Ulama' al-Hadits Pasca 'Abduh;

. Tuesday, June 5, 2007
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Prolog
Sejak pertengahan abad kesembilan belas, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan berulang terhadap gagasan Islam klasik mengenai otoritas keagamaan. Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam setelah muncul tuntutan untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah. Isu sentral dalam pergulatan yang terus berlangsung ini adalah masalah eksistensi dan signifikansi Sunnah, termasuk mengenai objektivitas dan kapabilitas pakar Hadits (muhadditsأ®n) juga akurasi metodologi Hadits



Dengan status Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh mayoritas Muslim sebagai sumber hukum dan menempati posisi kedua setelah al Qur'an. Tentu saja hal ini berlandaskan beberapa ayat yang memerintahkan kepada pembacanya agar mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu ittiba’ Muhammad menjadi standar etika tingkah laku di kalangan Muslim, sebagai dasar bagi hukum Islam, sekaligus standar bagi kebanyakan aktivitas keduniaan—seperti aturan bahwa kuku harus dipotong atau memelihara jenggot yang panjang. Akan tetapi di abad kedua puluh, kedudukan Sunnah terancam dengan berbagai cara, ketika para pemikir Muslim mencari basis paling kokoh dalam rangka mempertahankan ajaran murni Islam. Masalah Sunnah menjadi salah satu elemen terpenting dalam krisis Muslim modern–seperti krisis otoritas keagamaan-yang menduduki wilayah sentral dalam wacana keagamaan Muslim.
Memahami upaya-upaya untuk mendefinisikan kembali kedudukan Sunnah diperlukan untuk mengenali seutuhnya tipologi dan kecenderungan yang muncul di kalangan pemikir Muslim seputar signifikansi Sunnah. Tema ini tentu saja juga memiliki relevansi erat dengan masalah yang muncul terkait dengan pemahaman sekaligus penerapan terhadap Sunnah serta pengaruhnya terhadap umat Islam itu sendiri.
Tulisan ini berupaya merangkum tema-tema atau bab-bab yang menurut pandangan penulis memiliki implikasi penting bagi pemahaman kita mengenai wacana keagamaan. Meski diakui, persoalan Sunnah tidak dapat dikaji secara memadai hanya dengan meninjau beberapa pola pemikiran yang dilontarkan oleh pakar-pakar Muslim. Sebab pemetaan isu-isu mengenai Sunnah berkait kelindan dengan konteks sosio-kultur kemunculan Sunnah. Akan tetapi dengan tinjauan kilas isu-isu mengenai Sunnah diharapkan mampu mencerminkan secara akurat struktur kajian Sunnah termasuk pembahasan modern mengenai Sunnah sebagai bagian dari pergulatan yang terus berlangsung di kalangan intelektual Muslim.

Konsepsi Klasik Seputar Sunnah
Mayoritas teori klasik mengenai Sunnah memasukkan beberapa elemen penting. Salah satunya seputar istilah Sunnah menurut ahli hadits yang biasanya merujuk kepada prilaku otoritatif yang diberikan Nabi Muhammad SAW dan tercatat sebagai Hadits atau Akhbأ¢r mengenai perkataannya, tindakannya, persetujuannya atas perkataan atau sahabat, serta karakteristik kepribadiannya[3]. Dengan demikian Sunnah merupakan identifikasi ekslusif kepada Nabi Muhammad SAW sebagai figur utusan-Nya.
Elemen penting lainnya adalah identifikasi riwayat-riwayat Hadits yang bisa dilacak mata rantainya (sanad) hingga Nabi Muhammad SAW. Dengan ini sebuah Hadits bisa diberi label sesuai dengan kelengkapan transmisi. Ketidaklengkapan riwayat dalam sebuah jaringan transmisi bisa mengakibatkan gugurnya status riwayat tersebut, yang secara otomatis tertolak sebagai sumber hukum[4].
Elemen penting lainnya adalah status Sunnah sebagai wahyu. Sunnah dalam pengertian ini menunjukkan posisi Sunnah yang cukup signifikan sebagai sumber hukum. Layaknya al Quran, Sunnah pun bersumber dari Allah. Dikotomi antar keduanya sebatas bentuk, bukan dalam kandungan. Perbedaan ini menjadikan keduanya memiliki kelas yang berbeda. Apabila al Quran; memiliki ciri khas bacaan serta susunan baca yang sempurna dan memiliki daya i’jأ¢z, dimana seluruh teks dan maknanya berasal dari Allah, lain halnya dengan Sunnah; ia merupakan susunan kosa-kata yang dialih-pindahkan dari Nabi menuju sahabat dan hanya keandalan maknanya saja yang terjamin.

Otentitas Hadits dan Kritik Orientalis
Pada masa awal Islam, al Qur'an, Sunnah Nabi, dan Atsأ¢r Sahabat berada dalam koridor yang sama, yang sebagian besar tidak dipilah-pilih. Pada periode ini seluruh material tersebut digunakan secara longgar, tidak sistematis, dan ditujukan terutama untuk perbaikan moral. Namun dalam lingkungan keagamaan dan politk yang semakin rumit, sebuah pendekatan yang sistematis dibutuhkan untuk menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan alasan-alasan yang diajukan orang yang menentang. Hal ini pada akhirnya menciptakan hierarki material yang diwahyukan. Dengan begitu sebagian besar material “wahyuâ€‌ yang banyak jumlahnya bisa dibedakan secara sistematis. Akibat kemungkinan ini muncullah berbagai perangkat seperti disiplin yurisprudensi (Ushul al Fiqh), kritisisme Hadits (ulأ»m al Hadits) dan penghapusan (nأ¢sikh wa mansأ»kh).
Bagi umat Islam, tuntutan terhadap keaslian sebuah sumber hukum menjadi pilar penting dalam menjawab kebutuhan akan sumber hukum. Kebutuhan akan keaslian Hadits diwujudkan melalui metodologi yang rumit untuk mengurangi ketidakpastian yang menjadi sifat dari sistem pengalihan ilmu pengetahuan. Sistem transmisi Hadits pada mulanya hanyalah kebiasaan para sahabat sejak zaman Rasulullah.
Apabila kita tilik lebih mendalam, kajian analisik-kritis atas Hadits dan ilmu-ilmunya akan mengantar kita ke dalam fase pemunculan kembali problem-problem seputar Hadits sejak masa kodifikasi dan setelahnya. Kajian semacam ini tentu saja akan mendorong munculnya reaksi balik yang berupaya menjawab problema-problema yang diangkat.
Gugatan Orientalis terhadap Hadits bermula pada pertengahan abad 19 M, tatkala hampir seluruh dunia Islam berada di bawah cengkeraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Alois Sprenger[5] dalam pendahuluan bukunya mengklaim bahwa Hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Setelah itu muncul pula Ignas Goldziher[6] yang menyatakan bahwa sebagian besar tidak dapat dijamin keotentikannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran sebagai sumber informasi mengenai sejarah awal Islam. Menurut Goldziher, Hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim.[7]


Mesir dan Kritisisme Hadits
Di Mesir, Muhammad â€کAbduh mulai menyatakan sikap skeptisnya terhadap Hadits. Dalam Risalat al-Tauhid ia menyatakan bahwa hanya Hadits Mutawأ¢tir saja yang mengikat. Mengenai Hadits yang diriwiyatkan oleh perawi tunggal (ahأ¢d) Abduh menyatakan: “Orang yang mendapatkan Hadits, yang puas dengan kebenaran yang dikandungnya, berkewajiban mempercayainya. Akan tetapi orang yang belum menerima Hadits, atau menerimanya tetapi meragukan kebenarannya, maka ia tidak bisa disebut tidak beriman jika ia enggan menerimanya karena Hadits ini tidak dikuatkan oleh periwayatan berkelanjutan.â€‌ Abduh membuka pintu bagi penilaian pribadi dalam memutuskan mana Hadits yang akan diterima atau ditolak. [8]
Keengganan Abduh untuk mempercayai Hadits Ahأ¢d, bukan berarti ia menolak otoritas Hadits secara keseluruhan. Sebab ia juga mencatat bahwa siapa pun yang menyangkal sesuatu yang diketahui berasal dari Rasulullah Saw, berarti ia meragukan risalahnya dan dipandang sebagai kebohongan[9]. Penolakan terhadap Hadits Ahad oleh Abduh menurut Husain al Dzahأ¢bi lebih disebabkan oleh landasan tafsir. Ia terutama kritis terhadap riwayat-riwayat Israiliyyأ¢t, meski juga menolak beberapa Hadits yang dianggap otentik[10].
Fakta semacam ini menandai munculnya intelektual Islam yang mencoba melepaskan diri dari pendekatan tradisional terhadap Hadits dalam kasus-kasus tertentu. Meski memang â€کAbduh tidak menawarkan pendekatan yang sistematis terhadap kritisisme Hadits sebab yang digarapnya hanyalah ladang sempit dari ranah luasnya permasalahan seputar Hadits.
Setelah â€کAbduh muncullah Muhammad Taufiq Shidqi, rekan Rasyid Ridha, penulis tetap al Manأ¢r yang menulis artikel bernada anti Hadits. Shidqi menyatakan bahwa detail-detail perilaku Nabi Muhammad Saw tidak pernah dimaksudkan untuk ditiru segala perinciannya. Oleh karena itu setiap Muslim seharusnya hanya bersandar pada Al Quran. Motivasi Shidqi sendiri, yang tertulis eksplisit dalam artikel tersebut, secara langsung berkaitan dengan ajaran sentral salafiyyah—sebuah penolakan terhadap ketaklidan dan pencarian keautentikan. Ia hanya memperluas prinsip-prinsip ini selangkah lebih maju daripada langkah pendahulunya. Meski jelas, bahwa pandangannya tidak menggambarkan perpecahan yang tajam dengan ideologi salafi. Penolakan Hadits sebagai sumber kewenangan hanyalah variasi baru dari terma salafi[11].
Yang menarik adalah sikap Rasyid Ridha terhadap masalah Sunnah dan keotentikan Hadits. Meski ia mengambil sikap yang bertentangan dengan pandangan Shidqi—terbukti ia memaksa Shidqi mengakui kesalahan—namun ia tetap membiarkan artikel tersebut dimuat. Kemungkinan hal ini dimotivasi keinginan Ridha untuk untuk mengguncang kemapanan al Azhar agar mereka bangkit untuk mempertahankan pandangan mereka mengenai Sunnah. Pandangan Ridha sendiri mengenai Sunnah terekspresikan secara mendetail setelah munculnya artikel Shidqi. Pendekatannya dapat dianggap sebagai elaborasi antara penolakan sepenuhnya terhadap Sunnah dan ketaatan mutlak terhadap gagasan klasik mengenai Hadits. Hal ini menjelaskan mengapa ia tidak akan menyepakati penolakan besar-besaran terhadap kewenangan Nabi Saw sementara disisi lain ia merasa berhak untuk meninjau kembali sumber Sunnah (baca: Hadits) berdasarkan ijtihadnya sendiri. Bagi Ridha, satu-satunya sumber yang tidak diperselisihkan adalah interaksi sosial (Sunnah â€کamaliyah) yang dipraktikkan oleh setiap generasi Muslim dengan cara yang mutawatir. Hal ini termasuk, misalnya, ibadah shalat dan tata cara peribadatan penting lainnya. Akan tetapi Hadits yang disampaikan secara verbal melalui satu garis tunggal perawi, yang disebut Hadits Ahأ¢d, harus diuji kembali menurut kriteria baru. Pengujian kembali tersebut harus mencakup Hadits dalam himpunan Hadits Sahأ®h[12].
Wacana senada seputar penolakan terhadap eksistensi dan signifikansi Sunnah bahkan dalam kadar yang lebih ekstrem muncul kembali melalui karya Mahmud Abu Rayyah,[13] yang merupakan pembahasan cukup komprehensif mengenai diskursus Hadits. Dibandingkan pendahulunya, Abu Rayyah mampu mengembangkan argumen canggih untuk mempertahankan pandangan anti Hadits. Meski ia cenderung kurang diterima publik, namun diakui memiliki pengaruh penting sebagai katalis yang mencetuskan kontroversi dan membentuk agenda bagi pembahasan modern mengenai otoritas Nabi Muhammad Saw.
Diantara konsep klasik yang dipersoalkan Abu Rayyah yaitu mengenai integritas (â€کadأ¢lah) sahabat. Argumen yang dipakai bahwa realitanya para sahabat berbeda derajat dan tingkat keilmuannya[14] satu sama yang lainnya, khulaf al-rasyidin, misalnya. Tentu hal ini akan erat berkaitan dengan tingkat kebenaran yang disampaikan satu sahabat yang memenuhi kriteria tertentu dibandingkan sahabat lainnya. Selain itu model periwayatan setiap sahabat berbeda tergantung seberapa besar intensitas masing-masing dalam bertemu Rasulullah Saw. Artinya tidak setiap Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat dan dikodifikasikan dalam kitab Hadits benar-benar didengar langsung dari Rasulullah Saw, melainkan ada yang disampaikan hanya melalui sahabat satu sama lain. Sehingga mereka yang tidak mendengarkan langsung dari Rasulullah Saw mengambil Hadits itu dari sahabat lain yang mendengarnya. Realita semacam ini akan menimbulkan problem pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat lain[15]. Misalnya saat â€کAisyah mendengar bahwa Ibn Umar menyampaikan Hadits bahwa orang yang sudah mati akan terkena azab sebab tangis keluarganya, seketika â€کAisyah mengatakan bahwa cerita itu bukan Hadits sebab bertentangan dengan ayat al Qur'an[16].
â€کAdalأ¢h para sahabat merupakan dasar dari kritik Hadits tradisional karena â€کAdalأ¢h setiap generasi perawi harus dibuktikan, dengan pengecualian para sahabat karena mereka “telah dijamin oleh Allah dan Rasul-Nyaâ€‌. Namun pada akhirnya konsep â€کAdalأ¢h kolektif para sahabat harus dibenturkan dengan beberapa pernyataan. Pertama, Hadits Nabi Muhammad Saw yang memperlihatkan bahwa beliau tidak sepenuhnya percaya kepada seluruh orang yang dapat disebut sahabat. Dalam sebuah Hadits beliau berkata, “Barangsiapa yang berbohong tentang aku, maka sengaja mengambil tempatnya di neraka.â€‌ Hadits ini tentu saja merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad SAW tahu adanya orang yang meyebarluaskan kebohongan seputar dirinya.
Bukti kedua adalah konflik dan saling tuduh di antara para sahabat. â€کAisyah dan Ibn â€کAbbas diriwayatkan telah mengkritik Abu Hurairah; â€کUmar mempertanyakan sebuah riwayat dari Fathimah binti Qays; â€کUmar juga diriwayatkan pernah menahan tiga sahabat untuk tetap di Madinah, untuk mencegah mereka menyebarluaskan Hadits.[17] Ahmad Amin mengatakan bahwa berbagai riwayat semacam itu menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak saling percaya.[18]
Bukti ketiga yang sering dilontarkan dalam menolak â€کAdalأ¢h kolektif para sahabat yaitu kasus iktsأ¢r al Hadits. Praktik periwayatan Hadits oleh sahabat tertentu melebihi batas kewajaran memang menarik perhatian para kritikus Hadits ke sahabat tertentu yang mudah dituduh ceroboh dan tidak jujur dalam penyampaian Hadits. Fokus utama kritik seperti itu adalah sahabat Abu Hurairah, yang walaupun hanya tiga tahun menemani Nabi Saw namun paling banyak meriwayatkan Hadits.[19] Dengan tersedianya literatur biografis, bahan-bahan untuk mengkritik karakter Abu Hurairah sangat mudah digunakan sebagai argumen oleh penentang Hadits. Meskipun bukan barang baru, namun kritikan terhadap Abu Hurairah akan mendorong formulasi ta’dil kolektif terhadap sahabat yang dalam konsepsi klasik cenderung “kebal hukumâ€‌.
Argumen-argumen untuk mendeskreditkan â€کadalah para sahabat seperti diatas biasanya datang dari orang-orang yang menolak Hadits. Akan tetapi, tantangan terhadap â€کAdalأ¢h kolektif para sahabat juga datang dari sumber-sumber lain. Meski memang kritik terhadap â€کAdalأ¢h --oleh mereka yang dianggap pendukung Hadits--lebih ditujukan sebagai alasan untuk mengkaji ulang literatur Hadits dan bukan sebagai upaya untuk mendeskreditkan literatur Hadits secara keseluruhan.
Respon terhadap serangan-serangan semacam ini biasanya cukup keras. Argumen yang digunakan sering mencakup pembuatan daftar kesalehan dan karakteristik terpuji para sahabat. [20] Termasuk upaya apologetik berupa pernyataan tentang mustahilnya menisbahkan kebohongan terhadap sahabat mengingat pemalsuan Hadits akan segera dikenali oleh sahabat lain.[21]
Upaya lain yang lazim digunakan untuk membela sahabat—selain pujian secara umum—adalah menyangkal argumen para penentang Hadits yang bertumpu pada analisis terperinci terhadap Hadits atau riwayat sejarah tertentu; Hadits yang mengindikasikan ketidakjujuran atau kecerobohan sahabat harus ada upaya reinterpretasi untuk mengurangi daya serangnya. Misalnya membaca Hadits man kadzaba dengan makna prediksi masa depan. Dengan begitu Hadits ini bersifat ramalan kebohongan tentang diri Nabi di masa mendatang.[22]

Mengukur Efektivitas Kritik Isnأ¢d

Sebuah kenyataan sejarah bahwa telah terjadi pemalsuan Hadits—yang diberitakan berasal dari Nabi Saw padahal tidak--dengan berbagai motif dan kemudian dikenal dengan istilah “Hadits mawdhu’â€‌.[23] Dengan meningkatnya skala pemalsuan Hadits, maka ilmu Hadits mulai berkembang sebagai respon terhadap pemalsuan Hadits. Sistem baku kritik Hadits menjadi perlu mengingat integritas Hadits yang terancam, baik disebabkan oleh friksi teologis, politik dan â€کwafatnya’ otoritas yang secara personal dapat membuktikan kebenaran Hadits yaitu generasi sahabat.
Respon kaum Muslim saat itu terwujud dalam dua hal pokok: pertama, kodifikasi Hadits secara sistematis. Kedua, penggunaan isnأ¢d sebagai sarana kodifikasi Hadits.
Walaupun sebagian Hadits ditulis pada tahap awal, namun masih dalam bentuk tidak formal dan tidak sistematis. Kompilasi tertulis awal yang biasa disebut shuhuf, sedikit lebih sistematis daripada transkripsi acak atau koleksi personal yang pada esensinya himpunan Hadits hapalan. Pengumpulan dan pencatatan Hadits secara sistematis pertama kali dilakukan oleh Khalifah “Umar ibn â€کAbdul al-Aziz dan Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al Zuhri. Semua koleksi ini tidak ada yang dapat bertahan, walau kumpulan masa awal lain tetap ada, seperti Shahifah karya Hammam ibn Munnabih yang sangat terkenal. [24]
Kumpulan Hadits sistematis generasi awal adalah Muwaththa’ karya Malik bin Anas (w. 179 H). Muwaththa’ dan karya yang bergenre serupa disebut mushannaf karena mengklasifikasikan Hadits sesuai dengan subjeknya, mencerminkan upaya terorganisasi untuk mengumpulkan Hadits yang memiliki arti legal-formal dan menatanya secara sistematis. Walaupun demikian, Malik tidak menggunakan standar formal dalam menyeleksi Hadits. Yang digunakannya adalah standar umum relevansi hukum. Karya semacam ini bisa dikategorikan sebagai karya fiqh.
Setelah Malik, para pakar mulai mengembangkan metode kritis untuk mendokumentasikan dan mengkritik keaslian Hadits dengan merujuk kepada isnأ¢d Hadits tersebut. Perkiraan kapan dimulainya penggunaan isnأ¢d secara formal memang masih menjadi pokok perdebatan utama, yang pasti bahwa isnأ¢d mulai digunakan secara meluas pada abad kedua Hijriah, dan mulai menjadi parameter keotentikan Hadits pada masa Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H). Tahap berikutnya adalah penyusunan koleksi musnad selama abad ketiga Hijriah. Koleksi musnad, yang hanya mencakup Hadits dengan isnأ¢d sampai kepada Muhammad Saw, mencerminkan permulaan dasar kritik isnأ¢d formal dan disebut-sebut sebagai tonggak permulaan dikarenakan koleksi-koleksi ini tidak secara jelas membedakan antara transmisi periwayatan yang kuat dengan yang lemah.
Musnad diikuti oleh koleksi Sahأ®h besar, yang menandai tahap terakhir perkembangan ilmu Hadits. Penyusun koleksi sahih memaparkan aturan formal untuk menilai Hadits atas dasar isnأ¢d-nya. Mereka menyaring semua Hadits yang mereka temukan dan memilih Hadits yang isnأ¢d-nya memenuhi standar mereka. Disini kepercayaan terhadap isnأ¢d menjadi jaminan utama orisinalitas Hadits.
Tantangan yang muncul sekarang adalah kritik terhadap koleksi Hadits yang dianggap paling dapat dipercaya. Para penentang Hadits tertarik untuk mengekspos Hadits-Hadits yang nyeleneh, tidak dapat dibenarkan secara teologis atau tak layak secara moral.[25] Sebenarnya ada masalah yang lebih besar dan terkait dengan masalah keaslian Hadits tertentu, yaitu keandalan metode para Muhadditsأ»n. Meski sebagian pembela setia Hadits tetap mempercayai keandalan sistem kritik Hadits, mereka juga bersedia menguji Hadits tertentu dalam koleksi-koleksi sahأ®h. Namun bagi penentang Hadits memandang jika Bukhari atau Muslim, pengumpul Hadits yang paling teliti masih bisa kecolongan, kemungkinan ada yang salah dengan metode yang digunakan. Dalam kasus ini, menempatkan Bukhari dalam wilayah “bebas salahâ€‌ sama saja dengan menempatkannya dalam ranah ketuhanan, baik dengan sadar maupun tidak sadar.[26]
Kesulitan untuk mengenali apakah sebuah Hadits asli atau palsu boleh jadi disebabkan oleh banyaknya Hadits palsu yang beredar. Tingkat pemalsuan yang canggih akan menyulitkan siapa saja yang ingin mengenali Hadits asli. Kesulitan untuk mengenali sedikit Hadits asli di antara sekian banyaknya Hadits palsu akan menghantarkan kita kepada kesimpulan bahwa metode ulama Hadits sudah tidak memadai lagi untuk mengetahui otentitas Hadits. Usulan yang bisa diajukan adalah dengan mengupayakan kritik terhadap isi Hadits (matan). Secara logika, tugas ulama Hadits adalah mengupayakan dua hal, pertama menguji periwayatan sebuah Hadits (kritik isnأ¢d) dan kedua, menguji isi Hadits (matan). Karena kesulitan untuk menyelesaikan tugas pertama, pada akhirnya mereka tidak pernah sampai pada tugas kedua.
Keluhan semacam ini dijawab dengan pernyataan bahwa kritik matan tidak dilakukan justru karena ulama sudah melakukan penyeleksian yang ketat terhadap isi Hadits.[27] Argumen ini berlandaskan pada konsensus klasik seputar syarat-syarat diterimanya sebuah Hadits. Untuk dianggap sahih sebuah Hadits harus melalui lima tahap pengujian:
­ Kesinambungan periwayatan (ittishأ¢l)
­ â€کadalah perawi, yaitu memiliki integritas seperti bermoral shaleh dan tidak pernah melakukan dosa-dosa besar.
­ Akurasi (dhأ¢bith) proses periwayatan
­ Bebas dari ketidakberesan (syudأ»dz)
­ Bebas dari cacat penyimpangan (â€کillah qأ¢dihah)[28]
Pada dasarnya ajakan untuk melakukan kritik matan dalam meneliti Hadits sama sekali bukan hal yang baru. Metode ini inheren dalam sistem klasik kritik Hadits. Apabila dipahami dengan benar, sistem ini tidak hanya menuntut pengujian rantai periwayatan, namun juga menuntut agar matan Hadits diteliti apakah ada cacatnya. Dalam kasus ini Muhammad al Ghazali bertanya: Apa gunanya Hadits dengan isnأ¢d yang kuat tapi memiliki matan yang cacat?[29]
Dua syarat terakhir jelas diterapkan kepada matan Hadits; yaitu harus bebas dari syudأ»dz dan bebas dari â€کillah qadihah. Menurut Al-Ghazali cacat yang dimaksud adalah cacat matan. Cacat semacam ini terutama ada dua macam: kontradiksi dengan sumber yang lebih tinggi bobotnya dan ketidaksempurnaan internal teksnya. Dengan demikian, bila pendekatan klasik untuk menentukan keaslian Hadits diterapkan secara benar, pendekatan tersebut sungguh dapat dipercaya dan menjamin kekuatan Hadits.[30]
Kritik Hadits semacam ini, jika dicermati dengan baik akan menciptakan pembagian tugas. Para ahli Hadits memperhatikan pengumpulan Hadits dan menguji rantai periwayatannya apakah ada cacatnya. Sementara ahli fiqh meneliti Hadits dari segi matan.[31] Al-Ghazali mengilustrasikan pola kinerja semacam ini sebagai kinerja membuat kontruksi bangunan. Ahli Hadits bertugas memberikan bahan kepada insinyur, yaitu faqih. Faqih inilah yang bertanggung jawab membentuk bangunan.[32] Batu yang menurut pekerja tampak baik, dapat ditolak oleh insinyur karena dirasa tidak cocok. Dengan metode yang sama, Hadits yang dapat dinilai otentik berdasarkan sanad-nya, dapat dibuktikan lemah karena kecacatan matan-nya.[33]
Metode utama yang digunakan Al-Ghazali untuk menyikapi problem seputar Hadits adalah dengan menarik Hadits memasuki batasan-batasan al Qur'an. Sebuah contoh yang dipakai adalah riwayat tentang orang mati akan menderita karena ratapan keluarganya, disana Aisyah membantah dengan mengutip ayat, yang artinya: Tidak ada orang yang akan memikul dosa orang lain.[34] Contoh semacam ini menyatakan bahwa perawi terbaik pun bisa saja melakukan kesalahan dan sarana memperbaiki kesalahan itu adalah dengan membandingkan matan Hadits dengan ajaran al Quran.[35]
Tentu saja melakukan kritik matan dengan membabi buta hanya akan mendorong kita menolak Hadits sahih, seperti Mu’tazilah. [36] Contohnya, Mu’tazilah menolak Hadits sahih tentang perantaraan (syafa’at) Nabi Muhammad Saw. atas dasar pertimbangan teologis. Mereka mengabaikan bukti bahwa al Qur'an tidak sepenuhnya menolak perantaraan. Al Qur'an hanya menolak perantaraan seperti dalam teologi Kristen.[37] Kasus ini membuktikan perlunya kehati-hatian dalam membuat penilaian seputar kontradiksi antar sumber hukum.
Pendapat al Qardhawi dan al Ghazali bahwa Sunnah harus dievaluasi dengan al Qur'an merupakan pendekatan yang cukup signifikan dalam mengulas problematika keotentikan Hadits. Kecenderungan ini menggambarkan sistematisasi pemikiran yang dimulai oleh Abduh dan Ridha. Al Ghazali ingin menunjukkan bahwa ia tidak mengabaikan Sunnah dan pendapatnya dalam isu-isu sentral hukum Islam bukanlah revolusi melainkan sejatinya telah berakar kuat dalam tradisi intelektual Islam. Oleh karena itu bukunya membahas isu-isu praktis yang menjadi tema-tema penting pemikiran pembaru Islam, seperti status wanita, sistem ekonomi, jihad dan demokrasi.

Epilog
Kontroversi modern seputar ilmu Hadits dan eksistensi Sunnah dengan jelas memperlihatkan keterkaitan antara pemikiran mengenai otoritas teks keagamaan dan klaim-klaim atas otoritas interpretatif. Bagi Muhaddisأ®n, membela Hadits merupakan upaya mereka mempertahankan posisi sebagai pelindung dan penafsir Hadits. Dalam terma klasik, al Qur'an disamping diperjelas oleh dirinya sendirinya, pun diperjelas, ditakhsis, bahkan kadang dinasakh melalui otoriotas Sunnah. Ulama sebagai pemegang otoritas menjadi mediator bagi warisan Nabi Saw.
Pada ekstrem yang lain, para penentang Hadits menolak pemikiran ortodoks-regresif mengenai Sunnah sebagai perangkat istinbath dari tangan ulama. Jika Hadits tidak lagi esensial, maka penafsir Hadits (baca: ulama) tidak lagi dibutuhkan. Menurut para penentang Hadits, bukan ulama Hadits yang berhak melakukan interpretasi terhadap Islam, melainkan mereka yang memahami relevansi Al-Quran dengan kehidupan modern.
Para pemikir pembaru seperti al Ghazali dan al Qardhawi bertarung di dua palagan. Di satu sisi, mereka membela Sunnah dari kelompok penentang Hadits, dan menegakkan amanat sebagai pelindung Sunnah. Di sisi lain, mereka mengklaim memiliki hak tersendiri untuk menginterpretasi Sunnah, yang independen dari ulama konservatif. Dalam Sunnah, kaum pembaru menemukan dunia mereka dengan sumber otentitas dan cara-pandang sendiri untuk menegaskan independensi dan fleksibilitas terhadap kemapanan agama dirasa kurang fleksibel dan tidak membumi.
Realita itulah yang menjelaskan mengapa diskursus seputar Sunnah dan perkembangan ilmu Hadits menjadi begitu penting sebab debat mengenai otoritas Sunnah, eksistensi dan signifikansinya merupakan perebutan hak untuk menafsirkan teks-teks keagamaan guna diejawantahkan dalam norma-norma Islami. Ketika umat Islam membutuhkan visi yang selaras dan juga adaptif terhadap situasi umat saat ini, pendekatan kaum pembaru menjanjikan fleksibilitas dan relevansi yang dirangkai dengan keotentikan. Maka menuju jalur inilah kita harus mencari petunjuk tentang otoritas keagamaan yang terus berkembang. Pendekatan yang merangkul Sunnah bukanlah tindakan defensif, namun lebih merupakan inisiatif. tentunya agar umat memiliki pemetaan tercerahkan menuju modernitas.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Dipresentasikan dalam diskusi internal al Mustawa di sekretariat PCI-NU Mesir, tanggal 15 Juli 2005
[2] Pengrajin kata yang nyambi sebagai mahasiswa Al Azhar Kairo Fakultas Ushuluddin
[3] Yusuf al Qardlawi, al-Madhal li Dirasah al Sunnah al Nabawiyyah, Muassah al Risalah, Beirut, cet. I, 2001, hlm 16
[4] Ahmad â€کUmar Hasyim, Asbأ¢b rأ¢dd al Hadist dalam Mausu’ah Ulأ»m al Hadist al Syarif, Wizarah al Auqaf al Majlis al A’la li al Syu’un al diniyyah. Kairo, hal 57
[5] Alois Sprenger adalah seorang orientalis asal Jerman. Salah satu karyanya adalah The Life of Mahomet and The History of Islam to the Era of Hegira (1861)
[6] Ignas Goldziher adalah orientalis Yahudi kelahiran Hungaria. Goldziher pernah “nyantriâ€‌ di Al Azhar Kairo selama kurang lebih setahun (1873-1874).
[7] Syamsudin Arif, Gugatan Orientalis Terhadap Hadist dan Gaungnya di Dunia Islam, dalam jurnal Insani.
[8] Daniel W Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, edisi terjemahan Indonesia, Mizan, hal 55
[9] Ibid hal 56
[10] Muhammad Husein al Dzahأ¢bi, Al Tafsir wa al-Mufassirun Kairo, vol. III, 1961, hal. 239
[11] baca lebih lengkap mengenai kasus Shidqi dalam Daniel W. Brown, op. cit., hal 60
[12] Daniel W Brown, op. cit., hal. 60-61
[13] diantara karya-karya Mahmud Abu Rayyah ialah Adhwa’ ala as-Sunnah al-Muhammadiyah dan Syaikh al-Madhirah Abu Hurairah
[14] Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ala al Sunnah al Muhammadiyah, Dar al-Ma’arif, Kairo, cet VI, tanpa tahun, hal 41
[15] Ibid hal. 46
[16] yang berbunyi “An lأ¢ taziru waziratun wizra ukhra.â€‌ Q.S
[17] Mahmud Abu Rayyah, op.cit, hal. 29
[18] Ahmad Amin, Fajru al Islam, Maktabah Ushrah, Kairo, hal. 216
[19] Mahmud Abu Rayyah, op. cit., hal. 173
[20] Mushthafa al-Siba’I, al-Sunnah wa makanatuha fi tasyri’ al-Islami, Kairo, 15-18
[21] Mushthafa al-Siba’I, op. cit. 264
[22] Mushtafa al-Siba’I, op. cit 239
[23] kata Hadist dalam term Hadist mawdu sengaja diberi “quoteâ€‌ untuk menunjukkan bahwa ia sebenarnya bukan Hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw.
[24] DW Brown, op. cit., 122
[25] kategori tertentu dalam Hadist seperti Hadist fadhأ¢â€™il, Hadist tentang Mahdi, juga Hadist tentang Israiliyyat.
[26] Ahmad Subhi Manshur, al Quran wa Kafa Masdaran li al Tasyri’ a -Islamy, al Intisyar al â€کAraby, Beirut, 2005, hal 108
[27] Mushthafa al-Siba’I, op. cit., hal. 271-272
[28] Muhammad Al-Ghazali, al Sunnah al Nabawiyyah Baina Ahlu al Fiqh wa Ahlu al Hadits, Darus Suruq, Kairo, tanpa tahun. hal 18
[29] Ibid , hal. 21
[30] Ibid., hal. 19
[31] Ibid. hal. 19
[32] Ibid, 35
[33] Ibid, 19
[34] Al-Quran Surat 6: 164
[35] Muhammad al Ghأ¢zali, op.cit, 21
[36] Yusuf al Qardhawi, Kayfa Nata’amalu Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, al-Mansura, 1990, hal 99
[37] Ibid, hal. 101-102
Ditulis Oleh Abdul Hamid

0 comments: