Menyampaikan Ideologi Lewat Sastra

. Tuesday, June 5, 2007
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Mencari definisi sastra sama sulitnya dengan mencari jarum jatuh di tumpukan jerami. Permasalahanya karena dari dulu sampai sekarang belum ada kata sepakat mengenai definisi itu dari pakar dan ahli sastra. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono selaku presiden sastra Indonesia yang juga mantan dekan fakultas sastra Universtas Indonesia yang kini berubah menjadi fakultas budaya mendefinisikan sastra sebagai sebuah kegiatan berbahasa. Dia menyebutkan bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra Jepang adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Jepang, begitu seterusnya. Dari pengertian ini berarti sastra adalah sebuah karya dalam bentuk tulisan. Dengan demikian definisi yang diungkpakan oleh Djoko Damono sama seperti definisi kata sastra yang terdapat dalam KBBI, sastra berarti huruf, gaya bahasa dan tulisan. Begitu juga bila ditelisik dari asal kata sastra itu sendiri (sangsekerta) maka sastra berarti huruf , bahasa dan karya. Tak salah bila kemudian ada yang bilang bahwa sastra adalah cerminan ide dalam bentuk tulisan atau karyaSeperti halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Nio Joe Lan, ia mengemukakan bahwa sastra adalah pencerminan segala apa yang berada dalam sanubari manusia. Tiap hasil sastra sebenarnya tak lain dan tak bukan melainkan sebuah petunjuk dari sesuatu yang berada dalam lubuk hati manusia. Tiap sajak pada hakekatnya adalah perwujudan keinginan, pengharapan, khayalan, dan idam-idaman semua umat manusia. Makanya membaca novel, sajak, dan sandiwara mempunyai dua arti. Pertama, membaca novel, sajak, dan sandiwara untuk melewati waktu yang luang, tetapi dengan berbuat demikian, dengan cara tak disadari kita sebenarnya mengambil tahu dunia pikiran orang-orang yang dikisahkan dan keadaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, kita membaca sebuah hasil karya sastra bukan sebagai pelewat waktu yang lapang melainkan juga oleh karena kita secara sadar memang ingin mengetahui apa yang terjadi dengan seseorang atau beberapa orang tertentu. Senada dengan diatas, aliran formalisme Rusia juga sependapat bila sastra diartikan demikian, malahan mereka mengatakan bahwa sastra adalah pembantu khusus bahasa.
Pun ada yang mengartikan sastra adalah sejarah yang diromanisasikan, layaknya Nio Joe Lan dan aliran formalisme rusia. Tak salah bila selama ini konsepsi pikiran kita selalu berkata bahwa sastra adalah yang indah dan romantis. Bila demikian adanya maka aliran ini bertentangan dengan fungsi sastra itu sebagai pencatat sejarah. Sebab karya sastra tidak hanya terbatas pada keindahan dan romantisme belaka, semisal kitab negarakartagama, arthasastra, dan dharmasastra. Padahala ketiga kitab itu adalah kitab-undang-undang, bahkan al-Qur’an dan hadits.
Seiring dengan berjalannya waktu maka alat atau wahana untuk mengaktualisasikan segala cerminan ide dan pikiran tidak hanya terbatas pada bahasa yang direfleksikan dengan tulisan saja, melainkan juga bisa melalui alat atau media yang lainya. Semisal cerminan ide direfleksikan dalam bentuk gambar (visual); lukisan karikatur, ilustrasi puisi, foto dan lain sebagainya, suara (audio); sandiwara dan cerita. Atau bisa juga audio-visual layaknya sebuah film. Bila sudah demikian, apakah masih layak jika definisi sastra diartikan sebagai cerminan ide dalam bentuk tulisan? Jawabannya ada benak masing-masing. Dari beberapa pengertian diatas, penulis lebih suka memaknai sastra sebagai ekspresi terhadap sesuatu dengan atau tidak memakai tulisan, tapi bahasa(dalam arti luas). Seperti definsi yang diungkapkan Enrique Anderson Imbert dalam muqadimah Manahiju al-naqd al-adabi. Intinya sastra bagi penulis adalah ekspresi bahasa sebagai perantara.

Dua Unsur Pembangun Sastra
Mahmud Tsanie dalam buku Bahasa Indonesia-nya menjelaskan bahwa unsur yang mempengaruhi sastra banyak sekali. Bisa dari budaya dimana sastrawan itu tinggal yang kemudian berpengaruh terhadap karya sastranya. Bisa juga karena kondisi geografi yang kemudian memberi corak sastra. Atau bisa jadi karena kondisi politik. Namun bisa jadi unsur yang mempengaruhi adalah pola pandang, ideology, pemahaman, dan keyakinan yang dianut. Dari beberapa unsur tersebut bisa dirampingkan menjadi dua unsur yakni unsur ekstrinsik sastra dan unsur intrinsik sastra. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Enrique Anderson Imbert, bahwa unsur pembangun sastra ada dua, khariji (ekstrinsik) dan dakhili(intrinsik). Dengan unsur yang membangun tersebut kemudian lahirlah apa yang dinamakan aliran-aliran sastra. Di Indonesia kita mengenal aliran realisme, romantisme, surealisme dan lain sebagainya. Di Rusia kita tahu aliran marxisme, formalisme, dan modernisme. Aliran-aliran inilah yang kemudian membawa ideologinya masing-masing. Seperti aliran marxisme, ideology yang dibawa dan diusung dalam karya-karyanya adalah hal-hal yang berbau sosial. Beda dengan aliran formalisme, maka hal yang diusung dan dijunjung tinggi dalam karya-karyanya adalah keindahan bahasa. Tokoh seperti ini bisa dinisbatkan kepada Hamzah Fansuri yang mana sajak-sajaknya selalu mengikuti kaidah dan rima akhir. Selain itu, dalam sastra modern yang diwakili oleh Shake Spear lebih menekankan pada makna bahasa ketimbang keindahan struktur kata. Sastrawan Indonesia yang bisa dikategorikan kedalam aliran modernisme adalah W.S Rendra. Dengan demikian bisa dimaklumi jika dikemudian ada macam dan corak warna sastra yang begitu banyaknya. Tidak ada yang bisa disalahkan, karena apa yang mereka perbuat berdasarkan apa yang mempengaruhi mereka, baik terpengaruh dari unsur intrinsik atau ekstrinsik. Yang pasti kedua-duanya sangat berpengaruh dalam sebuah karya sastra.
Sastrawan dalam satu waktu tertentu biasa dipanggil pujangga. Ini semua disebabkana karena pengaruh Plato yang sangat dominan. Mereka dengan seenaknya memperkosa bahasa secara kreatif. Menggunakannya sesuai dengan apa yang jadi imaginasi mereka. Kadang bahasa yang menurut kita adalah bahasa yang sudah jelas makna dan maksudnya, ditangan para sastrawan bisa digubah dengan penafsiran sastrawan itu sendiri dengan indah. Tak berlebihan bila sastrawan kaliber Jamal D. Rahman dan Ahmadi Thoha mengatakan bahwa tingkat paling artistik sebuah karya sastra bila bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sulit dimengerti oleh pembaca. Kalaupun bisa mencerna apa maksud yang terkandung didalamnya harus mengerutkan kening terlebih dahulu guna mendalami makna apa yang dimaksud oleh penulis. Hal yang demikian itu sah-sah saja karena sebagai sistem komunikasi dan alat ekspresi bahasa antara lain memiliki sifat arbitrer (manasuka). Ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Plato, “keindahan mutlak hanya terdapat pada tingkat dunia ide-ide yang mengatasi dunia ilahi, yang tidak langsung terjangkau oleh manusia tetapi paling banter didekati lewat pemikiran.” Sebagai contoh kasus adalah sajaknya Muchtar Lubis yang berjudul harimau. Semua orang pasti akan mendefinisikan kata “harimau” sebagai seekor hewan. Tapi siapa yang menyangka bila kata harimau di situ berarti manusia.
Dalam dunia sastra, wilayah sastra dibagi menjadi dua. Pertama, wilayah ekprsesif yang bergerak dalam bidang ekpresi. Kedua, wilayah aprsesiatif yang bergerak dalam bidang apresiasi sastra. Biasanya yang bergerak dalam wilayah kedua ini adalah penikmat dan pemerhati sastra. Lain halnya dengan yang bergerak dalam wilayah ekspresi. Biasanya mereka yang bergerak dalam wilayah ekspresi adalah pekerja sastra sekaligus penikmat. Pada tataran ekpresi, unsur pembangun yang paling menonjol dalam karakter karya sastra adalah unsur intrinsik yang dalam hal ini ideologi, bukan berarti menafikan yang lain, tapi memang begitu kenyataanya. Dalam banyak hal, sastrawan yang dipengaruhi oleh unsur intrinsik (ideologi) cenderung menggunakan sastra sebagai “kendaraan kebenaran” yang mereka anut dan mengesampingkan yang lain. Beda dengan sastrawan yang memang memfungsikan sastra sebagai “pernyataan suatu perasaan tergerak.”

Islamisme Sastra
Adanya hari ini karena adanya hari kemarin, adanya kosong karena adanya penuh, dan adanya pemikiran hari ini adalah karena adanya pemikiran hari kemarin. Seperti telah disinggung diatas bahwa unsur intrisnsik (ideologi) sangat berpengaruh terhadap sebuah karya sastra. Seperti halnya sejarah telah mengatakan. Kalau dibelahan dunia lain kita mengenal sastrawan humanisme, sosialisme, romantisme, dan seterusnya maka dalam beberapa tahun terakhir ini muncul sekte sastra baru beridiologi ajaran agama (Islam). Dan sekarang ini sedang marak-maraknya, khususnya ditanah air. Sebenarnya bila mau ditelisik agak jauh maka kita akan menemukan beberapa hubungan antara agama dan sastra seperti dikatakan Hamdan dalam esai sastranya di Cybersastra. Dia memaparkan hubungan antara agama dan sastra sebagai berikut. Hubungan pertama yang paling jelas antara sastra dan agama adalah kenyataan bahwa banyak karya sastra yang merupakan ungkapan penghayatan seseorang terhadap Tuhan. Hubungan yang kedua adalah penggunaan simbol-simbol berupa kosakata yang sudah umum dipakai dalam kehidupan beragama sebagai tanda-tanda dalam karya sastra. Ketiga, dalam menciptakan karya sastra, banyak pengarang yang tetap menjadikan agama sebagai patokan, sedangkan pengarang yang lain menganggap karya sastra bebas dari pengaruh agama. Perbedaan pendapat ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para sastrawan dan ahli sastra. Keempat, pembaca karya sastra menggunakan cakrawala harapannya dalam memahami karya sastra. Pembaca yang berorientasi pada agama, tentunya mengharapkan karya sastra itu tidak menentang agama (dalam arti agama formal) sehingga penentangan agama lewat karya sastra akan mereka tanggapi secara negatif. Kelima, Bagaimanapun, bisa dikatakan bahwa pengarang itu taat beragama atau tidak, karyanya tetap harus mengandung nilai-nilai estetika dan sesuai dengan konvensi sastra. Masyarakat sastralah yang akan memberikan penilaian karena kebesaran karya sastra ditentukan dengan kriteria di luar estetika, misalnya agama.
keenam, ilmu sastra, sebagai sebuah pengetahuan ilmiah, memiliki peran memberikan penjelasan ilmiah mengenai kaitan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya agama. Dengan demikian, siapa saja yang akan memberikan keterangan secara ilmiah mengenai keterkaitan sastra dengan bidang lain, harus pula memahami ilmu sastra.
Dari hubungan diatas setidaknya kita bisa mengadakan beberapa pendekatan dalam rangka mengharmoniskan gesekan antar aliran. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan ekspresif. Maksudnya adalah, karya sastra dipandang sebagai ekspresi pengarang. Dan ini menjadi penting karena karya tersebut merupakan potret dan konsep ideal yang diinginkan pengarang. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan pragmatik. Yang dimaksud pragmatik disini karya sastra dipandang sebagai sarana mencapai tujuan pada pembaca. Seperti telah disinggung diatas, ada sebuah pemahan bahwa karya sastra dianggap sebagai kendaraan kebenaran pengarang. Yang ketiga adalah mimietik; karya sastra dipahami sebagai tiruan alam semesta atau kehidupan. Dan yang terakhir adalah pendekatan objektif, dalam artian sastra dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Tidak terkungkung oleh apa adan siapa. Dari empat pendekatan diatas antara agama (Islam) dan sastra tidak ada masalah berarti. Tapi ketika harus dibenturkan dengan pendekatan objektivitas maka akan ditemukan garis singgung yang bisa jadi dapat membuat kelompok lain tidak enak. Karena kecenderungan pendekatan objektivisme mendorong pada penilaian relative; bila karya sastra diakui bernilai pada suatu tempat dan waktu maka pada saat yang bersamaan juga harus diakui bernilai ditempat lain. Ini yang tidak bisa. Selain relative juga absolute; harus bersandar pada nilai-nilai dogmatis. Ini juga tidak bisa karena bisa jadi dogma Islam akan berseberangan dengan dogma lain. Kemudian perspektif; harus dipandang dari berbagai macam sudut dan pola pandang. Tidak melulu hanya dari satu model. Ini juga mengundang kerawanan.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemaksaan satu ideologi terhadap sastra dan mengesampingkan yang lain hanya akan membuat yang lain merasa tidak dianggap dan bahkan mengundang persengketaan dan dan perebutan wilayah garapan sastra. Ini yang seharusnya dijauhi karena semestinya antar sesama yang bekerjasama dalam kesamaan harus beda dan bersengketa hanya gara-gara masalah yang sebenarnya tidak harus dipermasalahkan. Idealnya mungkin begitu tapi pada kenyataannya sastra memang memberi kesempatan pada siapa saja untuk melakukan penjajahan wilayah dan karena penjajahan serta pencaplokan suatu wilayah akan menjadikan sastra semakin melebar sayapnya kemana-mana. Yang semakin lama semakin menimbulkan warna warni dalam sastra itu sendiri. Selain memang tidak ada secara de facto sebuah aturan yang melarang untuk begitu itu.

Kritik Insani
Pada akhirnya pembaca yang akan menilai sebuah karya sastra. Dan pembacalah sebenarnya objek dari karya sastra. Maka, pembaca karya sastra mau tidak mau harus sudi kiranya meluangkan waktu sejenak untuk menilai sebuah karya sastra. Bukan untuk apa, tapi untuk ikut memberikan sumbangsih kritik konstruktif terhadap hasil karya pekerja sastra. Sekedar memberikan penilain dengan pendekatan mana yang ia kehendaki. Sedari itu makanya bagi segenap pengrajin dan pekerja ekspresif sastra untuk tidak sembrono menggunakan petunjuk-petunjuk agama (Islam) dalam berkarya. Harus hati-hati dalam mengolah kata agar yang lain tidak merasa asing dan terasing dengan idiom kosa kata baru. Dari uraian diatas maka sebisa mungkin untuk tidak menggunakan simbol-simbol agama untuk sebuah kepentingan. Harus diingat bahwa masyarakt sastra kita membentang luas dari barat ketimur dan dari utara ke selatan dengan berbagai varian komunitas. Biarkan hubungan kelembagaan sastra yang membidani lahirnya aturan dan konvensi-konvensi sastra. Agama tidak usah diperturutkan. Kalaupun harus menyampaikan ideologi maka sudah seharusnya tetap menghargai yang lain dengan tidak membuat kapling sastra tersendiri, karena sastra adalah sastra. Sastra bukanlah agama tapi agama bisa menunggangi sastra sebagai kendaraan kebenaran agama. Tapi tidak sepatutunya menutup diri dengan yang lain, apalagi acuh dan merasa diri paling baik diantara yang lain. Pakai ataupun tidak pakai ideologi agama sastra akan tetap ada. Dan sastra tidak akan pernah sirna selama orang masih bergelut dengan dunia ekspresi bahasa. Kalau bisa tidak usah pakai symbol atau petunjuk-petunjuk agama unutk mengantarkan sebuah nilai pada para pembaca. Kita menggunakan cara lain, yakni dengan cara memasukkan nilai saja tanpa bajunya sekalian. Wallahu a’lamu bil shawab.

Ditulis Oleh Abdul Hamid
Mantan Direktur KWQ 2003

1 comments:

catatan elisakoraag said...

Artikel yang menarik. Kebetulan saya menyukai segala sesuatu yang berbau sastra. Jadi artikel ini sangat memperkaya wawasan saya. Menurut saya apapun definisi yang orang berikan pada kata sastra. yang pasti sastra akan terus ada selama manusia hidup. Karena sastra erat kaitannya dengan rasa.