Kritik Nalar Islam

. Tuesday, August 21, 2007
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks

Prolog
Konsep Nalar Islam
Mengandaikan adanya nalar abadi yang secara apriori betul-betul konkordan dengan ajaran-ajaran wahyu, pasti senantiasa ada, tidak saja pada pelbagai mainstrean pemikiran dalam Islam, tetapi juga dalam Yahudi dan Kristen. Pengandaian ini menggambarkan keimanan terhadap wahyu (atau informasi-informasi wahyu) akan menguatkan akal manusia, menunjuki dan memberinya jalan, di mana ketika akal hanya dibiarkan bergerak sendiri, maka ia akan tersesatKeimanan tentang adanya unsur ketuhanan pada akal yang mengandung pengakaran ontologis aktivitas-aktivitas nalar manusia, sebenarnya sudah menjadi gejala umum dan cukup populer dalam Islam melalui hadis Nabi yang muncul dari aliran pemikiran iluminasi:

“Sesungguhnya ketika menciptakan akal, Allah swt. berkata kepadanya: “Berdirihlah kamu!” Maka berdirilah ia. Kemudian Allah berkata lagi: “Duduklah!” Maka duduklah ia. Lalu Allah berkata lagi: “Menghadap ke depan!” Maka menghadaplah ia ke depan. Kemudian Allah berkata lagi: “Menghadap ke belakang!” Maka menghadaplah ia ke belakang. Setelah itu Dia berfirman: “Demi kehormatan-Ku, kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, kekuasan-Ku, ketinggian tempat-Ku, kebertahtaan-Ku di atas `Arsy, dan kemampuan-Ku menciptakan, Aku tidak pernah menciptakan suatu ciptaan yang lebih mulia bagiku darimu, tidak pula lebih baik bagiku darimu. Denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, denganmu Aku mengetahui, denganmu aku disembah, dengamu Aku memberi pahala, dan denganmu Aku memberi hukuman.”

Demikianlah kita lihat, betapa akal nampak transenden dan tunduk pada batas-batas firman normatif Tuhan berikut “paksaan-paksaan-Nya” secara bersamaan. Realitanya, sebagaimana pengamatan Lewis M. yang selanjutnya dipertegas oleh Mohammed Arkoun, bahwa setiap nama dalam al-Qur’an memberikan kepada sesuatu yang dinamai, hakikatnya yang abadi sesuai dengan ilmu Tuhan serta eksistensi obyektif-Nya dalam sistem ciptaan, dan hukum syari`at-Nya dalam eksistensi historis manusia. Demikianlah pemikiran Islam terbentuk dan berkembang berdasarkan prinsip keimanan yang terepresentasikan dengan akar ketuhanan bagi akal, keimanan yang terpersonifikasi dalam teks lingual yang terbatas, yaitu al-Qur’an. Lalu datanglah al-Syafi`i dan menempatkan Sunnah pada posisi sejajar dengan al-Qur’an. Dalam makna dan perspektif seperti ini, barangkali kita bisa berbicara tentang nalar Islam (al-`aql al-islâmî).

Banyak sudah karya diterbitkan untuk menggambarkan nalar Islam dari segi formalisme eksternal, banyak pula karya yang berbicara tentang produk serta perkembangannya, akan tetapi hingga sekarang belum ada analisa dekonstruktif atau kritik epistemologis terhadap dasar-dasar, mekanisme-mekanisme, tema-temanya dan apa yang tak terfikirkan (al-lâ mufakkar fîhi) yang lahir dari metode paradigmatiknya yang khusus dalam sistemisasi ranah yang terbuka bagi sesuatu yang terfikirkan (al-mufakkar fîhi). Aktivitas atau studi semacam ini sekarang sangat diperlukan karena dua sebab:

Pertama, yang sangat urgen dan mendesak, dari sisi perspektif umum sejarah pemikiran, yaitu menerapkan metodologi-metodologi dan problematika-problematika baru dalam studi Islam. Artinya menerapkan metodologi-metodologi serta wawasan-wawasan studi yang luas, seperti historis, antropologi dll. Lalu setelah itu berbicara mengenai faktor-faktor sosial yang mengontrol proses pembentukan nalar dan rekonstruksinya. Itu semua memerlukan studi terhadap kekurangan-kekurangan sejarah linear pemikiran yang abstrak.

Kedua, saat ini Islam politik “mengaku-ngaku” berpijak pada sistem nalar-nalar yang mengarah pada fungsi justifikatif formalistik nalar Islam klasik. Sehubungan dengan ini, kita perlu mempertanyakan legalitas keagamaan, historis dan filosofisnya. dalam menyelesaikan problem ini, paling tidak kita perlu melihat tiga hal berikut:

1 – Bagaimana posisi nalar Islam klasik dari sisi epistemologi?
2 – Adakah kontinuitas historis yang sebenarnya antara nalar Islam klasik dan kualitas nalar-nalar yang diakui dijadikan sandaran oleh wacana-wacana Islam kontemporer? Atau mungkin antara keduanya terdapat jurang pemisah (keterputusan) yang tak terlihat karena tertutupi oleh reduksi-reduksi kultural terhadap masa lalu?
3 – Bagaimana pandangan pemikiran Islam saat ini mengenai historitas nalar secara umum, dan historitas nalar Islam secara khusus?

Kita bisa menggabungkan pertanyaan-pertanyaan di atas dalam judul-judul berikut:
1- Nalar Islam klasik.
2- Macam-macam Islam (keragaman Islam), nalar ortodoksi dan pengalaman amaliyah.
3- Diskursus-diskursus Arab kontemporer dan nalar Islam.


Memahami Kritik Nalar Islam
Dalam memahami Kritik Nalar Islam (naqd al-`aql al-islâmî) secara epistemik kita perlu melihat dari dua sisi, dari sisi dekonstruktif yaitu melihatnya guna menganalisa komponen-komponen pemahamannya. Sedangkan sisi konstruktif yaitu melihatnya dengan maksud membatasi makna umumnya.

Sisi pertama: dekonstruksi komponen-komponen pemahaman
1- Kritik (al-naqd). Apa makna kritik? Apakah ia merupakan penjelasan mengenai kapasitas-kapasitas, sebagaimana dalam konsep Kant? Barangkali maksudnya adalah penjelasan mengenai batas-batas nalar Islam, berikut faktor-faktor gerakannya di luar batas-batas tersebut, atau mungkin pencarian faktor-faktor baru agar bisa lepas dari ikatan, sebagaimana dalam makna kata kerja (fi`l) “`aqala”. Artinya bahwa kritik (naqd) adalah re-kualifikasi atau re-deskripsi (‘i`âdah washf) komponen-komponen nalar Islam melalui aktivitas-aktivitas konstruktif dalam pelbagai aspek pengetahuan atau intelektualitas. Kalau kita membaca beberapa karya semisal proyek Naqd al-`Aql al-`Arabî-nya Aljabree, Naqd al-`Aql al-Islâmî-nya Mohammed Arkoun dll, kita akan melihat bahwa kritik mempunyai signifkasi analisis kritis historis terhadap sistem-sistem pengetahuan atau epistemologi dalam kebudayaan Islam.

2- Nalar (al-`aql). Apa makna nalar? Adakah ia merupakan potensi berfikir, kemampuan pada subyek yang tahu, salah satu potensi jiwa sebagaimana dikatakan para ulama salaf? Atau apakah “cahaya fitrah” dan “indera pasti” seperti pandangan kaum modernis —sejak Descartes dalam “Cogeto” atau “Aku Berfikir” menurut Kant?

Dalam proyek besarnya, Naqd al-`Aql al-`Arabî, Aljabree menegaskan bahwa nalar adalah produk budaya (muntaj tsaqâfî), sebagai kreasi orang-orang bijak, baik para ahli teologi, filsuf, ahli ushul dan ahli iluminisme, bahkan juga para ahli fikih, ahli gramatika bahasa Arab, ahli tafsir, ahli hadis dan kaum historian. Nalar juga merupakan potensi, namun bukan informasi awal terhadap produk pemikiran, akan tetapi ia adalah hasil dari proses berfikir itu sendiri.

Sementara Hassan Hanafi mempunyai pandangan lain, menurutnya, “pemikiran” atau “kebudayaan” lebih tepat digunakan daripada nalar (al-`aql). Karena nalar adalah alat dan metode, sedangkan pemikiran dan kebudayaan adalah produk dan karya. Produk itu mencakup; (1) ilmu-ilmu naqliyah `aqliyah —teologi (kalam), filsafat (hikmah), tasawuf dan ushul; (2) ilmu-lmu naqliyah murni —al-Qur’an, hadis, tafsir, sejarah Nabi (sirah), fikih; (3) ilmu-ilmu aqliyah murni —matematika, arsitek, astronomi, musik, kedokteran, kimia, geografi dll. Ini sesuai dengan klasifikasi para filsuf, misalkan seperti al-Kindy, al-Faraby dan Ibn Sina. Bahkan Aljabree sendiri masih mempertanyakan, nalar atau kebudayaan? Persoalannya banyak kata yang bisa dijadikan padanan; turâts (tradisi), al-mawrûts, al-fikir (pemikiran), al-tsaqâfah (kebudayaan) dan al-hadlârah (peradaban).

3- “Islam”, kata ini merupakan ranah di mana “nalar” berpijak, maksudnya adalah sekumpulan prinsip, dasar dan ketetapan yang menjadi sandaran nalar —lebih merupakan unsur-unsur penentu dan subtansi kritik. Namun ada pertanyaan, adakah nalar disifati dengan agama, atau ia hanya sekedar potensi rasional, kekuatan dalam jiwa, kemampuan untuk berfikir sebagai sebuah ekspresi diri melalui aktivitas sastra, kultural, ilmiyah dengan bahasa dan dalam konteks terbatas. “Islam” adalah sifat bagi produk budaya, bukan sifat bagi akal manusia. Sebenarnya pengkotak-kotakan nalar bermula dari Barat, yaitu pada abad kesembilan belas. Mereka berbicara tentang nalar Kristen, nalar Yahudi, nalar Islam dll. Mereka membeda-bedakan ini dengan tujuan membuat semacam tingkatan “teratas” dan “terendah”.

Dari hal-hal di atas dapat kita simpulkan poin-poin berikut:
Pertama, kritik merupakan pencarian terhadap sisi metodologis. Sedangkan nalar merupakan pencarian terhadap sisi mendasar, artinya pembentukan pengetahuan dengan sumber-sumber dan kaidah-kaidah.

Kedua, kritik merupakan pencarian terhadap metode; pertanyaannya, metode apakah itu? Jawabannya bahwa yang menentukan metode tersebut adalah dua hal, pertama adalah tema (kritik). Kedua adalah kerangka umum atau kerangka dasar (Islam).

Ketiga, “nalar” merupakan sisi yang dapat berubah (al-jânib al-mutaghayyir), sedangkan “Islam” merupakan sisi yang tetap (al-jânib al-tsâbit). Al-mutaghayyir tidak boleh memisahkan diri dari al-tsâbit, sebagaimana al-tsâbit tidak boleh kehilangan al-mutaghayyir. Al-tsâbit memberikan unsur sistem terhadap al-mutaghayyir guna menjaganya dari kekacauan, sedangkan al-mutaghayyir memberikan unsur elastisitas dan gerakan terhadap al-tsâbit guna menjauhkannya dari kemandegan dan kejumudan.

Keempat, “Islam” merupakan penentu bagi “kritik” dan “nalar”. Artinya bahwa kritik yang dimaksud tidak mengarah pada nalar yang tidak sesuai dengan Islam, inilah standar dasar dan tetap dalam menentukan dan memilih metode. Di samping itu bahwa nalar yang dimaksudkan dalam proses kritik merupakan nalar yang berhubungan dengan Islam sebagai dasar pijakan, jika tidak, berarti keluar dari konteks pembahasan.

Adapun dari sisi konstruktif, mungkin bisa dikatakan bahwa Kritik Nalar Islam ditentukan dalam dua sistem, sistem pemikiran subyektif dan sistem pemikiran obyektif.

Ditinjau dari sistem pemikiran subyektif, Kritik Nalar Islam mempunyai arti upaya menyelidiki modernitas dari dasar Islam. Dalam hal ini ada tiga unsur:

1- Mengalihkan perhatian dari tradisi lama ke arah tradisi kontemporer dengan maksud melepaskan diri dari cengkraman masa lalu, ini mencakup hubungan nalar dengan dirinya.

2- Mengupayakan kemampuan dalam mengimbangi tuntutan-tuntutan masa kini dengan maksud melepaskan diri dari problematika ketertutupan, ini mencakup hubungan nalar dengan zamannya.

3- Menyingkap makna progresivitas (al-taqaddum) sekaligus menegaskannya dengan tujuan melepaskan diri dari kejumudan, ini mencakup hubungan nalar dengan diri dan zamannya secara bersamaan.

Sedangakan dari sistem pemikiran obyektif, pemahaman Kritik Nalar Islam berarti upaya membatasi deskripsi nalar yang kontradiktif dengan stagnasi dan fanatisme. Stagnasi adalah keadaan internal sebagai warisan dari masa kemunduran dan keterbelakangan. Sama halnya dengan subordinasi dalam fanatisme, yaitu keadaan eksternal sebagai konsekuensi kekalahan karena hegemoni Barat.

Stagnasi dan fanatisme tidak akan berdampak pada terpeliharanya identitas dan tradisi, sebagaimana subordinasi tidak akan menciptakan modernitas serta kemajuan. Keduanya tidak akan menyediakan ruang gerak bagi kritik.

Jadi kritik nalar Islam merupakan kritik terhadap dua hal di atas, yaitu sebagai sebuah proses guna melahirkan “arus ketiga” yang selain mampu berinteraksi dengan tradisi tetapi tidak tertutup di dalamnya, juga mampu berinteraksi dengan masa kini tetapi tidak menjadi remuk karenanya.


Rodliansyah

0 comments: