Seputar Wajah Tafsir Al Qur'an

. Sunday, August 19, 2007
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks

Setiap tafsir tentunya adalah gerbang menuju pemahaman yang lebih layak.Tafsir yang diimin-imingi dengan baju humanis, liberalis atau gejala is lainya tak mungkin dituangkan begitu saja. Semua jenis macam penafsiran merupakan catatan seorang penafsir akan tradisi yang biasa disebut sebagai kecenderungan lantas kepentingan yang tertimbun diatas sisi fragmen metodologi. Pelbagai embel-embel tafsir yang digemuruhkan saat ini bukanlah sebuah diskontuinitas tahap perjalanan wacanaSemuanya mempunyai sepenggal historis yang bermula dari tradisi tafsir al Qur'an yang beranjak dari ke-kononan (riwayat/alma'tsur). Dan sulit rasanya jika segala jenis penafsiran terlalu mengandalkan metode kekononan. Ini dikarenakan Al Qur'an itu diam dan mati tapi corak penafsiran akan tumbuh secara bergerilya.

Berawal dari kenyataan diatas maka tafsir tidak melulu dinahkodai atau dibebankan kepada mereka yang sudah dinobatkan sebagai pemangku keagamaan tertinggi. Hendaknya terali yang membelit dalam tubuh tafsir segera ditanggalkan agar masing-masing dari kita bisa memahami dengan jelas kandungan al qur'an sesuai daya kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi usaha ini bukan dimaksudkan untuk menelantarkan proyek penafsiran yang sudah lama berjelaga. Betapapun juga proyek ini mesti terus digalakkan oleh sebagain pihak yang benar-benar berkesanggupan.

Jadi, saya menginginkan supaya tafsir bisa dikategorikan kedalam dua ruang yang berbeda. Ini dilakukan karena selama ini kitab al-Qur'an telah diabaikan sedemikian jauh oleh penganutnya.

Pertama adalah tafsir yang bertaraf sederhana. Tafsir ini merupakan panggilan dari seruan al-Qur'an yang acapkali melazimkan tiap pembacanya agar memahami makna dibalik gugusan kata yang bersemayam dalam firman Ilahi. Sederhananya penafsiran ini bukan sinonim dari apa yang tertera dalam kitab-kitab tafsir.

Tafsir ini tak lebih dari upaya perseorangan serta tidak memerlukan pelbagai instrumen yang ruwet dan jlimet. Asalkan ada denyut pemahaman berarti masing-masing perseorangan telah menunaikan kewajibannya. Dengan demikian maka tradisi penafsiran yang dulu pernah mekar dikalangan para sahabat akan senantiasa hidup dan bergerak bebas.

Kesalahan yang kerapkali dibuat oleh tafsir model ini adalah mengenai bentuk kesalah pahaman. Hal ini patut diulas disini lantaran sangat berhubungan erat dengan citra tradisi penafsiran. Belum lagi kesalahan semacam ini nantinya akan menjadi boomerang bagi eksistensi al-Qur'an sendiri. Dan sejatinya segala jenis kesalah pemahaman cenderung bermuara pada titik kelemahan dalam berinteraksi dengan bahasa al-Qur'an secara dialektis.

Untuk bersentuhan degan bahasa al-Qur'an secara sempurna saya kira merupakan permasalahan atau bisa dikatakan sebagai wujud dilema yang berabad-abad membatu. Kesulitan ini bukan hanya dirasakan oleh mereka yang tak mengenal karekteristik bahasa al-Qur'an saja melainkan bagi mereka yang benar-benar unggul dalam belantara sastra bahasa Arab. Juga beberapa sahabat Rasul seperti Umar dan Ibn Abbas yang didaulat sebagai turjuman al Qur'an (juru bicara al Qur'an) sempat mengeluh atas sebagain ayat al-Qur'an yang dirasa sangat pelik.

Kalau menurut penilaian saya permasalahan bahasa bukanlah suatu dilema (Baca; hambatan) melainkan segurat ketidak berdayaan yang terlalu dihiperbolakan. Sungguhpun al-Qur'an menggunakan bahasa Arab yang jelas (bilisan Arabiyin mubin) namun makna-makna yang dilirisnya semata milik Allah. Ini dikarenakan al Qur'an mencakup sekaligus berjejal dengan ayat-ayat mutasyabihat, muhkamat, mufassar, dzahir, nash, nasikh mansukh dan seperangkat kata-kata umum (amm), khusus (khass), hakekat dan majaz. Apalagi jika kita meyakini keberadaan makna lahir dan batin yang biasa digemakan oleh kalangan Sufi maupun Batiniah (Syiah Ismaiiliyyah).

Maka dari itu pemahaman yang kita amini saat ini ialah salah satu dari dari serentetan kemungkinan yang ditimbulkan oleh al-Qur'an. Al-Qur'an layak ditahbiskan sebagai pedoman hidup lantaran kemampuannya berdialektika dengan dunia manusia yang menyimpan nilai-nilai profan serta rentan dengan perubahan.

Sedang mengenai kasus lainnya kita mungkin memerlukan lebih banyak lagi al-Qur'an terjemahan. Dengan adanya terjemahan al-Qur'an ini mudah-mudahan sanggup menjembatani kesenjangan antara sipembaca dengan al-Qur'an. Kalau demikian,lantas bagaimana dengan istilah-istilah atau sebagian ayat yang sulit untuk difahami?.

Pertanyaan ini seyogyanya direkomendasikan lebih lanjut kepada masing-masing individu.Karena sejatinya pertanyaan semacam ini tidak perlu jawaban berbelat-belit. Cukup dikembalikan kepada diri kita sendiri. Jika kita termasuk golongan yang memiliki letupan ghirah/semangat menggebu-gebu maka secara otomatis kita akan mencari atau bertanya lewat pemuka agama yang dianggap memiliki kecakapan nan sesuai.jika tidak, berarti selamanya kita akan senantiasa bergelayut diatas ranting kebodohan,dan pada giliranya menyeret kita kearah keraguan.

Disini keaktifan sang dai'dan beberapa sarjana Islam sangat diharapkan sekali. Malah keaktifan ini mesti didukung oleh pihak pemerintahan dan kalangan umat Islam.kalau segalanya bisa berjalan dengan baik niscaya hambatan apapun tak lagi berkoar. Tak ada lagi kemalasan apalagi sikap acuh tak acuh akan firman Ilahi.

Kedua adalah model tafsir serius. Kajian seputar corak tafsir ini sudah lama digagas dan didiagnosakan dalam pelbagai literatur ushul at-tafsir. Untuk mencapai tujuan ini kita sangat memerlukan generasi-generasi unggulan. Pasalnya tidak semua dari kita sanggup mendeteksi maksud dari titah Tuhan yang begitu kompleks. Dengan adanya bibit unggulan itu diharap bisa menyambung mata rantai yang sudah lama putus seraya membangkitkan kembali spirit tafsir al-Qur'an yang pernah dibangun oleh generasi para sahabat.

Dalam magnum opusnya "al Itqan fi Ulum al Qur'an" as Suyuthi membeberkan lima belas syarat yang harus dimiliki bagi seorang mufassir sejati. Diantara lima belas syarat itu terdapat beberapa disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan unsur kebahasaan seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, maani dan bayan. Hemat saya unsur-unsur kebahasaan ini merupakan babak pertama yang sudah selayaknya dikuasai oleh kita sebelum dilantik sebagai penafsir ulung. Kemudian syarat-syarat tadi dilanjutkan dengan disiplin ilmu seperti sejarah, nasikh mansukh, kalam, asbab nuzul dan diakhiri dengan ilmu mauhibah (laduni); yaitu sejenis pengetahuan yang didapat lewat jalan ketakwaan.Mengenai ilmu jenis ini rasulullah pernah bersabda " Barang siapa mengamalkan apa yang telah ia pelajari niscaya Allah akan mewarisi ilmu yang belum pernah ia peroleh ".

Sedang al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh melengkapkan syarat-syarat diatas dengan beberapa cabang pengetahuan kontemporer. Diantara cabang ilmu tersebut adalah biologi, sosiologi, fisika, kedokteran dll. Penambahan ini saya kira hanya sebatas anjuran dan bukan merupakan kewajiban.

Andaikata syarat-syarat diatas telah terpenuhi maka model tafsir kedua ini sudah selayaknya digalakkan. Pun sekali lagi tidak semua orang berhak menafsirkan kehendak Tuhan melalui model tafsir serius ini. Udzur ini bukan kehendak untuk memboikot atau menganak emaskan sebagian pihak akan tetapi sebuah usaha pengharmonisan antara kemampuan dengan kenyataan yang beredar.

Sayangnya model tafsir seperti ini rawan dijadikan ladang empuk bagi kesuburan sekte-sekte. Terlebih jika ideologi yang dijajakan itu tak lagi mengalirkan arus kebajikan atau malah melampaui batasan makna-makna yang dikandung al- Qur'an.Sehingga al-Qur'an bukan lagi diposisikan sebagai pencetus ide-ide melainkan dibelokkan kesana-kemari demi kepentingan yang mereka usung.

Sekarang semuanya ada dipundak kita. Jika bukan kita lantas siapa lagi yang akan memahami dan mengamalkan titah Tuhan? Selebihnya terserah anda.

0 comments: