaan damai maupun perang dan menyiapakn untuk menghadapi masyarakat dengan kebaikan atau kejahtannya, manis dan pahitnya. Pendidika islam disamping membina kecerdasan intllektual ketramplan dan raganya, juga membina jiwa dan hati nuraninya dan mengisinya dengan akhlaqa yang terpuji seperti ikhlas, jujur, kasih saying, tolong-menolong, bersahabat, silaturahmi, berkomuniikasi, dan lain-lain. Ajaran akhlaq tersebut sering diulang-ulang dalam berbagai kesempatan kajian islam mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi.

Namu masalahnya sekarang adalh banwa akhlaq yang demikian itu sudah amat sulit, ditumbuhkan pada pendidikan umumnya, termasuk pendidikan islam cendrung berhasil mebina kecerdasan intlektual dan ketrampilan. Dan kurang berhasil menumbuhkan kecerdasan emosional dikarenakan beberapa sebab:
1. pendidikan yang dislenggarakan saat in cendrung hnya pada pengajaran dan bukan pada pendidikan, padahal diantara pengajaran dan pendidikan dapat diintergrasikan.
2. pendidikan saat ini sudah berubah dari oeientasi nilai dan idealisme yang berjangka panjang kepada yang bersifat matrealisme dan individualisme.
3. metode pendidikan yan gditerapkan tidak bertolak dari pandanganyang melihat amanusia sebagai makhluk yang paling mulia dan memiliki potensi yang bukan hanya potensi intlektualtetapi juga potensi emosional.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakan bahwa pembinaan kecerdasan emosional merupakan bagian dari potensi yang dimiliki manusia harus dilakukan oleh dunia pendidkan sehingga para lulusan pendidikan dapat meraih kesuksesan dalaam hidupnya, pembinaan kecerdasan emosional tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan dalam islam yang pada intinya embentuk manusa yang berakhlaq. Yaitu manusia yang dapat behubungan, bekomunikasi, dan seterusnya, baik dengan Allah, dengan manusia, dengan alam, dan sekalian makhlukk tuhan lainnya, kecuali setan dan iblis. Berbagai kekurangan dalm pendidikan islam mulai dari orientasi kurkulum, metode, saraana dan prasarana, dan lain-lain. Harus diperbaiki sesua denga tuntunan zaman dan bertolak dari pandangan manusia sebagai makhlauk yang harus dihormati dan dikembangkan seluruh potensinya secara seimbang, pendidikan yang demikian itualh diharpakan dapt memberikan sumbangan bag pembinaan kecerdasan emosional.


Shohib

Mencari Ilmu Nafi'

.
0 comments

Suatu yang paling penting bagi manusia yang hidup di dunia ini adalah kebahagiaan.Yang mana dengan mendapatkan kebahagiaan itu, manusia akan merasakan kepuasan dan ketentraman. Akan tetapi banyak diantara mereka yang belum bisa menyadari arti hidup yang sesungguhnya di dunia ini. Dan kita ketahui bahwasannya sebagian dari mereka tidaklah hanya memginginkan kebahagiaan lahiriyah semata, disamping itu bahkan mereka juga menginginkan kebahagiaan batiniyahMaka dari itulah,sebagian besar dari mereka juga banyak yang menyadari hal tersebut, dan mereka mengimplemasikan dalam realita kehidupannya melalui anak anak mereka, sebagian dari anak mereka di didik dan di masukkan ke pondok pesantren, ada juga yang memasukkan anak mereka ke musholla atau langgar langgar kecil yang ada di sekitar rumah mereka, dengan alasan ekonomi mereka di bawah rata rata.

Berkat dorongan orang tua, mereka sebagian dari mereka banyak yang sukses dalam pendidikannya. Bahkan sampai mendapatkan title dan pekerjaan yang layak bagi mereka, juga upah atau gaji yang mereka dapat bisa dikatakan di atas rata rata. Dan mereka juga menyempatkan untuk mengamalkan ilmu yang mereka peroleh sejak di pesantren, dengan cara mengajar anak- anak mengaji dan lain sebagainya. Akan tetapi disamping itu juga ada sebagian dari mereka yang sepulangnya dari pesantren justru berbalik menjadi liar, bahkan sampai menjadi sampah masyarakat, dikarenakan ilmu yang mereka peroleh belum bisa dikatakan nafi’dan mereka belum bisa mengamalkan ilmunya serta jarang sekali berbuat kebajikan. Akibat dari hal tersebut adalah terletak pada kesalahan niat mereka yang semula, juga kesalahan cara belajar mereka dan cara mengamalkan ilmu yang mereka peroleh. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam syafi’i “ilmu itu bagaikan binatang buruan, dan tulisan atau catatan itu adalah tali pengikatnya. Maka ikatlah dengan tali yang kuat”.

Dari pernyataan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwasannya kalau kita mendapatkan ilmu walaupun sedikit, kita harus mengikatnya dengan tulisan atau catatan. Jadi kita bisa mengingat apa yang telah kita dapatkan. Dan juga sebagaimana yang telah dikatakan KH Moh. Idris jauhari bahwasanya “ilmu nafi’ itu adalah ilmu yang terhujam di dalam hati,dan tidak akan bisa terhujam ilmu tersebut di dalam hati kecuali melekat di dalam otak. Dan tidak bisa melekat dalam otak, kalau kita tidak mengulang ulang atau mengingat kembali”. Jadi cara untuk mengulang ilmu tersebut yaitu dengan cara melihat apa yang telah kita ikat atau tulis di dalam buku atau kaskul kita. Lalu bagaimana kita akan bisa mengulang kalau tidak ada yang bisa kita lihat atau kita baca.

Dan mendapatkan ilmu yang nafi’itu sangatlah sulit, apabila kita datang ke pesantren ini hanya untuk makan dan tidur saja. Akan tetapi mencari dan mendapatkan ilmu nafi’ tersebut bisa dikatakan sangatlah mudah, apabila kita memang benar benar ikhlas dan bersungguh sungguh untuk berijtihad demi mendapatkan ilmu nafi’yang selama ini kita inginkan. Dan tidaklah lupa pula selain dari itu kita juga harus tawadhu’dan banyak berdo’a kepada Allah S.W.T, agar kita di mudahkan dan di ridloi dalam segala hal.Amien….ya Robbal ‘alamien.

Zainuri

MUBES Waraal Qitor 2007

. Tuesday, June 5, 2007
0 comments

Tempat : Ta’mir Masjid Jami’ Al-Amien Prenduan
Waktu : Ba’da Nida’ Naum (± 21.00 WIB) s/d selesai
Yang Hadir : Agus Salim, Adam Nur Rahman, Zahirul Alim, Beri Prima, A. Yani
Yang tidak hadir: Lutfi Qomari, Masruhin, Mustofa
Dipimpin oleh : Agus Salim• Kendala-kendala yang selama ini dihadapi:
1. Loyalitas
2. Komitmen
3. Akomodasi
*Meski sebenarnya masih ada beberapa lagi kendala, ternyata ujung-ujungnya adalah pada tiga poin di atas.

• Beberapa solusi yang diusulkan:
1. Seluruh anggota KWQ dikumpulkan dan sebisa mungkin intensitas kumpul barengnya ditambah
2. Setiap langkah kita harus ada planning, controling, evaluating dan reporting.
3. Lebih memperhatikan lagi anggotanya, terutama dari atas (pembimbing dan pengurus) ke bawah (pengurus ataupun anggota)

• Nama-nama Balon (bakal calon) Ketua KWQ:
1. Zaini Abdillah
2. M. Iqbal
3. Jalaluddin

• Regenerasi KWQ:
1. Diambil dari anak kelas I Intensif dan kelas II, karena shof kelas III dan kelas I _dalam pandangan kami; anggota musyawarah_ tidak memiliki gairah ke kajian.
2. Kuota anggota baru sebanyak 10 orang, dengan cara rekrutmen bukan melalui pengumuman.

• Materi/Silabus KWQ selama satu Mid semester ini:
1. Quantum Reading. (Diharapkan dari materi ini, akan tertanam dalam jiwa anggota kecintaan terhadap membaca buku. Karena selama ini “kebiasaan membaca” kurang melekat dalam jiwa anggota termasuk “oknum” pengurus).
2. Buku standrat yang akan kita pakai adalah buku dengan judul “Quantum Reading” karya Hernowo. Dengan pertimbangan bahasanya yang ringan dan pas untuk anak remaja.
3. Dan disarankan kepada seluruh anggota untuk mencari referensi yang lain. Misalnya, “Andai Buku Sepotong Pizza” dan lain-lain.
4. Dari kegiatan ini santri akan dibagi per kelompok yang terdiri dari beberapa orang pengurus dan beberapa orang anggota.
5. Untuk materi pertama kelompok satu. Dan setiap orang mendapat bagian satu bab pembahasan.
6. Tugas yang harus dikerjakan oleh anggota adalah
 Membaca buku
 Mengkaji dan kemudian menyusun makalah dari apa yang telah dibaca
 Presentasi dan diskusi
 Menulis tentang apa yang telah kita diskusikan untuk kemudian kita terbitkan (berlaku bagi seluruh anggota)
7. Sebelum pelaksanaan kegiatan ini, terlebih dahulu akan dilaksankan breifing yang akan diisi oleh pembimbing atau santri senior.

STRUKTUR KEPENGURUSAN KWQ 2007

Pelindung : Allah Swt.
Pembina : Pusdilam Al-Amien Prenduan
Pembimbing : Ust. Agus Salim
Redaktur Senior : Adam Nurrrahman
: Zahirul Alim
: A. Muzakki
: Beri Prima
: Lutfi Qomari
: A. Yani
: Syahruts Tsani
: Kuryanto
: Masruhin
: Mustofa
Ketua : Zaini Abdillah
Wakil Ketua : M. Rois
Sekretaris : M. Iqbal
Bendahara : A. Fadhil

Divisi-divisi
- Keilmuan : Ade S.
: Jalaluddin
- Penerbitan : Besliansyah
: A. Zainuri
- Kedisiplinan : Asep
: Herman
- Kebersihan : Zaiul Haq
: Deki
: Shohibul Anam

Menyampaikan Ideologi Lewat Sastra

.
1 comments


Mencari definisi sastra sama sulitnya dengan mencari jarum jatuh di tumpukan jerami. Permasalahanya karena dari dulu sampai sekarang belum ada kata sepakat mengenai definisi itu dari pakar dan ahli sastra. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono selaku presiden sastra Indonesia yang juga mantan dekan fakultas sastra Universtas Indonesia yang kini berubah menjadi fakultas budaya mendefinisikan sastra sebagai sebuah kegiatan berbahasa. Dia menyebutkan bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra Jepang adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Jepang, begitu seterusnya. Dari pengertian ini berarti sastra adalah sebuah karya dalam bentuk tulisan. Dengan demikian definisi yang diungkpakan oleh Djoko Damono sama seperti definisi kata sastra yang terdapat dalam KBBI, sastra berarti huruf, gaya bahasa dan tulisan. Begitu juga bila ditelisik dari asal kata sastra itu sendiri (sangsekerta) maka sastra berarti huruf , bahasa dan karya. Tak salah bila kemudian ada yang bilang bahwa sastra adalah cerminan ide dalam bentuk tulisan atau karyaSeperti halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Nio Joe Lan, ia mengemukakan bahwa sastra adalah pencerminan segala apa yang berada dalam sanubari manusia. Tiap hasil sastra sebenarnya tak lain dan tak bukan melainkan sebuah petunjuk dari sesuatu yang berada dalam lubuk hati manusia. Tiap sajak pada hakekatnya adalah perwujudan keinginan, pengharapan, khayalan, dan idam-idaman semua umat manusia. Makanya membaca novel, sajak, dan sandiwara mempunyai dua arti. Pertama, membaca novel, sajak, dan sandiwara untuk melewati waktu yang luang, tetapi dengan berbuat demikian, dengan cara tak disadari kita sebenarnya mengambil tahu dunia pikiran orang-orang yang dikisahkan dan keadaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, kita membaca sebuah hasil karya sastra bukan sebagai pelewat waktu yang lapang melainkan juga oleh karena kita secara sadar memang ingin mengetahui apa yang terjadi dengan seseorang atau beberapa orang tertentu. Senada dengan diatas, aliran formalisme Rusia juga sependapat bila sastra diartikan demikian, malahan mereka mengatakan bahwa sastra adalah pembantu khusus bahasa.
Pun ada yang mengartikan sastra adalah sejarah yang diromanisasikan, layaknya Nio Joe Lan dan aliran formalisme rusia. Tak salah bila selama ini konsepsi pikiran kita selalu berkata bahwa sastra adalah yang indah dan romantis. Bila demikian adanya maka aliran ini bertentangan dengan fungsi sastra itu sebagai pencatat sejarah. Sebab karya sastra tidak hanya terbatas pada keindahan dan romantisme belaka, semisal kitab negarakartagama, arthasastra, dan dharmasastra. Padahala ketiga kitab itu adalah kitab-undang-undang, bahkan al-Qur’an dan hadits.
Seiring dengan berjalannya waktu maka alat atau wahana untuk mengaktualisasikan segala cerminan ide dan pikiran tidak hanya terbatas pada bahasa yang direfleksikan dengan tulisan saja, melainkan juga bisa melalui alat atau media yang lainya. Semisal cerminan ide direfleksikan dalam bentuk gambar (visual); lukisan karikatur, ilustrasi puisi, foto dan lain sebagainya, suara (audio); sandiwara dan cerita. Atau bisa juga audio-visual layaknya sebuah film. Bila sudah demikian, apakah masih layak jika definisi sastra diartikan sebagai cerminan ide dalam bentuk tulisan? Jawabannya ada benak masing-masing. Dari beberapa pengertian diatas, penulis lebih suka memaknai sastra sebagai ekspresi terhadap sesuatu dengan atau tidak memakai tulisan, tapi bahasa(dalam arti luas). Seperti definsi yang diungkapkan Enrique Anderson Imbert dalam muqadimah Manahiju al-naqd al-adabi. Intinya sastra bagi penulis adalah ekspresi bahasa sebagai perantara.

Dua Unsur Pembangun Sastra
Mahmud Tsanie dalam buku Bahasa Indonesia-nya menjelaskan bahwa unsur yang mempengaruhi sastra banyak sekali. Bisa dari budaya dimana sastrawan itu tinggal yang kemudian berpengaruh terhadap karya sastranya. Bisa juga karena kondisi geografi yang kemudian memberi corak sastra. Atau bisa jadi karena kondisi politik. Namun bisa jadi unsur yang mempengaruhi adalah pola pandang, ideology, pemahaman, dan keyakinan yang dianut. Dari beberapa unsur tersebut bisa dirampingkan menjadi dua unsur yakni unsur ekstrinsik sastra dan unsur intrinsik sastra. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Enrique Anderson Imbert, bahwa unsur pembangun sastra ada dua, khariji (ekstrinsik) dan dakhili(intrinsik). Dengan unsur yang membangun tersebut kemudian lahirlah apa yang dinamakan aliran-aliran sastra. Di Indonesia kita mengenal aliran realisme, romantisme, surealisme dan lain sebagainya. Di Rusia kita tahu aliran marxisme, formalisme, dan modernisme. Aliran-aliran inilah yang kemudian membawa ideologinya masing-masing. Seperti aliran marxisme, ideology yang dibawa dan diusung dalam karya-karyanya adalah hal-hal yang berbau sosial. Beda dengan aliran formalisme, maka hal yang diusung dan dijunjung tinggi dalam karya-karyanya adalah keindahan bahasa. Tokoh seperti ini bisa dinisbatkan kepada Hamzah Fansuri yang mana sajak-sajaknya selalu mengikuti kaidah dan rima akhir. Selain itu, dalam sastra modern yang diwakili oleh Shake Spear lebih menekankan pada makna bahasa ketimbang keindahan struktur kata. Sastrawan Indonesia yang bisa dikategorikan kedalam aliran modernisme adalah W.S Rendra. Dengan demikian bisa dimaklumi jika dikemudian ada macam dan corak warna sastra yang begitu banyaknya. Tidak ada yang bisa disalahkan, karena apa yang mereka perbuat berdasarkan apa yang mempengaruhi mereka, baik terpengaruh dari unsur intrinsik atau ekstrinsik. Yang pasti kedua-duanya sangat berpengaruh dalam sebuah karya sastra.
Sastrawan dalam satu waktu tertentu biasa dipanggil pujangga. Ini semua disebabkana karena pengaruh Plato yang sangat dominan. Mereka dengan seenaknya memperkosa bahasa secara kreatif. Menggunakannya sesuai dengan apa yang jadi imaginasi mereka. Kadang bahasa yang menurut kita adalah bahasa yang sudah jelas makna dan maksudnya, ditangan para sastrawan bisa digubah dengan penafsiran sastrawan itu sendiri dengan indah. Tak berlebihan bila sastrawan kaliber Jamal D. Rahman dan Ahmadi Thoha mengatakan bahwa tingkat paling artistik sebuah karya sastra bila bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sulit dimengerti oleh pembaca. Kalaupun bisa mencerna apa maksud yang terkandung didalamnya harus mengerutkan kening terlebih dahulu guna mendalami makna apa yang dimaksud oleh penulis. Hal yang demikian itu sah-sah saja karena sebagai sistem komunikasi dan alat ekspresi bahasa antara lain memiliki sifat arbitrer (manasuka). Ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Plato, “keindahan mutlak hanya terdapat pada tingkat dunia ide-ide yang mengatasi dunia ilahi, yang tidak langsung terjangkau oleh manusia tetapi paling banter didekati lewat pemikiran.” Sebagai contoh kasus adalah sajaknya Muchtar Lubis yang berjudul harimau. Semua orang pasti akan mendefinisikan kata “harimau” sebagai seekor hewan. Tapi siapa yang menyangka bila kata harimau di situ berarti manusia.
Dalam dunia sastra, wilayah sastra dibagi menjadi dua. Pertama, wilayah ekprsesif yang bergerak dalam bidang ekpresi. Kedua, wilayah aprsesiatif yang bergerak dalam bidang apresiasi sastra. Biasanya yang bergerak dalam wilayah kedua ini adalah penikmat dan pemerhati sastra. Lain halnya dengan yang bergerak dalam wilayah ekspresi. Biasanya mereka yang bergerak dalam wilayah ekspresi adalah pekerja sastra sekaligus penikmat. Pada tataran ekpresi, unsur pembangun yang paling menonjol dalam karakter karya sastra adalah unsur intrinsik yang dalam hal ini ideologi, bukan berarti menafikan yang lain, tapi memang begitu kenyataanya. Dalam banyak hal, sastrawan yang dipengaruhi oleh unsur intrinsik (ideologi) cenderung menggunakan sastra sebagai “kendaraan kebenaran” yang mereka anut dan mengesampingkan yang lain. Beda dengan sastrawan yang memang memfungsikan sastra sebagai “pernyataan suatu perasaan tergerak.”

Islamisme Sastra
Adanya hari ini karena adanya hari kemarin, adanya kosong karena adanya penuh, dan adanya pemikiran hari ini adalah karena adanya pemikiran hari kemarin. Seperti telah disinggung diatas bahwa unsur intrisnsik (ideologi) sangat berpengaruh terhadap sebuah karya sastra. Seperti halnya sejarah telah mengatakan. Kalau dibelahan dunia lain kita mengenal sastrawan humanisme, sosialisme, romantisme, dan seterusnya maka dalam beberapa tahun terakhir ini muncul sekte sastra baru beridiologi ajaran agama (Islam). Dan sekarang ini sedang marak-maraknya, khususnya ditanah air. Sebenarnya bila mau ditelisik agak jauh maka kita akan menemukan beberapa hubungan antara agama dan sastra seperti dikatakan Hamdan dalam esai sastranya di Cybersastra. Dia memaparkan hubungan antara agama dan sastra sebagai berikut. Hubungan pertama yang paling jelas antara sastra dan agama adalah kenyataan bahwa banyak karya sastra yang merupakan ungkapan penghayatan seseorang terhadap Tuhan. Hubungan yang kedua adalah penggunaan simbol-simbol berupa kosakata yang sudah umum dipakai dalam kehidupan beragama sebagai tanda-tanda dalam karya sastra. Ketiga, dalam menciptakan karya sastra, banyak pengarang yang tetap menjadikan agama sebagai patokan, sedangkan pengarang yang lain menganggap karya sastra bebas dari pengaruh agama. Perbedaan pendapat ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para sastrawan dan ahli sastra. Keempat, pembaca karya sastra menggunakan cakrawala harapannya dalam memahami karya sastra. Pembaca yang berorientasi pada agama, tentunya mengharapkan karya sastra itu tidak menentang agama (dalam arti agama formal) sehingga penentangan agama lewat karya sastra akan mereka tanggapi secara negatif. Kelima, Bagaimanapun, bisa dikatakan bahwa pengarang itu taat beragama atau tidak, karyanya tetap harus mengandung nilai-nilai estetika dan sesuai dengan konvensi sastra. Masyarakat sastralah yang akan memberikan penilaian karena kebesaran karya sastra ditentukan dengan kriteria di luar estetika, misalnya agama.
keenam, ilmu sastra, sebagai sebuah pengetahuan ilmiah, memiliki peran memberikan penjelasan ilmiah mengenai kaitan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya agama. Dengan demikian, siapa saja yang akan memberikan keterangan secara ilmiah mengenai keterkaitan sastra dengan bidang lain, harus pula memahami ilmu sastra.
Dari hubungan diatas setidaknya kita bisa mengadakan beberapa pendekatan dalam rangka mengharmoniskan gesekan antar aliran. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan ekspresif. Maksudnya adalah, karya sastra dipandang sebagai ekspresi pengarang. Dan ini menjadi penting karena karya tersebut merupakan potret dan konsep ideal yang diinginkan pengarang. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan pragmatik. Yang dimaksud pragmatik disini karya sastra dipandang sebagai sarana mencapai tujuan pada pembaca. Seperti telah disinggung diatas, ada sebuah pemahan bahwa karya sastra dianggap sebagai kendaraan kebenaran pengarang. Yang ketiga adalah mimietik; karya sastra dipahami sebagai tiruan alam semesta atau kehidupan. Dan yang terakhir adalah pendekatan objektif, dalam artian sastra dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Tidak terkungkung oleh apa adan siapa. Dari empat pendekatan diatas antara agama (Islam) dan sastra tidak ada masalah berarti. Tapi ketika harus dibenturkan dengan pendekatan objektivitas maka akan ditemukan garis singgung yang bisa jadi dapat membuat kelompok lain tidak enak. Karena kecenderungan pendekatan objektivisme mendorong pada penilaian relative; bila karya sastra diakui bernilai pada suatu tempat dan waktu maka pada saat yang bersamaan juga harus diakui bernilai ditempat lain. Ini yang tidak bisa. Selain relative juga absolute; harus bersandar pada nilai-nilai dogmatis. Ini juga tidak bisa karena bisa jadi dogma Islam akan berseberangan dengan dogma lain. Kemudian perspektif; harus dipandang dari berbagai macam sudut dan pola pandang. Tidak melulu hanya dari satu model. Ini juga mengundang kerawanan.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemaksaan satu ideologi terhadap sastra dan mengesampingkan yang lain hanya akan membuat yang lain merasa tidak dianggap dan bahkan mengundang persengketaan dan dan perebutan wilayah garapan sastra. Ini yang seharusnya dijauhi karena semestinya antar sesama yang bekerjasama dalam kesamaan harus beda dan bersengketa hanya gara-gara masalah yang sebenarnya tidak harus dipermasalahkan. Idealnya mungkin begitu tapi pada kenyataannya sastra memang memberi kesempatan pada siapa saja untuk melakukan penjajahan wilayah dan karena penjajahan serta pencaplokan suatu wilayah akan menjadikan sastra semakin melebar sayapnya kemana-mana. Yang semakin lama semakin menimbulkan warna warni dalam sastra itu sendiri. Selain memang tidak ada secara de facto sebuah aturan yang melarang untuk begitu itu.

Kritik Insani
Pada akhirnya pembaca yang akan menilai sebuah karya sastra. Dan pembacalah sebenarnya objek dari karya sastra. Maka, pembaca karya sastra mau tidak mau harus sudi kiranya meluangkan waktu sejenak untuk menilai sebuah karya sastra. Bukan untuk apa, tapi untuk ikut memberikan sumbangsih kritik konstruktif terhadap hasil karya pekerja sastra. Sekedar memberikan penilain dengan pendekatan mana yang ia kehendaki. Sedari itu makanya bagi segenap pengrajin dan pekerja ekspresif sastra untuk tidak sembrono menggunakan petunjuk-petunjuk agama (Islam) dalam berkarya. Harus hati-hati dalam mengolah kata agar yang lain tidak merasa asing dan terasing dengan idiom kosa kata baru. Dari uraian diatas maka sebisa mungkin untuk tidak menggunakan simbol-simbol agama untuk sebuah kepentingan. Harus diingat bahwa masyarakt sastra kita membentang luas dari barat ketimur dan dari utara ke selatan dengan berbagai varian komunitas. Biarkan hubungan kelembagaan sastra yang membidani lahirnya aturan dan konvensi-konvensi sastra. Agama tidak usah diperturutkan. Kalaupun harus menyampaikan ideologi maka sudah seharusnya tetap menghargai yang lain dengan tidak membuat kapling sastra tersendiri, karena sastra adalah sastra. Sastra bukanlah agama tapi agama bisa menunggangi sastra sebagai kendaraan kebenaran agama. Tapi tidak sepatutunya menutup diri dengan yang lain, apalagi acuh dan merasa diri paling baik diantara yang lain. Pakai ataupun tidak pakai ideologi agama sastra akan tetap ada. Dan sastra tidak akan pernah sirna selama orang masih bergelut dengan dunia ekspresi bahasa. Kalau bisa tidak usah pakai symbol atau petunjuk-petunjuk agama unutk mengantarkan sebuah nilai pada para pembaca. Kita menggunakan cara lain, yakni dengan cara memasukkan nilai saja tanpa bajunya sekalian. Wallahu a’lamu bil shawab.

Ditulis Oleh Abdul Hamid
Mantan Direktur KWQ 2003

Ulama' al-Hadits Pasca 'Abduh;

.
0 comments


Prolog
Sejak pertengahan abad kesembilan belas, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan berulang terhadap gagasan Islam klasik mengenai otoritas keagamaan. Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam setelah muncul tuntutan untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah. Isu sentral dalam pergulatan yang terus berlangsung ini adalah masalah eksistensi dan signifikansi Sunnah, termasuk mengenai objektivitas dan kapabilitas pakar Hadits (muhadditsأ®n) juga akurasi metodologi Hadits



Dengan status Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh mayoritas Muslim sebagai sumber hukum dan menempati posisi kedua setelah al Qur'an. Tentu saja hal ini berlandaskan beberapa ayat yang memerintahkan kepada pembacanya agar mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu ittiba’ Muhammad menjadi standar etika tingkah laku di kalangan Muslim, sebagai dasar bagi hukum Islam, sekaligus standar bagi kebanyakan aktivitas keduniaan—seperti aturan bahwa kuku harus dipotong atau memelihara jenggot yang panjang. Akan tetapi di abad kedua puluh, kedudukan Sunnah terancam dengan berbagai cara, ketika para pemikir Muslim mencari basis paling kokoh dalam rangka mempertahankan ajaran murni Islam. Masalah Sunnah menjadi salah satu elemen terpenting dalam krisis Muslim modern–seperti krisis otoritas keagamaan-yang menduduki wilayah sentral dalam wacana keagamaan Muslim.
Memahami upaya-upaya untuk mendefinisikan kembali kedudukan Sunnah diperlukan untuk mengenali seutuhnya tipologi dan kecenderungan yang muncul di kalangan pemikir Muslim seputar signifikansi Sunnah. Tema ini tentu saja juga memiliki relevansi erat dengan masalah yang muncul terkait dengan pemahaman sekaligus penerapan terhadap Sunnah serta pengaruhnya terhadap umat Islam itu sendiri.
Tulisan ini berupaya merangkum tema-tema atau bab-bab yang menurut pandangan penulis memiliki implikasi penting bagi pemahaman kita mengenai wacana keagamaan. Meski diakui, persoalan Sunnah tidak dapat dikaji secara memadai hanya dengan meninjau beberapa pola pemikiran yang dilontarkan oleh pakar-pakar Muslim. Sebab pemetaan isu-isu mengenai Sunnah berkait kelindan dengan konteks sosio-kultur kemunculan Sunnah. Akan tetapi dengan tinjauan kilas isu-isu mengenai Sunnah diharapkan mampu mencerminkan secara akurat struktur kajian Sunnah termasuk pembahasan modern mengenai Sunnah sebagai bagian dari pergulatan yang terus berlangsung di kalangan intelektual Muslim.

Konsepsi Klasik Seputar Sunnah
Mayoritas teori klasik mengenai Sunnah memasukkan beberapa elemen penting. Salah satunya seputar istilah Sunnah menurut ahli hadits yang biasanya merujuk kepada prilaku otoritatif yang diberikan Nabi Muhammad SAW dan tercatat sebagai Hadits atau Akhbأ¢r mengenai perkataannya, tindakannya, persetujuannya atas perkataan atau sahabat, serta karakteristik kepribadiannya[3]. Dengan demikian Sunnah merupakan identifikasi ekslusif kepada Nabi Muhammad SAW sebagai figur utusan-Nya.
Elemen penting lainnya adalah identifikasi riwayat-riwayat Hadits yang bisa dilacak mata rantainya (sanad) hingga Nabi Muhammad SAW. Dengan ini sebuah Hadits bisa diberi label sesuai dengan kelengkapan transmisi. Ketidaklengkapan riwayat dalam sebuah jaringan transmisi bisa mengakibatkan gugurnya status riwayat tersebut, yang secara otomatis tertolak sebagai sumber hukum[4].
Elemen penting lainnya adalah status Sunnah sebagai wahyu. Sunnah dalam pengertian ini menunjukkan posisi Sunnah yang cukup signifikan sebagai sumber hukum. Layaknya al Quran, Sunnah pun bersumber dari Allah. Dikotomi antar keduanya sebatas bentuk, bukan dalam kandungan. Perbedaan ini menjadikan keduanya memiliki kelas yang berbeda. Apabila al Quran; memiliki ciri khas bacaan serta susunan baca yang sempurna dan memiliki daya i’jأ¢z, dimana seluruh teks dan maknanya berasal dari Allah, lain halnya dengan Sunnah; ia merupakan susunan kosa-kata yang dialih-pindahkan dari Nabi menuju sahabat dan hanya keandalan maknanya saja yang terjamin.

Otentitas Hadits dan Kritik Orientalis
Pada masa awal Islam, al Qur'an, Sunnah Nabi, dan Atsأ¢r Sahabat berada dalam koridor yang sama, yang sebagian besar tidak dipilah-pilih. Pada periode ini seluruh material tersebut digunakan secara longgar, tidak sistematis, dan ditujukan terutama untuk perbaikan moral. Namun dalam lingkungan keagamaan dan politk yang semakin rumit, sebuah pendekatan yang sistematis dibutuhkan untuk menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan alasan-alasan yang diajukan orang yang menentang. Hal ini pada akhirnya menciptakan hierarki material yang diwahyukan. Dengan begitu sebagian besar material “wahyuâ€‌ yang banyak jumlahnya bisa dibedakan secara sistematis. Akibat kemungkinan ini muncullah berbagai perangkat seperti disiplin yurisprudensi (Ushul al Fiqh), kritisisme Hadits (ulأ»m al Hadits) dan penghapusan (nأ¢sikh wa mansأ»kh).
Bagi umat Islam, tuntutan terhadap keaslian sebuah sumber hukum menjadi pilar penting dalam menjawab kebutuhan akan sumber hukum. Kebutuhan akan keaslian Hadits diwujudkan melalui metodologi yang rumit untuk mengurangi ketidakpastian yang menjadi sifat dari sistem pengalihan ilmu pengetahuan. Sistem transmisi Hadits pada mulanya hanyalah kebiasaan para sahabat sejak zaman Rasulullah.
Apabila kita tilik lebih mendalam, kajian analisik-kritis atas Hadits dan ilmu-ilmunya akan mengantar kita ke dalam fase pemunculan kembali problem-problem seputar Hadits sejak masa kodifikasi dan setelahnya. Kajian semacam ini tentu saja akan mendorong munculnya reaksi balik yang berupaya menjawab problema-problema yang diangkat.
Gugatan Orientalis terhadap Hadits bermula pada pertengahan abad 19 M, tatkala hampir seluruh dunia Islam berada di bawah cengkeraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Alois Sprenger[5] dalam pendahuluan bukunya mengklaim bahwa Hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Setelah itu muncul pula Ignas Goldziher[6] yang menyatakan bahwa sebagian besar tidak dapat dijamin keotentikannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran sebagai sumber informasi mengenai sejarah awal Islam. Menurut Goldziher, Hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim.[7]


Mesir dan Kritisisme Hadits
Di Mesir, Muhammad â€کAbduh mulai menyatakan sikap skeptisnya terhadap Hadits. Dalam Risalat al-Tauhid ia menyatakan bahwa hanya Hadits Mutawأ¢tir saja yang mengikat. Mengenai Hadits yang diriwiyatkan oleh perawi tunggal (ahأ¢d) Abduh menyatakan: “Orang yang mendapatkan Hadits, yang puas dengan kebenaran yang dikandungnya, berkewajiban mempercayainya. Akan tetapi orang yang belum menerima Hadits, atau menerimanya tetapi meragukan kebenarannya, maka ia tidak bisa disebut tidak beriman jika ia enggan menerimanya karena Hadits ini tidak dikuatkan oleh periwayatan berkelanjutan.â€‌ Abduh membuka pintu bagi penilaian pribadi dalam memutuskan mana Hadits yang akan diterima atau ditolak. [8]
Keengganan Abduh untuk mempercayai Hadits Ahأ¢d, bukan berarti ia menolak otoritas Hadits secara keseluruhan. Sebab ia juga mencatat bahwa siapa pun yang menyangkal sesuatu yang diketahui berasal dari Rasulullah Saw, berarti ia meragukan risalahnya dan dipandang sebagai kebohongan[9]. Penolakan terhadap Hadits Ahad oleh Abduh menurut Husain al Dzahأ¢bi lebih disebabkan oleh landasan tafsir. Ia terutama kritis terhadap riwayat-riwayat Israiliyyأ¢t, meski juga menolak beberapa Hadits yang dianggap otentik[10].
Fakta semacam ini menandai munculnya intelektual Islam yang mencoba melepaskan diri dari pendekatan tradisional terhadap Hadits dalam kasus-kasus tertentu. Meski memang â€کAbduh tidak menawarkan pendekatan yang sistematis terhadap kritisisme Hadits sebab yang digarapnya hanyalah ladang sempit dari ranah luasnya permasalahan seputar Hadits.
Setelah â€کAbduh muncullah Muhammad Taufiq Shidqi, rekan Rasyid Ridha, penulis tetap al Manأ¢r yang menulis artikel bernada anti Hadits. Shidqi menyatakan bahwa detail-detail perilaku Nabi Muhammad Saw tidak pernah dimaksudkan untuk ditiru segala perinciannya. Oleh karena itu setiap Muslim seharusnya hanya bersandar pada Al Quran. Motivasi Shidqi sendiri, yang tertulis eksplisit dalam artikel tersebut, secara langsung berkaitan dengan ajaran sentral salafiyyah—sebuah penolakan terhadap ketaklidan dan pencarian keautentikan. Ia hanya memperluas prinsip-prinsip ini selangkah lebih maju daripada langkah pendahulunya. Meski jelas, bahwa pandangannya tidak menggambarkan perpecahan yang tajam dengan ideologi salafi. Penolakan Hadits sebagai sumber kewenangan hanyalah variasi baru dari terma salafi[11].
Yang menarik adalah sikap Rasyid Ridha terhadap masalah Sunnah dan keotentikan Hadits. Meski ia mengambil sikap yang bertentangan dengan pandangan Shidqi—terbukti ia memaksa Shidqi mengakui kesalahan—namun ia tetap membiarkan artikel tersebut dimuat. Kemungkinan hal ini dimotivasi keinginan Ridha untuk untuk mengguncang kemapanan al Azhar agar mereka bangkit untuk mempertahankan pandangan mereka mengenai Sunnah. Pandangan Ridha sendiri mengenai Sunnah terekspresikan secara mendetail setelah munculnya artikel Shidqi. Pendekatannya dapat dianggap sebagai elaborasi antara penolakan sepenuhnya terhadap Sunnah dan ketaatan mutlak terhadap gagasan klasik mengenai Hadits. Hal ini menjelaskan mengapa ia tidak akan menyepakati penolakan besar-besaran terhadap kewenangan Nabi Saw sementara disisi lain ia merasa berhak untuk meninjau kembali sumber Sunnah (baca: Hadits) berdasarkan ijtihadnya sendiri. Bagi Ridha, satu-satunya sumber yang tidak diperselisihkan adalah interaksi sosial (Sunnah â€کamaliyah) yang dipraktikkan oleh setiap generasi Muslim dengan cara yang mutawatir. Hal ini termasuk, misalnya, ibadah shalat dan tata cara peribadatan penting lainnya. Akan tetapi Hadits yang disampaikan secara verbal melalui satu garis tunggal perawi, yang disebut Hadits Ahأ¢d, harus diuji kembali menurut kriteria baru. Pengujian kembali tersebut harus mencakup Hadits dalam himpunan Hadits Sahأ®h[12].
Wacana senada seputar penolakan terhadap eksistensi dan signifikansi Sunnah bahkan dalam kadar yang lebih ekstrem muncul kembali melalui karya Mahmud Abu Rayyah,[13] yang merupakan pembahasan cukup komprehensif mengenai diskursus Hadits. Dibandingkan pendahulunya, Abu Rayyah mampu mengembangkan argumen canggih untuk mempertahankan pandangan anti Hadits. Meski ia cenderung kurang diterima publik, namun diakui memiliki pengaruh penting sebagai katalis yang mencetuskan kontroversi dan membentuk agenda bagi pembahasan modern mengenai otoritas Nabi Muhammad Saw.
Diantara konsep klasik yang dipersoalkan Abu Rayyah yaitu mengenai integritas (â€کadأ¢lah) sahabat. Argumen yang dipakai bahwa realitanya para sahabat berbeda derajat dan tingkat keilmuannya[14] satu sama yang lainnya, khulaf al-rasyidin, misalnya. Tentu hal ini akan erat berkaitan dengan tingkat kebenaran yang disampaikan satu sahabat yang memenuhi kriteria tertentu dibandingkan sahabat lainnya. Selain itu model periwayatan setiap sahabat berbeda tergantung seberapa besar intensitas masing-masing dalam bertemu Rasulullah Saw. Artinya tidak setiap Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat dan dikodifikasikan dalam kitab Hadits benar-benar didengar langsung dari Rasulullah Saw, melainkan ada yang disampaikan hanya melalui sahabat satu sama lain. Sehingga mereka yang tidak mendengarkan langsung dari Rasulullah Saw mengambil Hadits itu dari sahabat lain yang mendengarnya. Realita semacam ini akan menimbulkan problem pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat lain[15]. Misalnya saat â€کAisyah mendengar bahwa Ibn Umar menyampaikan Hadits bahwa orang yang sudah mati akan terkena azab sebab tangis keluarganya, seketika â€کAisyah mengatakan bahwa cerita itu bukan Hadits sebab bertentangan dengan ayat al Qur'an[16].
â€کAdalأ¢h para sahabat merupakan dasar dari kritik Hadits tradisional karena â€کAdalأ¢h setiap generasi perawi harus dibuktikan, dengan pengecualian para sahabat karena mereka “telah dijamin oleh Allah dan Rasul-Nyaâ€‌. Namun pada akhirnya konsep â€کAdalأ¢h kolektif para sahabat harus dibenturkan dengan beberapa pernyataan. Pertama, Hadits Nabi Muhammad Saw yang memperlihatkan bahwa beliau tidak sepenuhnya percaya kepada seluruh orang yang dapat disebut sahabat. Dalam sebuah Hadits beliau berkata, “Barangsiapa yang berbohong tentang aku, maka sengaja mengambil tempatnya di neraka.â€‌ Hadits ini tentu saja merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad SAW tahu adanya orang yang meyebarluaskan kebohongan seputar dirinya.
Bukti kedua adalah konflik dan saling tuduh di antara para sahabat. â€کAisyah dan Ibn â€کAbbas diriwayatkan telah mengkritik Abu Hurairah; â€کUmar mempertanyakan sebuah riwayat dari Fathimah binti Qays; â€کUmar juga diriwayatkan pernah menahan tiga sahabat untuk tetap di Madinah, untuk mencegah mereka menyebarluaskan Hadits.[17] Ahmad Amin mengatakan bahwa berbagai riwayat semacam itu menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak saling percaya.[18]
Bukti ketiga yang sering dilontarkan dalam menolak â€کAdalأ¢h kolektif para sahabat yaitu kasus iktsأ¢r al Hadits. Praktik periwayatan Hadits oleh sahabat tertentu melebihi batas kewajaran memang menarik perhatian para kritikus Hadits ke sahabat tertentu yang mudah dituduh ceroboh dan tidak jujur dalam penyampaian Hadits. Fokus utama kritik seperti itu adalah sahabat Abu Hurairah, yang walaupun hanya tiga tahun menemani Nabi Saw namun paling banyak meriwayatkan Hadits.[19] Dengan tersedianya literatur biografis, bahan-bahan untuk mengkritik karakter Abu Hurairah sangat mudah digunakan sebagai argumen oleh penentang Hadits. Meskipun bukan barang baru, namun kritikan terhadap Abu Hurairah akan mendorong formulasi ta’dil kolektif terhadap sahabat yang dalam konsepsi klasik cenderung “kebal hukumâ€‌.
Argumen-argumen untuk mendeskreditkan â€کadalah para sahabat seperti diatas biasanya datang dari orang-orang yang menolak Hadits. Akan tetapi, tantangan terhadap â€کAdalأ¢h kolektif para sahabat juga datang dari sumber-sumber lain. Meski memang kritik terhadap â€کAdalأ¢h --oleh mereka yang dianggap pendukung Hadits--lebih ditujukan sebagai alasan untuk mengkaji ulang literatur Hadits dan bukan sebagai upaya untuk mendeskreditkan literatur Hadits secara keseluruhan.
Respon terhadap serangan-serangan semacam ini biasanya cukup keras. Argumen yang digunakan sering mencakup pembuatan daftar kesalehan dan karakteristik terpuji para sahabat. [20] Termasuk upaya apologetik berupa pernyataan tentang mustahilnya menisbahkan kebohongan terhadap sahabat mengingat pemalsuan Hadits akan segera dikenali oleh sahabat lain.[21]
Upaya lain yang lazim digunakan untuk membela sahabat—selain pujian secara umum—adalah menyangkal argumen para penentang Hadits yang bertumpu pada analisis terperinci terhadap Hadits atau riwayat sejarah tertentu; Hadits yang mengindikasikan ketidakjujuran atau kecerobohan sahabat harus ada upaya reinterpretasi untuk mengurangi daya serangnya. Misalnya membaca Hadits man kadzaba dengan makna prediksi masa depan. Dengan begitu Hadits ini bersifat ramalan kebohongan tentang diri Nabi di masa mendatang.[22]

Mengukur Efektivitas Kritik Isnأ¢d

Sebuah kenyataan sejarah bahwa telah terjadi pemalsuan Hadits—yang diberitakan berasal dari Nabi Saw padahal tidak--dengan berbagai motif dan kemudian dikenal dengan istilah “Hadits mawdhu’â€‌.[23] Dengan meningkatnya skala pemalsuan Hadits, maka ilmu Hadits mulai berkembang sebagai respon terhadap pemalsuan Hadits. Sistem baku kritik Hadits menjadi perlu mengingat integritas Hadits yang terancam, baik disebabkan oleh friksi teologis, politik dan â€کwafatnya’ otoritas yang secara personal dapat membuktikan kebenaran Hadits yaitu generasi sahabat.
Respon kaum Muslim saat itu terwujud dalam dua hal pokok: pertama, kodifikasi Hadits secara sistematis. Kedua, penggunaan isnأ¢d sebagai sarana kodifikasi Hadits.
Walaupun sebagian Hadits ditulis pada tahap awal, namun masih dalam bentuk tidak formal dan tidak sistematis. Kompilasi tertulis awal yang biasa disebut shuhuf, sedikit lebih sistematis daripada transkripsi acak atau koleksi personal yang pada esensinya himpunan Hadits hapalan. Pengumpulan dan pencatatan Hadits secara sistematis pertama kali dilakukan oleh Khalifah “Umar ibn â€کAbdul al-Aziz dan Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al Zuhri. Semua koleksi ini tidak ada yang dapat bertahan, walau kumpulan masa awal lain tetap ada, seperti Shahifah karya Hammam ibn Munnabih yang sangat terkenal. [24]
Kumpulan Hadits sistematis generasi awal adalah Muwaththa’ karya Malik bin Anas (w. 179 H). Muwaththa’ dan karya yang bergenre serupa disebut mushannaf karena mengklasifikasikan Hadits sesuai dengan subjeknya, mencerminkan upaya terorganisasi untuk mengumpulkan Hadits yang memiliki arti legal-formal dan menatanya secara sistematis. Walaupun demikian, Malik tidak menggunakan standar formal dalam menyeleksi Hadits. Yang digunakannya adalah standar umum relevansi hukum. Karya semacam ini bisa dikategorikan sebagai karya fiqh.
Setelah Malik, para pakar mulai mengembangkan metode kritis untuk mendokumentasikan dan mengkritik keaslian Hadits dengan merujuk kepada isnأ¢d Hadits tersebut. Perkiraan kapan dimulainya penggunaan isnأ¢d secara formal memang masih menjadi pokok perdebatan utama, yang pasti bahwa isnأ¢d mulai digunakan secara meluas pada abad kedua Hijriah, dan mulai menjadi parameter keotentikan Hadits pada masa Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H). Tahap berikutnya adalah penyusunan koleksi musnad selama abad ketiga Hijriah. Koleksi musnad, yang hanya mencakup Hadits dengan isnأ¢d sampai kepada Muhammad Saw, mencerminkan permulaan dasar kritik isnأ¢d formal dan disebut-sebut sebagai tonggak permulaan dikarenakan koleksi-koleksi ini tidak secara jelas membedakan antara transmisi periwayatan yang kuat dengan yang lemah.
Musnad diikuti oleh koleksi Sahأ®h besar, yang menandai tahap terakhir perkembangan ilmu Hadits. Penyusun koleksi sahih memaparkan aturan formal untuk menilai Hadits atas dasar isnأ¢d-nya. Mereka menyaring semua Hadits yang mereka temukan dan memilih Hadits yang isnأ¢d-nya memenuhi standar mereka. Disini kepercayaan terhadap isnأ¢d menjadi jaminan utama orisinalitas Hadits.
Tantangan yang muncul sekarang adalah kritik terhadap koleksi Hadits yang dianggap paling dapat dipercaya. Para penentang Hadits tertarik untuk mengekspos Hadits-Hadits yang nyeleneh, tidak dapat dibenarkan secara teologis atau tak layak secara moral.[25] Sebenarnya ada masalah yang lebih besar dan terkait dengan masalah keaslian Hadits tertentu, yaitu keandalan metode para Muhadditsأ»n. Meski sebagian pembela setia Hadits tetap mempercayai keandalan sistem kritik Hadits, mereka juga bersedia menguji Hadits tertentu dalam koleksi-koleksi sahأ®h. Namun bagi penentang Hadits memandang jika Bukhari atau Muslim, pengumpul Hadits yang paling teliti masih bisa kecolongan, kemungkinan ada yang salah dengan metode yang digunakan. Dalam kasus ini, menempatkan Bukhari dalam wilayah “bebas salahâ€‌ sama saja dengan menempatkannya dalam ranah ketuhanan, baik dengan sadar maupun tidak sadar.[26]
Kesulitan untuk mengenali apakah sebuah Hadits asli atau palsu boleh jadi disebabkan oleh banyaknya Hadits palsu yang beredar. Tingkat pemalsuan yang canggih akan menyulitkan siapa saja yang ingin mengenali Hadits asli. Kesulitan untuk mengenali sedikit Hadits asli di antara sekian banyaknya Hadits palsu akan menghantarkan kita kepada kesimpulan bahwa metode ulama Hadits sudah tidak memadai lagi untuk mengetahui otentitas Hadits. Usulan yang bisa diajukan adalah dengan mengupayakan kritik terhadap isi Hadits (matan). Secara logika, tugas ulama Hadits adalah mengupayakan dua hal, pertama menguji periwayatan sebuah Hadits (kritik isnأ¢d) dan kedua, menguji isi Hadits (matan). Karena kesulitan untuk menyelesaikan tugas pertama, pada akhirnya mereka tidak pernah sampai pada tugas kedua.
Keluhan semacam ini dijawab dengan pernyataan bahwa kritik matan tidak dilakukan justru karena ulama sudah melakukan penyeleksian yang ketat terhadap isi Hadits.[27] Argumen ini berlandaskan pada konsensus klasik seputar syarat-syarat diterimanya sebuah Hadits. Untuk dianggap sahih sebuah Hadits harus melalui lima tahap pengujian:
­ Kesinambungan periwayatan (ittishأ¢l)
­ â€کadalah perawi, yaitu memiliki integritas seperti bermoral shaleh dan tidak pernah melakukan dosa-dosa besar.
­ Akurasi (dhأ¢bith) proses periwayatan
­ Bebas dari ketidakberesan (syudأ»dz)
­ Bebas dari cacat penyimpangan (â€کillah qأ¢dihah)[28]
Pada dasarnya ajakan untuk melakukan kritik matan dalam meneliti Hadits sama sekali bukan hal yang baru. Metode ini inheren dalam sistem klasik kritik Hadits. Apabila dipahami dengan benar, sistem ini tidak hanya menuntut pengujian rantai periwayatan, namun juga menuntut agar matan Hadits diteliti apakah ada cacatnya. Dalam kasus ini Muhammad al Ghazali bertanya: Apa gunanya Hadits dengan isnأ¢d yang kuat tapi memiliki matan yang cacat?[29]
Dua syarat terakhir jelas diterapkan kepada matan Hadits; yaitu harus bebas dari syudأ»dz dan bebas dari â€کillah qadihah. Menurut Al-Ghazali cacat yang dimaksud adalah cacat matan. Cacat semacam ini terutama ada dua macam: kontradiksi dengan sumber yang lebih tinggi bobotnya dan ketidaksempurnaan internal teksnya. Dengan demikian, bila pendekatan klasik untuk menentukan keaslian Hadits diterapkan secara benar, pendekatan tersebut sungguh dapat dipercaya dan menjamin kekuatan Hadits.[30]
Kritik Hadits semacam ini, jika dicermati dengan baik akan menciptakan pembagian tugas. Para ahli Hadits memperhatikan pengumpulan Hadits dan menguji rantai periwayatannya apakah ada cacatnya. Sementara ahli fiqh meneliti Hadits dari segi matan.[31] Al-Ghazali mengilustrasikan pola kinerja semacam ini sebagai kinerja membuat kontruksi bangunan. Ahli Hadits bertugas memberikan bahan kepada insinyur, yaitu faqih. Faqih inilah yang bertanggung jawab membentuk bangunan.[32] Batu yang menurut pekerja tampak baik, dapat ditolak oleh insinyur karena dirasa tidak cocok. Dengan metode yang sama, Hadits yang dapat dinilai otentik berdasarkan sanad-nya, dapat dibuktikan lemah karena kecacatan matan-nya.[33]
Metode utama yang digunakan Al-Ghazali untuk menyikapi problem seputar Hadits adalah dengan menarik Hadits memasuki batasan-batasan al Qur'an. Sebuah contoh yang dipakai adalah riwayat tentang orang mati akan menderita karena ratapan keluarganya, disana Aisyah membantah dengan mengutip ayat, yang artinya: Tidak ada orang yang akan memikul dosa orang lain.[34] Contoh semacam ini menyatakan bahwa perawi terbaik pun bisa saja melakukan kesalahan dan sarana memperbaiki kesalahan itu adalah dengan membandingkan matan Hadits dengan ajaran al Quran.[35]
Tentu saja melakukan kritik matan dengan membabi buta hanya akan mendorong kita menolak Hadits sahih, seperti Mu’tazilah. [36] Contohnya, Mu’tazilah menolak Hadits sahih tentang perantaraan (syafa’at) Nabi Muhammad Saw. atas dasar pertimbangan teologis. Mereka mengabaikan bukti bahwa al Qur'an tidak sepenuhnya menolak perantaraan. Al Qur'an hanya menolak perantaraan seperti dalam teologi Kristen.[37] Kasus ini membuktikan perlunya kehati-hatian dalam membuat penilaian seputar kontradiksi antar sumber hukum.
Pendapat al Qardhawi dan al Ghazali bahwa Sunnah harus dievaluasi dengan al Qur'an merupakan pendekatan yang cukup signifikan dalam mengulas problematika keotentikan Hadits. Kecenderungan ini menggambarkan sistematisasi pemikiran yang dimulai oleh Abduh dan Ridha. Al Ghazali ingin menunjukkan bahwa ia tidak mengabaikan Sunnah dan pendapatnya dalam isu-isu sentral hukum Islam bukanlah revolusi melainkan sejatinya telah berakar kuat dalam tradisi intelektual Islam. Oleh karena itu bukunya membahas isu-isu praktis yang menjadi tema-tema penting pemikiran pembaru Islam, seperti status wanita, sistem ekonomi, jihad dan demokrasi.

Epilog
Kontroversi modern seputar ilmu Hadits dan eksistensi Sunnah dengan jelas memperlihatkan keterkaitan antara pemikiran mengenai otoritas teks keagamaan dan klaim-klaim atas otoritas interpretatif. Bagi Muhaddisأ®n, membela Hadits merupakan upaya mereka mempertahankan posisi sebagai pelindung dan penafsir Hadits. Dalam terma klasik, al Qur'an disamping diperjelas oleh dirinya sendirinya, pun diperjelas, ditakhsis, bahkan kadang dinasakh melalui otoriotas Sunnah. Ulama sebagai pemegang otoritas menjadi mediator bagi warisan Nabi Saw.
Pada ekstrem yang lain, para penentang Hadits menolak pemikiran ortodoks-regresif mengenai Sunnah sebagai perangkat istinbath dari tangan ulama. Jika Hadits tidak lagi esensial, maka penafsir Hadits (baca: ulama) tidak lagi dibutuhkan. Menurut para penentang Hadits, bukan ulama Hadits yang berhak melakukan interpretasi terhadap Islam, melainkan mereka yang memahami relevansi Al-Quran dengan kehidupan modern.
Para pemikir pembaru seperti al Ghazali dan al Qardhawi bertarung di dua palagan. Di satu sisi, mereka membela Sunnah dari kelompok penentang Hadits, dan menegakkan amanat sebagai pelindung Sunnah. Di sisi lain, mereka mengklaim memiliki hak tersendiri untuk menginterpretasi Sunnah, yang independen dari ulama konservatif. Dalam Sunnah, kaum pembaru menemukan dunia mereka dengan sumber otentitas dan cara-pandang sendiri untuk menegaskan independensi dan fleksibilitas terhadap kemapanan agama dirasa kurang fleksibel dan tidak membumi.
Realita itulah yang menjelaskan mengapa diskursus seputar Sunnah dan perkembangan ilmu Hadits menjadi begitu penting sebab debat mengenai otoritas Sunnah, eksistensi dan signifikansinya merupakan perebutan hak untuk menafsirkan teks-teks keagamaan guna diejawantahkan dalam norma-norma Islami. Ketika umat Islam membutuhkan visi yang selaras dan juga adaptif terhadap situasi umat saat ini, pendekatan kaum pembaru menjanjikan fleksibilitas dan relevansi yang dirangkai dengan keotentikan. Maka menuju jalur inilah kita harus mencari petunjuk tentang otoritas keagamaan yang terus berkembang. Pendekatan yang merangkul Sunnah bukanlah tindakan defensif, namun lebih merupakan inisiatif. tentunya agar umat memiliki pemetaan tercerahkan menuju modernitas.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Dipresentasikan dalam diskusi internal al Mustawa di sekretariat PCI-NU Mesir, tanggal 15 Juli 2005
[2] Pengrajin kata yang nyambi sebagai mahasiswa Al Azhar Kairo Fakultas Ushuluddin
[3] Yusuf al Qardlawi, al-Madhal li Dirasah al Sunnah al Nabawiyyah, Muassah al Risalah, Beirut, cet. I, 2001, hlm 16
[4] Ahmad â€کUmar Hasyim, Asbأ¢b rأ¢dd al Hadist dalam Mausu’ah Ulأ»m al Hadist al Syarif, Wizarah al Auqaf al Majlis al A’la li al Syu’un al diniyyah. Kairo, hal 57
[5] Alois Sprenger adalah seorang orientalis asal Jerman. Salah satu karyanya adalah The Life of Mahomet and The History of Islam to the Era of Hegira (1861)
[6] Ignas Goldziher adalah orientalis Yahudi kelahiran Hungaria. Goldziher pernah “nyantriâ€‌ di Al Azhar Kairo selama kurang lebih setahun (1873-1874).
[7] Syamsudin Arif, Gugatan Orientalis Terhadap Hadist dan Gaungnya di Dunia Islam, dalam jurnal Insani.
[8] Daniel W Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, edisi terjemahan Indonesia, Mizan, hal 55
[9] Ibid hal 56
[10] Muhammad Husein al Dzahأ¢bi, Al Tafsir wa al-Mufassirun Kairo, vol. III, 1961, hal. 239
[11] baca lebih lengkap mengenai kasus Shidqi dalam Daniel W. Brown, op. cit., hal 60
[12] Daniel W Brown, op. cit., hal. 60-61
[13] diantara karya-karya Mahmud Abu Rayyah ialah Adhwa’ ala as-Sunnah al-Muhammadiyah dan Syaikh al-Madhirah Abu Hurairah
[14] Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ala al Sunnah al Muhammadiyah, Dar al-Ma’arif, Kairo, cet VI, tanpa tahun, hal 41
[15] Ibid hal. 46
[16] yang berbunyi “An lأ¢ taziru waziratun wizra ukhra.â€‌ Q.S
[17] Mahmud Abu Rayyah, op.cit, hal. 29
[18] Ahmad Amin, Fajru al Islam, Maktabah Ushrah, Kairo, hal. 216
[19] Mahmud Abu Rayyah, op. cit., hal. 173
[20] Mushthafa al-Siba’I, al-Sunnah wa makanatuha fi tasyri’ al-Islami, Kairo, 15-18
[21] Mushthafa al-Siba’I, op. cit. 264
[22] Mushtafa al-Siba’I, op. cit 239
[23] kata Hadist dalam term Hadist mawdu sengaja diberi “quoteâ€‌ untuk menunjukkan bahwa ia sebenarnya bukan Hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw.
[24] DW Brown, op. cit., 122
[25] kategori tertentu dalam Hadist seperti Hadist fadhأ¢â€™il, Hadist tentang Mahdi, juga Hadist tentang Israiliyyat.
[26] Ahmad Subhi Manshur, al Quran wa Kafa Masdaran li al Tasyri’ a -Islamy, al Intisyar al â€کAraby, Beirut, 2005, hal 108
[27] Mushthafa al-Siba’I, op. cit., hal. 271-272
[28] Muhammad Al-Ghazali, al Sunnah al Nabawiyyah Baina Ahlu al Fiqh wa Ahlu al Hadits, Darus Suruq, Kairo, tanpa tahun. hal 18
[29] Ibid , hal. 21
[30] Ibid., hal. 19
[31] Ibid. hal. 19
[32] Ibid, 35
[33] Ibid, 19
[34] Al-Quran Surat 6: 164
[35] Muhammad al Ghأ¢zali, op.cit, 21
[36] Yusuf al Qardhawi, Kayfa Nata’amalu Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, al-Mansura, 1990, hal 99
[37] Ibid, hal. 101-102
Ditulis Oleh Abdul Hamid